Ketercerabutan Media Sosial di Indonesia

Nampaknya memang ada yang salah dengan pengguna media sosial di Indonesia. Wajar, media sosial barangkali merupakan salah satu temuan terhebat manusia yang sekaligus juga salah satu yang sulit untuk dipahami. Tengok saja, teknologi yang sedemikian maju ternyata sering belum diimbangi dengan perilaku yang sejalan. Misalnya, mengantongi gadget terkini yang mahal, namun berdebat di dunia maya dengan bahasa seperti orang tak pernah kenal bangku sekolah. Contoh lain, seseorang yang dianggap menyalahi “pakem” dengan mudah akan mendapatkan cyber bully di media sosial. Atau, mereka yang “nyleneh” justru mendapatkan panggungnya di dunia maya dibandingkan mereka yang berprestasi.

Ketercerabutan (disembeddedness) ini disebabkan antara lain oleh, pertama, kegagalan dalam memilah antara identitas fisik dan identitas digital. Krisis identitas yang dihadapi manusia modern adalah bagaimana menyeimbangkan antara identitas digital dan identitas fisik/riil. Ketika setiap orang memiliki email dan tergabung dalam jejaring sosial, maka seorang pribadi dengan satu identitas fisik bisa memiliki beragam identitas digital (split personalities). Menariknya, identitas digital ini lahir sebelum kita lahir di dunia fisik dan masih akan tetap hidup di dunia maya kendati pemiliknya sudah meninggal di dunia nyata.

Peradaban manusia di dunia fisik cenderung memelihara perdamaian dan membatasi aspek-aspek negatif yang muncul satu sama lain. Peradaban manusia di dunia maya, sebaliknya, cenderung memungkinkan adanya pelarian dan pembangkangan atas kendali-kendali yang lazim dijumpai dalam dunia fisik. Masyarakat dunia maya sangat mudah terhubung satu sama lain dengan cara-cara yang baru dan terkadang acak (random closeness). Implikasinya, menjadi sangat mudah bagi seseorang untuk membangun weak ties melalui dunia maya, yang kemudian bisa ditingkatkan menjadi medium ties atau bahkan strong ties di dunia nyata.

Perubahan dari weak ties menjadi medium ties atau strong ties ini membuat magnitude aktivitas di media sosial menjadi seakan lebih terasa. Kedekatan yang semula bersifat acak (random closeness) bisa menjadi gerakan yang masif dan intim (intimate closeness). Sebuah gerakan yang diinisiasi oleh dua-tiga orang barangkali tak berpengaruh banyak, namun ketika ia menjalin banyak jejaring, gerakan tersebut bisa menjadi ancaman dan masalah yang tak bisa diabaikan. Tiga juta orang turun ke jalan mungkin membuat orang tak bergeming. Tapi akun anonim dengan hanya tiga puluh ribu follower bisa membuat pemerintah kebat-kebit. Magnitude yang diciptakan dari media sosial bisa membuat over-reaction yang berlebihan dan tak lagi bisa dipandang sebelah mata.

Faktor kedua yang menyebabkan ketercerabutan ini adalah kesulitan dalam menerjemahkan teknologi (translation problem). Teknologi, secara alamiah, bisa memberikan kesan yang keliru. Saat ini data yang dihasilkan dalam dua hari melampaui data yang dimiliki umat manusia selama 2000 tahun. Makin banyak informasi memang akan membantu menyelesaikan banyak masalah. Namun tak semua informasi berguna. Sebagian justru hanya merupakan noise. Makin banyak informasi juga tak melulu berarti makin tingginya transparansi. Kegagalan dalam menerjemahkan teknologi bisa menjadi frightening—dalam beberapa kasus bahkan bisa mendorong seseorang menjadi makin agnostik.

Umat manusia memang ditakdirkan untuk berjejaring dan berbagi kesamaan serta kepentingan satu sama lain. Teknologi bisa membantu semua itu, tetapi teknologi bukan obat manjur yang serta merta mampu mengatasi semua masalah umat manusia. Tantangan utama yang dihadapi saat ini adalah ancaman oversharing yang ekstrim. Pengguna media sosial cenderung membagi foto, artikel, video, atau tautan secara bertubi-tubi melalui Facebook, Twitter, Path, Youtube, dan sebagainya. Selain hanya akan menjadi noise, oversharing membuat manusia sekarang kehilangan fokus dan tergerus daya konsentrasinya menjadi lebih pendek.

Faktor ketiga adalah ilusi akan kekuasaan (power) dan tanggung jawab (responsibility). Media sosial membuat semua orang mudah berjejaring tapi bukan berarti membebaskan diri dari tanggung jawab. Kebebasan berpendapat (freedom of speech) melalui media sosial tidak serta merta memberi hak seseorang untuk mengancam, menjelek-jelekkan, atau mendiskreditkan seseorang di dunia maya maupun di dunia fisik. Sesorang dengan pengikut 10.000 orang tidak serta merta punya kekuasaan lebih tinggi dan berhak untuk merendahkan orang lain yang hanya memiliki 100 atau 1.000 pengikut.

