Ekonomika Teror Bunuh Diri

Kita semua tentu sangat berduka atas aksi teror bunuh diri yang terjadi di banyak tempat beberapa waktu terakhir, mulai dari Manchester sampai Kampung Melayu. Hal tersebut nampaknya bukan merupakan sekedar usaha untuk menarik perhatian dan bantuan (seek attention and cry for help). Sebaliknya, teror bunuh diri yang tersebut memang dilandasi keinginan untuk menghancurkan diri sendiri dan orang lain (destroy one self and others).

Selain bisa dijelaskan dari sisi politik maupun pertahanan dan keamanan, teror bunuh diri sebenarnya dapat dijelaskan menggunakan perspektif ekonomi. Mengapa? Menurut kacamata ekonom mainstream, setiap individu pada dasarnya adalah pengambil keputusan yang rasional dengan kepentingan untuk memaksimumkan utilitasnya (utility-maximising self-interested actor)—-termasuk para pelaku teror bunuh diri.

Pertanyaannya adalah siapakah sesungguhnya identitas “self” ini?

Sejatinya, konsep “self” terbentuk, melekat, dan berevolusi dalam diri seseorang. Ia lahir karena karakter yang dimilikinya ditambah dengan sejumlah pilihan-pilihan yang diambil sepanjang hidupnya. Sebagai seorang akademisi, saya tidak mungkin melakukan tindak kekerasan seksual pada anak-anak atau mengebom istana negara karena hal tersebut akan menghancurkan identitas “self” yang telah saya bentuk sepanjang hidup saya. Setiap orang memiliki identitas “self” yang mustahil dipisahkan dalam setiap aktivitasnya.

Teror bunuh diri biasanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak mampu lagi melindungi identitas “self” mereka dengan tetap bertahan hidup. Misalnya, seorang jenius yang ternyata tidak bisa mendapat pekerjaan layak, remaja yang ingin menjadi pemodel/artis tetapi tidak memiliki penampilan yang cukup menarik, atau mereka yang bercita-cita menjadi musisi namun tak punya vokal bagus dan tak berbakat memainkan instrumen.

Mereka kemudian sampai pada suatu titik frustasi di mana bertahan hidup tidaklah sustainable. Bagi mereka, lebih baik menghancurkan eksistensi fisik daripada menjalani hidup yang tidak selaras dengan keinginan mereka. Pucuk dicinta, ulam tiba. Orang-orang yang telah teridentifikasi ini kemudian ditarik (atau tertarik oleh suatu keadaan tertentu) untuk masuk dalam organisasi terorisme dan didorong untuk menyebar teror bunuh diri. Oleh karenanya, mengatasi teror bunuh diri tidak sesederhana membungkam organisasi radikal. Kita perlu memahami lebih dalam tentang motivasi apa yang menggerakkan orang-orang tersebut.

Bisa jadi mereka jatuh cinta atau pasangannya sudah lebih dulu direkrut dalam faksi. Bisa jadi mereka butuh solidaritas sosial yang tidak mereka peroleh dari lingkungan tempat mereka tinggal. Memahami daya tarik tersebut mirip dengan memahami bagaimana seseorang bisa tertarik bergabung menjadi anggota geng, klub motor, atau suporter sepakbola. Dus, kombinasi identitas “self” yang dianggap sudah rusak dan daya tarik (social ties) yang ditawarkan organisasi menjadi bumbu yang bisa melipatgandakan daya ledak.

Mereka kemudian direkrut dan ditanamkan gagasan bahwa satu-satunya jalan untuk mengembalikan identitas “self” mereka hanya dapat dilakukan melalui self-destruction. Mereka dicekoki pemahaman yang hanya dapat divalidasi melalui kematian. Satu-satunya cara untuk memenuhi identitas “self” mereka adalah dengan bunuh diri. Oleh karenanya, sangat jarang ditemukan aksi teror bunuh diri yang dilakukan sendirian. Mereka dijalankan oleh sebuah organisasi yang memiliki prosedur dan metodologi yang komplit sedari proses rekrutmen, eksekusi, hingga difusi teror itu sendiri.

Oleh sebab itu, perlu juga dipahami bahwa organisasi terorisme sendiri pada dasarnya adalah entitas bisnis yang terstruktur. Mereka mengalami evolusi seperti perusahaan pada umumnya: dibentuk oleh pemerintah (atau oknum pemerintah) di masa perang dingin (seperti Contra di Nicaragua yang merupakan bentukan CIA), terkena privatisasi dan mulai melepaskan diri di era 90-an (seperti IRA di Irlandia Utara yang menguasai banyak infrastruktur di sana), hingga era globalisasi membuat mereka independen (self-sufficient) dan terinternasionalisasi (seperti Al-Qaeda dan ISIS yang beroperasi lintas batas negara).

Karena merupakan entitas bisnis, mereka tentu berusaha mencari keuntungan melalui kegiatan seperti penyelundupan, pemalsuan identitas, pencucian uang, dan sebagainya. Day in day out. Dulu, hal ini relatif mudah dilakukan karena mereka masih kepanjangan tangan dari pemerintah. Namun seiring terjadinya privatisasi dan globalisasi—-termasuk perjanjian kerjasama bilateral/unilateral, tuntutan transparansi, hingga perkembangan teknologi informasi—-maka berbisnis di zona gelap ini menjadi kian sulit dan mahal.

Terorisme juga sejatinya tidak secara langsung berhubungan dengan ideologi, politik, atau agama—-sebagaimana sebuah perusahaan yang lebih dekat kepada motif profit daripada visi misi sosialnya. Pelaku teror yang tertangkap biasanya enggan berbicara tentang ideologi, politik, atau agama karena memang mereka tidak tahu menahu tentang hal itu. Visi dan misi organisasi biasanya digerakkan oleh pimpinan yang mungkin hanya terdiri dari 4-5 orang saja. Adapun mereka yang berada di bawah, seperti perusahaan pada umumnya, lebih fokus bekerja untuk membiayai operasional organisasi sehari-hari.

Akhir kata, perspektif ekonomi mungkin dapat membantu kita untuk melakukan identifikasi dan mengambil tindakan intercept sebelum hal itu terjadi. Pertama kita bisa mengidentifikasi “self” dan “self-interest” seseorang dan melakukan upaya persuasif ketika terlihat adanya kejanggalan di antara keduanya. Hal ini dapat dilakukan oleh keluarga, teman, tetangga, dan lingkungan terdekat.

Kedua, kita perlu menyadari adanya eksistensi dunia bisnis “ghaib” yang paralel dengan dunia tempat kita berada. Organisasi terorisme juga beroperasi untuk mencari dana kas dan mereka membutuhkan jembatan (linkage) dengan dunia kita guna merealisasikan profit bisnis mereka. Sekali kita dapat menemukan dan memutus jembatan itu, maka kita dapat membatasi ruang gerak organisasi-organisasi teror tersebut.