Membeli Kebahagiaan dengan Uang

“Money has never made man happy, nor will it, there is nothing in its nature to produce happiness. The more of it one has the more one wants.” –Ben Franklin

Penelitian memang membuktikan bahwa uang bisa membeli kebahagiaan, tapi pengaruhnya ternyata tidak sebesar itu. Banyak studi psikologi membuktikan bahwa peningkatan jumlah gaji, pada level tertentu, hanya memberikan sedikit (atau bahkan nol) kepuasan. Pada akhirnya, orang akan cenderung menghabiskan berapapun penghasilan yang mereka peroleh.

Sebagai contoh, misalkan gaji Anda naik Rp 5 juta. Anda mulai menambahkan audio set mutakhir di mobil Anda. Anda senang membeli baju-baju bermerk ekslusif. Anda mengambil cicilan rumah yang lebih besar. Begitu seterusnya. Pada akhirnya Anda akan bertanya-tanya, “Gaji saya naik Rp 5 juta per bulan, tapi kemana perginya uang itu?”

Apa kata para pakar tentang fenomena ini? Bagaimana cara kita mengatasi “jebakan” ini?

Prinsip 1: Lebih baik membeli pengalaman daripada membeli barang

Eksperimen yang dilakukan Carter dan Gilovich (2010) menunjukkan bahwa responden yang membeli pengalaman (experiential purchases) cenderung lebih bahagia daripada mereka yang membeli barang (material purchases). Manusia punya kemampuan adaptasi secara cepat. Setelah membeli sepeda baru dan melewati masa honeymoon period, sepeda baru itu pada akhirnya tak beda dengan sepeda lainnya. Sebaliknya, pengalaman membeli perjalanan ke Raja Ampat akan melekat dalam memori dari waktu ke waktu.

Penelitian dari Van Boven dan Gilovich (2003) juga menunjukkan bahwa manusia lebih cenderung mengingat kembali pengalaman-pengalaman yang sudah mereka beli di masa lalu daripada barang-barang yang pernah mereka beli. Sebagai contoh, Anda pasti bisa menceritakan setiap detil perjalanan Anda mendaki Gunung Semeru atau liburan honeymoon Anda bersama pasangan Anda. Tapi bisakah Anda menceritakan dengan sama detilnya ketika Anda pertama kali membeli motor atau mobil baru?

Prinsip 2: Lebih baik membeli untuk orang lain daripada untuk diri sendiri

Manusia adalah makhluk paling sosial di muka bumi ini. Hanya ada tiga makhluk hidup yang punya jejaring sosial lebih kompleks dari manusia. Tapi jejaring sosial manusia melibatkan lebih banyak individu yang acak dan tak terkait langsung (unrelated). Maka tak heran bila jejaring sosial memegang peranan penting dalam kebahagiaan manusia. Apapun yang kita belanjakan untuk meningkatkan koneksi kita kepada orang lain (prosocial spending) akan membuat kita lebih bahagia.

Riset membuktikan bahwa memberikan hadiah kepada pasangan bisa meningkatkan mood secara instan. Menyumbangkan sebagian uang kepada yayasan sosial/agama, menurut Schervish dan Szanto (2006), juga terbukti memengaruhi self-presentation kita secara positif. Sayangnya, meski konsep prosocial spending ini sudah diteliti di beragam kultur dan metodologi yang berbeda, tak banyak orang yang menjalankannya. Sebaliknya, masih banyak orang beranggapan bahwa membelanjakan uang untuk diri sendiri akan membuat mereka lebih bahagia daripada mereka membaginya bersama-sama orang lain.

Prinsip 3: Lebih baik membeli banyak hal kecil daripada satu hal besar

Berjalan-jalan ke taman bersama pasangan seminggu sekali akan jadi lebih menyenangkan daripada perjalanan ke Disneyland yang dilakukan setahun sekali. Membeli satu cone eskrim di dua hari yang berbeda lebih menyenangkan daripada membeli dua cone eskrim dan menyantapnya sekaligus. Mengapa bisa demikian? Wilson dan Gilbert (2008) menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk yang cepat beradaptasi terhadap novelty, surprise, dan uncertainty. Ketika melahap eskrim yang kedua di hari yang sama, kita sudah mulai beradaptasi dengan efek novelty, surprise, dan uncertainty tersebut.

Konsep segregasi ini juga menghindarkan kita dari efek diminishing marginal utility. Melahap dua mangkok bakso sekaligus tidak sama tingkat kesenangannya daripada menikmati semangkok bakso dalam dua hari yang berbeda. Riset yang dilakukan Nelson dan Meyvis (2008) menunjukkan bahwa responden lebih memilih dua kali pijatan selama 80 detik diselingi jeda 20 detik daripada pijatan kontinu selama 180 detik.

Prinsip 4: Bayar sekarang, gunakan belakangan

Konsep cicilan dan kartu kredit (gunakan sekarang, bayarnya belakangan) sebenarnya merusak kebahagiaan kita karena menjebak kita dalam shortsighted behavior. Kebiasaan ini mendorong kita untuk menumpuk utang dan malas menyisihkan uang untuk tabungan di masa depan. Padahal, tagihan cicilan dan kartu kredit akan berdatangan, dan ketika tagihan itu datang memaksa kita untuk melunasi hutang, pada saat itulah kesenangan kita buyar.

Sudah banyak penelitian membuktikan bahwa orang-orang yang mempunyai motivasi intrinsik dalam dirinya untuk menunda kesenangan sesaat dan menjadi lebih sabar dalam mengkonsumsi sesuatu, cenderung akan menjalani hidup yang lebih baik dan berumur panjang (Berns et al., 2007; McCLure et al., 2004). Selain itu, konsep gunakan sekarang-bayar belakangan akan memupus efek antisipasi. Padahal, antisipasi adalah salah satu “sumber” kebahagiaan–bayangkan bila Anda menonton sebuah film tapi sudah tahu hasil akhirnya.

Prinsip 5: Hindari membandingkan pilihan yang ada

Belakangan ini banyak bermunculan situs-situs web yang menawarkan kita kesempatan untuk membandingkan harga suatu barang secara praktis dan mudah. Di satu sisi, fasilitas semacam itu membantu kita menentukan pilihan terbaik. Namun, secara tidak sadar fasilitas itu justru menggeser fokus kita dari mencari produk yang penting dan membahagiakan kita, menjadi pada atribut yang membedakan pilihan yang ada (Dunn et al., 2003).

Misalkan Anda sedang melihat-lihat rumah untuk dibeli. Pada awalnya Anda hendak membandingkan fitur penting, seperti: jumlah kamar, luas ruangan, atau kelengkapan fasilitas. Tapi faktor utama tersebut kemudian akan berganti fokus pada misalnya rumah A punya kanopi yang bagus atau di rumah B ada pohon mangga yang rindang. Anda tak lagi memilih rumah berdasar perbandingan faktor yang relevan. Selain itu, opsi yang tidak Anda pilih akan pelan-pelan menghilang dan tak lagi menjadi standar untuk perbandingan (Hsee & Zhang, 2004). Akibatnya, membandingkan pilihan yang ada hanya akan membuat lebih subyektif, bukannya membantu Anda membuat pilihan yang rasional.

Selamat berbelanja!