Kutukan BBM Subsidi

Barangkali negeri kita Indonesia tercinta memang terlahir untuk menjadi negeri yang serba tertinggal. Ketika negara lain sudah nyaman dengan energi terbarukan, kita masih nguplek soal pencabutan subsidi BBM. Padahal selain krisis energi, ada masalah lain yang jauh lebih menakutkan: krisis pangan.

Ketika negara lain ramai-ramai melindungi tanah pertaniannya, kita malah pamer jualan mall dan apartemen. Ketika negara lain tulus “ngemong” para petaninya, kita malah mangabaikan mereka. Ketika negara lain sibuk memborong lahan pertanian di negara lain, kita masih sibuk membeli BBM impor.

Ini bukan masalah sepele. Harga pangan dunia terus menerus naik. Indeks harga pangan FAO di tahun 2000 hanya 91,1, sekarang berlipat jadi 209,8 (2013). Selain itu, ketersediaan lahan pertanian makin terbatas. Padahal, populasi manusia di dunia saat ini mencapai 7,125 miliar dan akan terus bertambah.

Studi yang dilakukan Rulli et al. (2013) di Proceedings of the National Academy of Sciences menunjukkan bahwa sekarang ini ada sekitar 0,7% hingga 1,75% lahan pertanian di muka bumi ini yang diperjualbelikan. Sebagai gambaran, area tersebut kira-kira luasnya sama dengan luas Jerman ditambah dengan Perancis.

Seaquist et al. (2014) di Environmental Research Letters mencatat setidaknya 126 negara saat ini terlibat dalam jual beli lahan pertanian. Investor paling aktif antara lain Amerika Serikat, China, Inggris, Jerman, India, dan Belanda. Mereka memburu lahan di wilayah Amerika Selatan, Afrika, dan Asia—target utamanya Brazil, Ethiopia, Filipina, Sudan, Madagascar, Mozambique, serta Tanzania.

China, Inggris, dan Amerika, masing-masing membeli tanah di 33, 30, dan 28 negara demi menjamin ketahanan pangan di negaranya. Tak usah jauh-jauh, tetangga kita Singapura membeli lahan pertanian di 18 negara, sementara Malaysia sudah membeli di 12 negara.

Bagaimana dengan Indonesia? Studi World Bank tahun 2010 menemukan bahwa sekitar 27.400 mil persegi tanah di Indonesia sudah berpindah tangan. Yang menyedihkan, lahan pertanian tersebut dijual kepada investor asing untuk dijadikan kebun kelapa sawit. Ini jauh lebih menyedihkan daripada gosip tentang Syahrini dan Nikita Willy.

Mengapa para investor tersebut berbondong-bondong membeli lahan pertanian di luar negerinya? Ada beragam alasan. Pertama, mereka menyadari bahwa suplai air bersih semakin sulit. Inilah mengapa mereka mengejar lahan-lahan di daerah tropis atau daerah dengan suplai air bawah tanah memadai. Kedua, mereka memburu lahan-lahan yang masih under-utilised. Harapannya, mereka bisa meningkatkan produktivitas dengan mengadopsi metode dan teknologi pertanian yang lebih modern.

Jual beli ini seharusnya bisa menjadi simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan. Negara “pembeli tanah” bisa mendapatkan pasokan bahan pangan yang memadai dan terjamin. Di sisi lain, negara “penjual tanah” bisa meningkatkan produktivitas lahan pertaniannya dan membuka lapangan pekerjaan baru.

Masalahnya, fenomena ini juga bisa mendorong terjadinya relokasi paksa. Ethiopia misalnya. Kalau tidak diimbangi dengan program food assistance yang terpadu, relokasi paksa bisa mendorong adanya kelaparan endemik karena praktis penduduk dipindahkan dari daerah pertanian “bagus” ke daerah yang “kurang bagus.”

Kedua, investor yang oportunis akan berusaha mengeruk keuntungan maksimal. Di Kamboja misalnya, mereka memanfaatkan loophole dalam hukum hak kepemilikan lahan. Mereka dengan mudah mengeksploitasi keluguan para petani yang tidak melek hukum dan punya pengetahuan terbatas. Ujung-ujungnya, tanah-tanah “bagus” sudah berpindah tangan—tak jarang dijual dengan harga sangat murah.

Ketiga, pengambil kebijakan yang oportunis akan memilih untuk memenangkan investor asing daripada mengutamakan warganya sendiri. Hal ini terjadi di Sudan. Lahan pertanian terbaik di tepian Sungai Nil sudah habis terjual. Lahan-lahan tersebut menghasilkan pangan yang diekspor ke luar negeri. Ironisnya, sebagian besar warga Sudan sendiri masih bergantung pada subsidi dan bantuan pangan.

Gejala-gejala tersebut di atas sudah bisa teridentifikasi di negeri kita tercinta ini. Tapi masalahnya, kita masih terlalu sibuk memikirkan hal-hal yang sudah seharusnya kita tuntaskan sejak lama. Penanganan krisis energi dan pencabutan subsidi sudah semestinya diselesaikan bertahun-tahun lalu. Kini saatnya fokus menatap masa depan dan menyelesaikan masalah-masalah baru yang bermunculan.

Tapi barangkali kita memang akan selalu menjadi negeri yang serba tertinggal.