Lupakan Resolusi Tahun Baru

Tak usah repot-repot membuat resolusi tahun baru. Hampir pasti Anda akan melewatkannya, menjadikan resolusi yang susah payah Anda buat dengan penuh semangat menjadi sekadar daftar panjang yang sia-sia.

Sejak jaman Adam Smith (1723-1790) dan Jeremy Bentham (1748-1832), ekonom mainstream telah melihat konsumen sebagai pengambil keputusan yang rasional didorong oleh pengejaran tanpa henti akan kepentingan pribadinya. Namun pandangan tradisional ini telah dipatahkan oleh sejumlah bukti empiris dari para behavioural economist yang menemukan adanya anomali dalam perilaku manusia. Berbagai riset menunjukkan bahwa manusia ternyata tidak rasional seperti halnya konsep homo economicus yang diajukan oleh ekonom mainstream.

Ketika seseorang dihadapkan pada pilihan antara hadiah Rp 1 juta hari ini atau hadiah Rp 1,1 juta besok, misalnya, sebagian besar orang akan memilih opsi pertama. Tapi, ketika dihadapkan pada pilihan hadiah Rp 1 juta 30 hari yang akan datang atau Rp 1,1 juta 31 hari yang akan datang, sebagian besar orang justru memilih opsi kedua. Kedua opsi tersebut sama-sama menawarkan tambahan Rp 100 ribu di keesokan harinya, namun perilaku tersebut menggambarkan inkonsistensi pilihan seseorang dalam kurun waktu tertentu yang tidak dapat dijelaskan oleh teori neoklasik.

Fenomena di atas disebut hyperbolic discounting, atau kecenderungan seseorang untuk memilih imbalan yang lebih kecil dan lebih cepat ketimbang imbalan yang lebih besar namun lebih lama. Ekonom Paul Samuelson pertama kali mencetuskan istilah tersebut di tahun 1937. Ia menyebutkan bahwa nilai utilitas akan makin terdiskonto seiring berjalannya waktu sesuai dengan bentuk fungsi hiperbola. Pada dasarnya, hyperbolic discounting menjelaskan mengapa seseorang bertindak impulsif dalam jangka pendek tetapi menunjukkan adanya kesabaran dalam perilaku jangka panjang. Tentu saja gagasan ini tidak konsisten dengan teori ekonomi tradisional yang mengasumsikan seseorang mendiskontokan imbalan di masa depan berdasar persentase yang tetap. Sebagai contoh, bila tingkat diskonto 10%, seharusnya perilaku konsumen akan indifferen ketika dihadapkan antara pilihan Rp 100 juta hari ini dan Rp 110 juta tahun depan.

Fenomena hyperbolic discounting juga sering dikaitkan dengan beragam perilaku manusia yang telah sering diobservasi seperti kebiasaan menunda (procrastination), kecanduan (addiction), atau masalah dengan kehendak dan akal diri (willpower). Bulan Desember semacam ini, misalnya, orang-orang mulai sibuk menyusun resolusi tahun baru yang menjanjikan. Masalahnya adalah sekalipun kita tahu bahwa imbalan akan hidup sehat dan diet teratur akan lebih besar manfaatnya dalam jangka panjang, sepiring gorengan yang lezat di depan mata saat ini terasa lebih menjanjikan. Fokus untuk mendapatkan kesenangan sesaat dari melahap sepiring gorengan, membuat orang mendiskon imbalan di masa depan secara obral-obralan. Yang menarik, kita sadar bahwa gorengan merugikan kesehatan namun kenikmatan sesaat (instant gratification) terasa jauh lebih besar daripada kesehatan dan umur panjang (future benefits).

Penelitian tentang neurologi menemukan adanya dua bagian dalam otak manusia yang berbeda ketika memproses pilihan saat ini dan pilihan di masa depan. Pilihan untuk menunda kesenangan sesaat sebagian besar diproses oleh frontal system yang terkait dengan reasoning dan problem solving. Sementara itu, pilihan untuk melakukan hal-hal impulsif dan menyenangkan sesaat diproses oleh lymbic system, yang secara umum terhubung dengan perasaaan kita akan rasa sakit dan rasa senang.

Sejumlah temuan empiris menunjukkan bahwa orang-orang menggunakan hyperbolic discounting untuk mengakumulasi tagihan kartu kredit yang tinggi ketimbang mengalokasikan dananya untuk tabungan pensiun mereka di masa depan. Kepuasan dari membeli barang saat ini (kendati dibayar dengan hutang) jauh lebih besar daripada kesenangan atas pensiun di masa depan yang berkecukupan. Imbalan di masa depan (pensiun yang berkecukupan) dipandang kurang menarik mendorong mereka untuk mendiskonto habis-habisan. Mereka memilih alternatif investasi yang lebih menarik dan memberikan imbalan yang lebih cepat.

Terkait dengan investasi, hyperbolic discounting menunjukkan bahwa perilaku investasi seseorang mencerminkan kesabarannya di jangka depan dan ketidaksabarannya di dalam jangka pendek. Pasar saham menggambarkan hyperbolic discounting ini dengan sangat baik. Dalam jangka pendek, saham dan indeks umumnya bergerak sangat volatile tapi dalam jangka panjang mereka akan cenderung bergerak stabil.

Apa yang dapat kita pelajari dari fenomena ini? Pertama, sadarilah bahwa preferensi jangka panjang kita mungkin tidak akan selalu sejalan kecuali kita memiliki komitmen yang kuat untuk mengikat tujuan-tujuan tersebut. Kendati demikian, dalam perjalanannya kelak Anda akan selalu menemukan beragam godaan untuk mengambil tindakan yang memberikan imbalan kesenangan sesaat. Ada baiknya Anda menentukan batasan yang mampu Anda raih dengan keyakinan diri Anda sendiri dan manfaatkan lingkungan sekitar untuk membantu Anda mewujudkan resolusi-resolusi tersebut. Kedua, ada baiknya Anda membuat resolusi sesaat sebelum Anda akan mengerjakannya dan jangan pernah menunda. Sesuatu yang jauh akan terlihat kecil dari titik dimana Anda berdiri. Bawa tujuan-tujuan Anda mendekat untuk melihat seberapa besar mereka sesungguhnya.

Beberapa saran lain misalnya, buat satu atau dua resolusi saja yang sangat spesifik. Jabarkan menjadi kebiasaan-kebiasaan kecil yang mudah diterapkan dalam keseharian Anda. Jangan membuat tujuan-tujuan yang besar. Ada baiknya Anda memberi trigger dengan cara mengkomunikasikannya kepada beberapa orang dalam lingkungan sosial Anda atau memberi imbalan yang lebih besar bila komitmen tersebut bisa tercapai. Bila Anda menyadari tantangan ini dan mampu bersikukuh terhadap preferensi dan pilihan Anda di masa depan, seperti kata Richard Thaler dan Cass Sunstein (2008), you may find yourself healtier, wealthier, and happier.

*) Tulisan ini dimuat di Harian Kontan, Sabtu, 20 Desember 2014, halaman 19.