Mengkaji Kembali Peran Kartini

“Seseorang itu tidak dilahirkan sebagai perempuan, namun menjadi perempuan.”
—-Simone de Beauvoir

Jujur saja, tanpa bermaksud mendiskreditkan peran Kartini, saya sering mempertanyakan kiprah Kartini baik di masanya maupun dalam konteksnya di jaman modern ini. Kartini sebenarnya cukup beruntung terlahir sebagai kaum borjuis Jawa, mengenyam pendidikan barat, dan punya privilige yang tak dimiliki kaum perempuan di masanya yang hanya dianggap sebagai “konco wingking“. Saya yakin bahwa yang punya ide untuk memajukan perempuan di masa itu tak cuma Kartini.

Memang benar bahwa Kartini sering mengeluhkan apa yang ia pikirkan lewat korespondensinya dengan Stella Zeehandelaar—-terutama tentang praktik pingit pada gadis Pribumi. Tapi yang kemudian mengumpulkan dan menerbitkannya menjadi buku adalah orang Belanda. Kartini memang mendirikan sekolah wanita, tapi karena pengaruh suaminya, tidak ada masalah dalam pendirian sekolah tersebut. Faktanya, ia tetap menjadi korban sistem karena dinikahi bupati berumur di usianya yang masih belasan.

Selain Kartini, kita tahu ada Cut Nyak Dien dan Christina Martha Tiahahu yang jadi panglima perang tersohor. Ada juga Dewi Sartika atau Maria Walanda Maramis yang membaktikan dirinya sebagai pendidik. Kiprah mereka jelas lebih konkrit daripada sekadar (maaf) menulis surat-surat. Ironisnya, kita tahu persis tanggal lahir Kartini, tapi jarang yang tahu kapan hari lahir Jendral Soedirman atau Mohammad Hatta. Sungguh sebuah kultus individu yang terkesan agak berlebihan.

Ada yang berpendapat bahwa Kartini diangkat sebagai icon pahlawan wanita oleh Presiden Soekarno karena dua alasan. Pertama, ada kepentingan untuk mengunggulkan rezim ke-Jawa-an mengingat representasi Jawa di masa itu sangat kuat. Kedua, presiden pertama kita memang pengagum wanita—-dan Kartini bisa dibilang cukup ayu untuk ukuran perempuan Jawa.

Tapi yang lebih parah adalah bagaimana kita memaknai 21 April. Hari Kartini jaman sekarang dimaknai sebagai lomba berpakaian adat (kebaya) yang sebenarnya nggak nyambung dengan spirit emansipasi. Media juga mengekspose “keperkasaan” perempuan yang bekerja misalnya sebagai pengemudi truk, montir bengkel, tukang bangunan, atau profesi lain yang lazimnya dikerjakan kaum adam.

Dengan meminta kesetaraan jender, perempuan malah terkesan menjustifikasi stigma bahwa kaumnya tidak setara dengan laki-laki. Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan berbeda dan tidak pernah sama. Tapi justru dalam perbedaan itu, keduanya saling melengkapi. Not to compete, but to complete each other.

Teruntuk mereka yang merasa 21 April adalah hari spesialnya, selamat Hari Kartini. Yakinlah bahwa setiap perempuan harus mau dan mampu menjadi pahlawan bagi dirinya sendiri. There’s a hero lies in you.

*) Tulisan ini diambil dari catatan lawas di Facebook