Bosan Bosan Bosan

Anda punya janji dengan dokter gigi pukul 3 sore ini. Anda sudah tiba pukul 2.55 tapi dokter gigi Anda sekarang masih sibuk dengan pasien lainnya. Anda duduk di ruang tunggu sembari melihat sekeliling. Tidak ada yang menarik perhatian Anda. Semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Anda mengambil majalah di meja dekat tempat Anda duduk, namun isunya terlalu lawas. Anda mengamati lukisan di dinding dan dekorasi di ruang tunggu, tapi semuanya nampak membosankan. Anda berulang kali melihat arloji di tangan, tapi waktu masih menunjukkan pukul 2.57. Akhirnya Anda mengambil ponsel Anda lalu membuka www.nofieiman.com.

Kebosanan adalah penyakit mental yang memengaruhi siapa saja dalam satu atau beberapa titik kehidupan mereka. Masalahnya, kita sering menganggap remeh kebosanan. Sebagian orang menganggap kebosanan hanya diderita oleh generasi muda. Sebagian menilai bahwa solusi dari kebosanan itu sederhana: menunggu saja. Toh, seketika resepsionis yang cantik itu memanggil Anda dan dokter gigi Anda menyambut dengan ramah, rasa bosan itu hilang seketika dan terlupakan seterusnya. Masalah selesai.

Sebagaimana meremehkan situs web ini, meremehkan kebosanan dan menganggapnya sebagai hal yang biasa saja sesungguhnya adalah kesalahan fatal. Banyak literatur di bidang psikologi mengulas dampak buruk kebosanan, mulai dari masalah psikososial seperti penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan (LePera, 2011), kecanduan berjudi (Mercer & Eastwood, 2010), dan masih banyak lagi. Penelitian juga melihat adanya pengaruh kebosanan terhadap kematian—oleh karena itu kita sering mendengar istilah “bored to death” (misal Bloomfield & Kennedy, 2006; Britton & Shipley, 2010).

Bagi mereka yang menempati posisi eksekutif dan strategis, dampak kebosanan ternyata jauh lebih fatal. Misalnya, pilot yang mudah dilanda penyakit bosan cenderung akan lebih banyak melakukan kesalahan (Bhana, 2010). Contoh lain, kebosanan ternyata musuh utama yang dihadapi tentara nuklir militer yang berujung pada tindakan yang berakibat fatal (Dumas, 2001). Sopir truk jarak jauh juga punya musuh utama kebosanan yang berisiko pada kecelakaan serius (Kass et al., 2010). Jadi, sungguh salah bila dibilang rasa bosan sebagai sesuatu yang remeh atau trivial belaka.

Kebosanan bisa didefinisikan secara bebas sebagai dilema batin yang terjadi antara keinginan untuk melakukan, tetapi enggan untuk melakukan, dan terlibat dalam aktivitas yang memuaskan (Lipps, 1903). Penderita kebosanan, di satu sisi, merasa butuh terlibat dalam aktivitas mental yang intense, tetapi, di sisi lain, tidak menemukan intensi dalam aktivitas tersebut atau memang tidak mampu merasa incited. Akibatnya, korban akan merasakan kekosongan (emptiness), merasa tak berguna (meaninglessness), dan tak berdaya untuk berbuat apa-apa (paralysis of agency).

Para psikolog menyebutkan beberapa faktor psikologis yang membuat seseorang merasa bosan. Pertama, kelemahan akut dalam sistem perhatian mereka. Hal ini dialami oleh penderita ADHD atau cidera otak, misalnya. Kedua, ketidakmampuan dalam mengartikulasi suatu aktivitas atau keterlibatan yang membuat seseorang terpuaskan. Salah satu contoh penyakit ini adalah alexithymia. Ketiga, gangguan hyposensitivity atau hypersensitivity terhadap stimulus. Gangguan ini terlihat pada tempramen (seperti behavioural inhibition/BIS) atau depresi seseorang (seperti behavioural activation).

Yang menarik, faktor dominan pendorong kebosanan sesungguhnya bukan semata faktor psikologis seperti tersebut di atas, melainkan proses mental dan pengalaman. Eastwood et al. (2012) menjabarkan proses mental antara lain: (1) inadequate orienting of attention, (2) attribution of attention failure to environment, (3) failure to executive control processes, dan (4) failed attempts to engage attention through regulation of the alerting system. Sementara faktor pengalaman dibagi menjadi: (5) awareness of difficulty concentrating, (6) nonoptimal arousal, (7) negative affect, (8) constraint and disordered agency, serta (9) perception of a slow passage of time.

