Hidup dalam Fantasi

Beberapa waktu belakangan, kita dibombardir dengan sejumlah produk baru seperti Nokia Lumia, Microsoft Surface, hingga iPhone 5. Berlomba-lomba mereka mengisi papan-papan iklan di seluruh penjuru kota demi menarik perhatian kita. Entah bagaimana para produsen itu mengemasnya, tapi sungguh, apa yang mereka iklankan membuat kita benar-benar terbius dalam fantasi yang begitu indah.

Ambil contoh iPhone 5 terbaru. Produk ini membuat kita berfantasi seakan-akan ia bisa membuat hidup kita lebih baik, membuat kita terlihat lebih keren, dan anti-mainstream. Bentuknya begitu tipis dan seksi. Warnanya, hitam atau putih, keduanya sama-sama terlihat sangat elegan. Layar touchscreen lebih lebar, kameranya juga lebih baik, ditambah lagi dengan personal assistant yang cerdas. Siapa yang tak tergoda?

Tapi mari kita coba mundur sejenak beberapa tahun ke belakang. Hidup sebelum ada iPhone 5 (atau bahkan sebelum ada ponsel) sebenarnya tidaklah terlalu buruk. Kita masih bisa survive tanpa harus setiap detik melihat update status Facebook dan timeline Twitter. Kita tak pernah mengecek email sampai nanti tiba di kantor. Kita mungkin tak bisa mencari restoran mana yang terdekat dengan posisi kita, tapi toh kita masih bisa makan. Life was good.

Apakah benar produk-produk itu akan membuat fantasi kita menjadi nyata? Lima tahun lalu iPhone belum ada. Dan hidup kita baik-baik saja. Sepuluh tahun lalu ponsel masih jadi barang langka. Dan hidup kita juga baik-baik saja. Mengapa sekarang situasinya (seolah-olah) terlihat berbeda?

Dan celakanya, to some extent, produk-produk teknologi seperti itu sebenarnya justru menjadi distraction paling besar dalam hidup kita. Alih-alih membuat kita lebih produktif dan efisien, internet justru membuat kita jauh lebih “kepo” daripada sebelumnya.

Ingin tahu cuaca London hari ini? Klik. Ingin tahu harga saham AAPL pada penutupan sore tadi? Klik. Mau cari tempat makan middle eastern yang enak? Klik. Cari tahu apa itu Raspberry Pi? Ada Wikipedia. Penasaran ingin tahu siapa itu Aceng? Google aja. Abis nonton film, ada artis cakep tapi gak tau namanya? Cek IMDB. Tadi abis dikenalkan seorang teman, penasaran dia masih single atau nggak? Stalking saja di Facebook. :)

Rasa ingin tahu itu seringkali muncul dalam waktu beberapa detik dan harus segera dicari jawabannya segera. Saat itu juga. Tapi pernahkah Anda mencoba untuk berhenti sejenak selama 30 menit atau satu jam misalnya? Biasanya rasa penasaran itu akan hilang dengan sendirinya. Toh urusan-urusan semacam itu biasanya bukan persoalan keamanan negara atau soal hidup mati seseorang. Why hurry?

Sepuluh-duapuluh tahun lalu, kalau ada “sesuatu” yang menarik perhatian kita, biasanya kita bisa menyalakan televisi dan berharap ada tayangan tentang itu. Atau, kita bisa pergi ke perpustakaan atau toko buku dan mencarinya di ensiklopedia. Atau, bisa juga kita tanyakan ke famili/kerabat yang dianggap lebih tahu. Tapi seringkali kita lupa begitu saja. Barangkali “sesuatu” itu memang tak terlalu membutuhkan perhatian kita. Sometimes, not knowing everything is good.

Kadangkala produk-produk teknologi memang membuat kita hidup dalam fantasi. Tak jarang arus informasi yang begitu deras membuat kita ingin tahu segalanya. Dan menjadi orang yang pertama mengetahui segala sesuatunya adalah fantasi yang luar biasa hebatnya. Tapi kita lupa bahwa ada sesuatu di hadapan kita: realita.

Terlalu sering kita menghabiskan waktu demi mengejar fantasi kita. Beberapa fantasi itu menjadi nyata, tapi tak jarang fantasi itu ternyata tidak seperti apa yang kita fantasikan sebelumnya. Ternyata mempunyai iPhone 5 tidak membuat hidup saya lebih keren. Ternyata menjadi orang pertama yang mengetahui cuaca atau harga saham hari ini tak membuat saya lebih hebat.

And then I realise: I don’t really need the fantasy to be happy. Reality without fantasies is perfect. And sometimes, I’ll just let my mind wandering around in the dark. I know it’s seems strange. It’s different kind of life. But I’m happy.

I’m living in reality, not in a fantasy. What about you?