Perlu dicermati juga bahwa berbeda dengan dunia fisik, dunia digital menyimpan memori dengan lebih akurat dan tahan lama. Ia tak memiliki tombol “delete” atau “format“. Internet menyimpan foto/video Anda semasa muda dulu. Ini punya konsekuensi besar, semisal jika Anda ingin mencalonkan diri jadi seorang pejabat publik. Konsep anonimitas adalah sesuatu yang tak pernah dijumpai 100 tahun lalu. Teknologi yang juga makin mudah dan murah diakses, membuat anak muda jaman sekarang mengenal dunia maya lebih dini. Akibatnya, orang tua masa kini dituntut untuk mengenalkan konsep privasi dan sekuriti jauh lebih dini dibanding konsep pubertas sebagaimana para orang tua sepuluh-duapuluh tahun lalu.

Faktor-faktor tersebut di atas membawa dampak yang menarik untuk dicermati lebih jauh. Dari kacamata individu misalnya, media sosial membuat seseorang lebih mudah berjejaring dan mencari peluang. Ketika paparan (exposure) bertautan dengan peluang (opportunity), maka pintu peluang (opportunity) terbuka lebar. Mereka tidak lagi tertarik pada pekerjaan yang dipandang administratif dan monoton seperti menjadi pegawai negeri karena tidak terlalu “keren” untuk dipamerkan di media sosial. Mereka juga cenderung oportunis, suka tantangan baru, dan menggantungkan hidup pada profesi-profesi yang lebih dinamis. Tak heran bila di era media sosial makin banyak profesi-profesi baru bermunculan meninggalkan profesi-profesi lama yang dianggap kuno (outdated).

Dari kacamata masyarakat (society), media sosial juga membuat ekspektasi makin meningkat. Kasus-kasus seperti korupsi, tindak kriminal, malpraktik, kecelakaan, hingga melanggar jalur busway, bisa dieskalasi begitu cepat di media sosial dan berharap untuk bisa diselesaikan dalam waktu singkat—walaupun proses untuk menyelesaikan itu semua di dunia fisik butuh waktu yang tak sebentar. Oleh karena itu wajar bila media sosial membantu melahirkan oposisi-oposisi baru (cyber dissident) dan meningkatkan tekanan (pressure) terhadap pemerintah.

Dari kacamata pemerintah, dinamika politik akan berubah drastis ketika makin banyak orang masuk dunia maya. Rakyat akan menjadi kian tidak mentolerir miskalkulasi dan ruang bagi kesalahan sekecil apapun. Dalam peradaban tanpa internet, relatif lebih mudah mengendalikan massa melalui intervensi militer atau penyebaran isu (news blackouts). Media sosial memang tidak akan menggantikan media konvensional, tetapi akan membuat segala sesuatunya lebih kompleks. Misalnya, kebijakan publik bagi aktivitas dunia maya tentu berbeda dengan kebijakan serupa di dunia fisik. Dan tentu saja, mengawasi 10 juta orang di dunia maya bisa jadi empat atau lima kali lebih sulit daripada mengawasi hanya 2 juta orang saja.

Pada akhirnya, pemerintah, masyarakat, dan kita semua harus beradaptasi. Tiga tahun lagi, pengguna media sosial di Indonesia bisa bertumbuh dua kali lipat. Kita selalu optimis akan masa depan, tetapi selayaknya harus lebih jujur terhadap tantangan yang akan dihadapi. Media sosial bisa mempercepat proses pergerakan sosial di masyarakat, tapi tetap butuh kepemimpinan yang kuat dan landasan institusional yang solid. Sudahkah kita memiliki semua itu? Media sosial memang membuat seseorang lebih terhubung, tercerahkan, tapi kita masih kekurangan komoditas intelektual. Bisakah media sosial menjawab kebutuhan itu? Dan terakhir, kita harus jujur bahwa media sosial adalah produk teknologi yang belum mampu mengatasi masalah-masalah riil di lapangan: kekurangan pangan, kelangkaan bahan sembako, kemiskinan, dan sebagainya.

Tak kalah penting, untuk mengatasi ketercerabutan ini, kita juga harus mengembalikan media sosial kepada maqom-nya. Media sosial adalah tentang manusia. Media sosial adalah mesin penghubung yang mengikat kita dengan informasi, aksi, dan transaksi. Untuk mengembalikan nilai hidup kita, media sosial harus dilandasi prasangka baik (good faith) di antara sesama. Jika Anda percaya bahwa orang lain di sekitar Anda pada dasarnya baik dan ingin menjadi baik, maka mari kita sama-sama gunakan media sosial ini untuk mewujudkan potensi tersebut pada semua orang. Media sosial memberdayakan (empower) “orang baik” dan “orang jahat”—bagaimana kita merespon, bagaimana kita terlibat, itulah yang akan menentukan hasilnya kelak.