Ikut-ikutan Bodoh

Beberapa kasus yang terjadi belakangan di Indonesia memang sering menimbulkan banyak tanya. Kenapa sih orang-orang “baik” yang terjun ke politik kemudian malah jadi terjerumus dan ikut-ikutan jadi preman? Yang semula aktivis penggiat reformasi, malah berbalik jadi aktor terdepan melakukan korupsi. Yang semula menyerukan nilai-nilai agama, malah melakukan politik praktis yang tidak beretika. Fenomena itu mungkin bisa dijelaskan dengan dua penjelasan berikut: ringelmann effect dan tragedy of the commons. Apakah itu?

Logikanya, ketika kita bekerja bersama-sama dengan orang lain, kita cenderung akan bekerja lebih serius dan target akan lebih mudah dicapai. Banyak tangan lebih baik daripada hanya dua tangan kita sendiri. Alhasil, pekerjaan yang dilakukan secara bergotong royong akan lebih mudah daripada bila dilakukan sendirian. Tapi apakah benar begitu?

Kenyataannya, ketika Anda berada dalam suatu grup atau kelompok, Anda justru bekerja tidak lebih baik daripada ketika Anda bekerja sendirian. Tipuan psikologis ini disebabkan karena Anda merasa bahwa hasil pekerjaan Anda akan digabung dan diakumulasikan dengan pekerjaan orang lain. Otomatis, Anda merasa tidak perlu lagi bersusah payah. Toh hasilnya nanti akan jadi hasil kolektif grup atau kelompok.

Tipuan psikologis ini disebut Ringelmann Effect, yang diambil dari seorang insinyur berkebangsaan Perancis bernama Maximilien Ringelmann. Ringelmann berargumen: You put less effort when in group than you would if working alone on the same group.

Efek psikologis ini pernah diuji secara empiris salah satunya oleh Alan Ingham di tahun 1974. Sejumlah responden ditutup matanya dan diminta untuk menarik seutas tambang. Ingham kemudian mengukur daya tarik dari tiap-tiap responden.

Alan Ingham melakukan dua kali percobaan. Pada percobaan pertama, responden diberi tahu bahwa ia akan menarik tali tersebut bersama-sama dengan responden lain. Sedangkan pada percobaan kedua, responden diberi tahu bahwa ia akan menarik tambang sendirian.

Hasilnya, ketika responden diberi tahu bahwa mereka akan menarik tali bersama-sama dengan yang lain, daya tariknya justru rata-rata 18 persen lebih rendah daripada ketika mereka diberi tahu akan menarik tali tersebut sendirian. Padahal, di dua percobaan tersebut, tiap responden sebenarnya menarik tali tersebut sendirian.

Selain itu, responden yang diuji menunjukkan adanya fenomena evaluation apprehension. Ketika responden diuji atau dinilai sendirian, mereka cenderung lebih serius dan berusaha tampil maksimal. Sebaliknya, ketika diuji bareng-bareng, responden cenderung rileks atau bahkan malas.

Ini yang menjelaskan mengapa produk regulasi dari DPR kita—yang notabene dikerjakan bersama-sama dengan menghabiskan banyak anggaran—ternyata tidak ada yang menonjol. Ini juga yang menjelaskan mengapa banyak satuan tugas atau unit tugas yang dibentuk oleh pemerintah, tetapi tidak memberikan hasil sesuai yang diharapkan.

Penjelasan kedua adalah tragedy of the commons. Ide ini dicetuskan oleh seorang geolog bernama Garrett Hardin di tahun 1968. Untuk menjelaskan tragedy of the commons, coba simak ilustrasi berikut.

Semisal ada sebuah danau yang penuh dengan ikan. Ada beberapa orang pemancing di danau tersebut, termasuk Anda. Selama tiap orang mengambil ikan secukupnya, maka jumlah ikan di danau akan tetap terjaga. Selama setiap pemancing hanya mengambil ikan sesuai yang akan mereka makan hari itu, maka tidak akan ada yang kekurangan.

