Memahami Algoritma Digital

Ada dua orang wisatawan sedang jalan-jalan ke Jogja. Turis pertama mengambil foto Gedung Agung menggunakan kamera digitalnya. Turis kedua membawa alat lukis dan menggambar Gedung Agung di atas kanvas. Kedua wisatawan tersebut sama-sama membuat representasi dari sebuah realita, yaitu Gedung Agung. Tapi apa perbedaan di antara keduanya?

Turis yang menggambar di atas kanvas membuat representasi fisik dengan cara menjatuhkan senyawa kimia berwarna dalam sebuah media yang reseptif. Cara konvensional ini membutuhkan penanganan ekstra dan relatif sulit untuk diduplikasi atau dipindahkan. Seiring berjalannya waktu, cuaca dan temperatur juga akan mengakibatkan degradasi warna dan memburuknya kualitas media.

Turis yang mengambil gambar menggunakan kamera membuat representasi digital dengan cara membagi sebuah area dalam jutaan grid (pixel) dan merekam sederet angka (hex code) untuk mewakili intensitas warna dari masing-masing grid. Kamera juga merekam informasi (metadata) yang memuat data tentang waktu dan tempat, judul dan deskripsi foto, pengaturan kamera (aperture, shutter speed, focal length, ISO speed, dan sebagainya), hingga lokasi di mana foto tersebut diambil (geotagging).

Piranti digital memang cenderung lebih superior dibanding piranti fisik dan mekanik. Ia memiliki kemampuan nyaris tak terbatas untuk melakukan kodifikasi dalam menghasilkan representasi digital yang makin mewakili realitas kehidupan kita yang demikian kompleks.

Selain mencatat gambar dengan begitu tajam, ia mampu merekam suara dengan detil, membuat video dengan sangat riil, dan melakukan banyak hal menakjubkan lainnya. Terima kasih kepada Hukum Moore yang membuat teknologi mutakhir mampu menghasilkan representasi digital yang kian mendekati realitanya.

Namun, perlu disadari bahwa representasi digital tersebut memiliki dua karakter yang sangat mendasar.

Pertama, representasi digital sangat mudah dipindahtangankan dengan mempertahankan kualitas aslinya tanpa ada erosi dan korupsi selamanya. Anda bisa mengirimkan representasi digital Gedung Agung kepada siapa pun di mana pun dengan kualitas yang sama. Kedua, representasi digital juga dapat dimanipulasi dengan mudah. Anda bisa mengubah representasi digital Gedung Agung dan membuatnya lebih cerah, lebih tajam, lebih tegak, atau menambahkan efek visual lainnya.

Saat ini kita berada pada titik di mana piranti lunak (software) dan platform Internet mengkonstruksi segala aspek kehidupan kita. Algoritma di balik piranti dan platform tersebut tidak hanya melakukan kodifikasi informasi seperti teks, gambar, atau video; melainkan juga mengkodifikasi kita.

Ketika sebuah algoritma merekomendasikan kita rute terbaik yang bisa kita tempuh, barang termurah yang bisa kita beli, atau film dan musik yang layak kita nikmati, mereka sebenarnya tidak berinteraksi dengan kita, melainkan dengan representasi digital kita.

Algoritma, secara sederhana, adalah seperangkat urutan aksi yang dijalankan. Ia dapat mengerjakan kalkulasi, pemrosesan data, hingga penalaran otomatis. Algoritma sendiri bukan hal yang benar-benar baru karena konon ia sudah digunakan sejak abad ke-9. Algoritma sendiri diturunkan dari bahasa latin “algorismus” yang diambil dari nama Al-Khawarizmi, ahli matematika asal Persia, dan kata “arithmos” dari bahasa Yunani yang berarti angka.

Sejak abad ke-20, algoritma makin gencar dimanfaatkan untuk menjelaskan kompleksitas alam semesta seperti pergerakan tata surya hingga genetika tubuh manusia. Pemahaman kita akan algoritma makin mengemuka sejalan dengan berkembangnya ilmu komputer dan ilmu alam yang dikombinasikan dengan matematika diskrit. Kini, dengan berkembangnya big data dan machine learning, algoritma modern telah memiliki kapabilitas yang luar biasa.

Oleh karena itu, patut menjadi perhatian kita bersama akan sejauh mana representasi digital kita mencerminkan diri kita yang sesungguhnya. Setidaknya ada dua pertanyaan besar yang perlu kita pahami. Misalnya, bagaimana proses digitalisasi (encoding dan decoding) dilakukan oleh algoritma untuk mendapatkan representasi digital kita?

Pertanyaan berikutnya adalah, hal-hal apa yang dapat tercermin dan hal-hal apa yang tersembunyi dari representasi digital tersebut? Karena sekali algoritma melihat dan menangkap cerminan tersebut, ia dapat mentransfer, memanipulasi, dan menyebarkannya ke dalam lanskap digital yang jauh lebih luas.

Kegagapan kita dalam menyikapi perkembangan teknologi sering kali bukan karena ketidaktahuan kita terhadap teknologi saja, melainkan juga kurang pahamnya kita terhadap representasi digital kita dan konsekuensi atas representasi digital tersebut.