Membenarkan Kenormalan

Di era media sosial seperti sekarang ini, setidaknya terdapat dua jenis informasi. Pertama, informasi yang ditulis seseorang berdasarkan pengalaman, opini, atau keahlian mereka. Informasi semacam ini dipasang di situs web, blog, dan media sosial, disebarkan melalui jejaring, serta dibaca atau dinikmati oleh banyak orang. Dalam hal ini, hubungan antara supply dan demand terlihat jelas. Jenis informasi ini disebut sebagai informasi publik.

Tetapi, terdapat juga jenis informasi yang memiliki nilai guna lebih besar, namun hanya sedikit menjangkau masyarakat. Hubungan supply dan demand atas informasi ini cenderung kabur. Informasi semacam ini banyak diproduksi, tetapi hanya beredar di kalangan intelektual terbatas. Sebaliknya, banyak yang membutuhkan informasi begini, namun tak tahu harus mencari kemana. Mari kita sebut informasi ini sebagai informasi saintifik.

Misalnya, ternyata pendidikan di Indonesia tidak hanya penting untuk mendorong naiknya pendapatan tetapi juga meningkatkan kebahagiaan seseorang. Atau, ternyata kondisi emosional seorang anak semasa kecil dan remaja jauh lebih dekat kepada ibunya, ketimbang kepada ayahnya. Atau, ternyata partai berbasis agama di Indonesia mempunyai keunggulan dari sisi fanatisme, tetapi dibatasi oleh platform ekonomi dan pengetahuan pendukungnya.

Kedua jenis informasi tersebut di atas sama pentingnya. Informasi publik penting karena mencerminkan dinamika yang terjadi di masyarakat secara aktual. Tak jarang, informasi publik mampu menangkap kearifan-kearifan lokal yang menarik. Di sisi lain, informasi saintifik juga tak kalah penting. Ia diolah menggunakan kaidah keilmuan yang koheren sehingga kualitas yang dihasilkan umumnya baik dan bermanfaat.

Celakanya, saat ini kedua jenis informasi tersebut sama-sama belum berimbang. Informasi publik yang beredar lebih banyak berupa noise yang tidak jelas kebermanfaatannya. Hal-hal yang tak penting malah membesar magnitudonya. Hal-hal yang belum tentu benar justru menyebar dan dipercaya oleh orang awam.

Sebaliknya, informasi saintifik cenderung kompleks dan sulit dimengerti awam. Tak jarang, produksi artikel-artikel ilmiah lebih merupakan kepanjangan tangan dari penelitian yang sudah ada (fill the gap) tanpa melihat perkembangan realita yang terjadi saat ini di lapangan. Maka tak heran bila informasi saintifik makin dijauhi publik.

Akademisi seharusnya mulai menulis dan berbicara untuk awam. Proses ini tak hanya membantu mereka menyampaikan gagasan dengan lebih jelas, tetapi juga akan membantu mereka menjadi peneliti yang lebih baik lagi. Tanggapan publik dapat menjadi semacam mekanisme “peer review” yang membuat gagasan menjadi lebih matang. Pelibatan publik dalam proses saintifik semacam ini seharusnya dapat lebih diberdayakan lagi.

Memang tak banyak insentif yang tersedia agar para akademisi mau menulis atau memproduksi informasi publik. Mereka telanjur terbebani oleh komitmen pengajaran dan penelitian yang padat. Apabila akademisi ingin menjangkau orang banyak agar bisa ikut menikmati manfaat dari penelitian yang mereka lakukan, maka mereka perlu melangkah keluar dari menara gading itu.

Sesuatu yang tidak normal, bila dipertunjukkan terus-menerus, kendati itu salah, lama kelamaan akan menjadi normal. Sebagai pihak yang lebih waras, sudah seharusnya akademisi membenarkan kenormalan itu.