Mari kita simak satu per satu:

  1. Inadequate orienting of attention: Bayangkan Anda harus menghafal pasal-pasal dalam hukum perdata untuk ujian semester besok. Tetangga kosan di sebelah Anda ternyata sedang memutar musik dangdut dengan keras. Sekalipun Anda sangat menyukai hukum perdata, gangguan musik yang merusak konsentrasi Anda untuk belajar bisa mendorong pada kebosanan.
  2. Attribution of attention failure to environment: Ketika Anda diminta untuk melakukan hal-hal yang tidak terlalu membutuhkan tenaga dan pikiran yang berat, gangguan dan interupsi (disruption) sampai pada level tertentu masih bisa membuat Anda fokus. Tetapi, jika level tersebut terlewati, yang Anda dapatkan justru kebosanan.
  3. Failure to executive control processes: Hal ini berkaitan dengan fokus seseorang (mental effort) dan pikiran yang terbang kemana-mana (mind wandering). Umumnya, mereka yang kurang sabar dan telaten dalam mengerjakan pekerjaan serta mudah untuk berpikiran macam-macam biasanya lebih berisiko terhadap kebosanan.
  4. Failed attempts to engage attention through regulation of the alerting system: Rangsangan ada di sekitar kehidupan kita dan dapat bervariasi (rendah/calm hingga tinggi/excited). Sebagian orang yang mempunyai kemampuan untuk membentengi godaan tersebut biasanya cenderung lebih jarang mengalami kebosanan. Sebaliknya, mereka yang mudah tergoda, umumnya akan mudah bosan pula.
  5. Awareness of difficulty concentrating: Hal ini sebenarnya terkait dengan item no (1) dan (2) di atas. Misalnya, bila Anda menyadari bahwa ketika malam sudah tiba dan langit menjadi gelap, Anda merasa bahwa Anda sudah tidak mampu bekerja dan berkonsentrasi lagi. Hal ini menjadi semacam self-fulfiling prophecy yang membuat secara otomatis dan tidak sadar Anda akan cenderung merasa bosan ketika hari sudah malam.
  6. Nonoptimal arousal: Hal ini masih berhubungan dengan item no (4) di atas. Ada hal-hal yang membuat kita bisa terangsang aktif, tetapi ada pula hal-hal yang membuat kita malah merasa destruktif. Misalnya, ketika ada 2-3 orang di sekeliling saya bekerja, saya cenderung akan menganggap hal itu sebagai rangsangan aktif yang mendorong saya bekerja aktif pula. Namun, bila ada banyak orang mondar-mandir dan bikin ribut, hal itu akan menjadikan rangsangan yang tidak optimal dan mendorong pada kebosanan.
  7. Negative affect: Rasa bosan erat kaitannya dengan perasaan emosi seperti tidak nyaman, sedih, merasa kosong, gugup, galau, bahkan marah. Misalokasi perhatian pada stimulus yang salah akan mendorong efek negatif yang menyebabkan kebosanan. Misalnya Anda penyuka buku dan sedang mampir ke toko buku langganan Anda. Tetapi Anda ingat bahwa di toko buku itulah Anda pertama kali bertemu dan berkenalan dengan mantan yang sekarang meninggalkan Anda. Walaupun Anda pencinta buku, maka berada di toko buku tersebut hanya akan membuat Anda merasa bosan.
  8. Constraint and disordered agency: Para penderita penyakit bosan biasanya merasa dibatasi dan dikekang: mereka diminta untuk melakukan pekerjaan yang tidak mereka sukai atau tidak mereka inginkan dan tidak bisa meninggalkan pekerjaan tersebut.
  9. Perception of a slow passage of time: Konon, bosan (boredom) berasal dari Bahasa Jerman “langeweile” yang berarti “long period of time.” Berbicara dengan seseorang yang cerdas dan simpatik tentu akan berbeda jauh dibandingkan dengan berbicara dengan seseorang yang bodoh dan menyebalkan. Anda hanya akan bisa berharap agar penderitaan tersebut segera berakhir.

Selama pengaruh kebosanan tersebut bukan berasal dari cacat psikologis, maka kebosanan sesungguhnya bisa diatasi dengan cara yang tidak terlalu sulit. Para psikolog sama-sama sepakat bahwa perhatian (attention) dan rasa bosan (boredom) bisa kita manipulasi. Misalnya, kita bisa dengan sengaja memfokuskan perhatian pada hal-hal yang jangan sampai membuat kita merasa bosan. Kalau toko buku tadi membuat Anda bosan karena teringat mantan, maka fokuskan perhatian Anda pada buku baru dari penulis favorit Anda yang baru dirilis atau diskon besar-besaran yang diberikan oleh toko buku tersebut.

Sementara itu, manipulasi kebosanan bisa dilakukan dengan memperkuat kendali diri (locus of control) dan menggunakan penanda sementara (temporal cues). Misalnya Anda ditugaskan oleh dosen Anda untuk membaca buku filsafat yang tebal dan (menurut Anda) membosankan. Kendali diri bisa mensugesti diri Anda bahwa buku filsafat ini tidaklah membosankan. Anda juga bisa menggunakan penanda sementara misalkan, “Oke, saya akan baca buku ini, tetapi 20 halaman pertama saja.” Dengan kendali diri yang kuat, sebelum sampai halaman 20, Anda sudah akan beroleh ketertarikan dan keinginan untuk melahap buku tersebut sampai habis.