Tapi bagaimana bila ada satu pemancing yang berbuat “lebih”? Ada satu pemancing yang mengambil ikan lebih banyak, lalu menjualnya ke pasar sehingga ia mendapatkan uang lebih. Ada pemancing lain yang menggunakan jala dan kapal supaya bisa memperoleh lebih banyak ikan.

Apa yang kira-kira akan Anda lakukan?

Kebanyakan orang tidak akan tinggal diam. Mungkin Anda akan ikut-ikutan berbuat curang. Mungkin Anda akan berkomplot dengan salah satu pemancing untuk menyetrum ikan-ikan di sana. Yes, anger over unfair situations is something you can’t help but feel. Pada akhirnya, ikan-ikan di danau akan habis, ekosistem rusak, dan semua orang kehabisan ikan.

Satu orang berbuat “lebih”, semua orang ikut-ikutan berbuat yang sama. Satu orang melakukan kecurangan, yang lain merasa “berhak” ikut berbuat curang. One misguided exploiter can crash the system. Greed is contagious, indeed.

Contoh yang kelihatan nyata misalnya di lampu merah. Ketika lampu merah menyala, ada satu pengendara motor yang berhenti melewati garis. Pengendara motor yang lain berhenti di depannya. Kemudian tak lama ada pengendara motor yang nekat menerobos kendati lampu hijau belum menyala. Tak lama kemudian, seluruh pengendara motor bersamaan kompak melanggar lampu merah.

Contoh lain misalnya ada antrian pembagian sembako gratis. Pada awalnya, antrian rapi dan semua orang tertib menunggu sesuai gilirannya. Tiba-tiba ada satu ibu-ibu yang menerobos antrian, protes, dan marah-marah karena merasa seharusnya ia didahulukan. Tak lama kemudian seorang bapak-bapak ikut-ikutan marah. Tak butuh waktu lama sampai antrian itu berubah jadi kerusuhan. Sounds familiar, isn’t it?

Dari uraian di atas, setidaknya ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil.

Pertama, kalau kita berorientasi pada hasil yang terbaik, maka sedapat mungkin pengukuran kinerja dilakukan secara individu. Kalau semua pekerjaan digarap keroyokan dan dinilai secara keroyokan pula, maka kecenderungannya performa akan menurun. Apalagi di pemerintahan, di mana orang-orangnya cenderung stagnan, lama mengisi satu pos/jabatan; akan cenderung makin lembam dan anti perubahan. Celakalah sudah.

Kalau sudah begini, cara terbaik mungkin dengan memasukkan outlier dari luar organisasi. Kalau orang-orangnya itu lagi-itu lagi, kecil kemungkinan akan ada perubahan signifikan. Perlu adanya seorang ekstrimis yang masuk ke dalam organisasi dan bisa melakukan perubahan yang radikal. Disruptive change.

Pelajaran kedua, you will cheat if you think the system is cheating you, no matter what. Maka dari itu, kita perlu regulasi dan penegakan hukum kuat. Begitu kita tahu ada satu orang berbuat curang dan “didiamkan”, lama-lama kita semua akan ikut-ikutan karena kecurangan dianggap sebagai sesuatu yang lumrah.

Tapi sekali pelanggar lampu merah ditindak, dicabut SIM-nya, dijatuhi hukuman denda yang berat, maka pengendara yang lain ikut-ikutan jera. Contoh lain, suatu daerah berhasil memotong lamanya administrasi dan biaya siluman dalam pengurusan KTP, maka daerah-daerah yang lain pun ikutan. Perbuatan curang memang menular, tetapi perbuatan baik juga bisa menular.

Nah, sekarang tinggal pilih. Mau jadi ikut-ikutan bodoh atau mau jadi yang terdepan membawa perubahan?