Mengkaji Kembali Peran Kartini

“Seseorang itu tidak dilahirkan sebagai perempuan, namun menjadi perempuan.”
—-Simone de Beauvoir

Jujur saja, tanpa bermaksud mendiskreditkan peran Kartini, saya sering mempertanyakan kiprah Kartini baik di masanya maupun dalam konteksnya di jaman modern ini. Kartini sebenarnya cukup beruntung terlahir sebagai kaum borjuis Jawa, mengenyam pendidikan barat, dan punya privilige yang tak dimiliki kaum perempuan di masanya yang hanya dianggap sebagai “konco wingking“. Saya yakin bahwa yang punya ide untuk memajukan perempuan di masa itu tak cuma Kartini.

Memang benar bahwa Kartini sering mengeluhkan apa yang ia pikirkan lewat korespondensinya dengan Stella Zeehandelaar—-terutama tentang praktik pingit pada gadis Pribumi. Tapi yang kemudian mengumpulkan dan menerbitkannya menjadi buku adalah orang Belanda. Kartini memang mendirikan sekolah wanita, tapi karena pengaruh suaminya, tidak ada masalah dalam pendirian sekolah tersebut. Faktanya, ia tetap menjadi korban sistem karena dinikahi bupati berumur di usianya yang masih belasan. Continue reading

Ketersinggungan yang Termanufaktur

Ketersinggungan yang Termanufaktur

Setiap kali kita melalui tahun yang baru dan melongok kembali tahun-tahun sebelumnya, mudah bagi kita untuk menyimpulkan bahwa kehidupan cenderung selalu berulang dengan pola yang bisa terlihat kasat mata. Perekonomian naik, perekonomian turun. Ada yang berkoalisi, ada yang pecah kongsi. Tindak kriminal dan bencana alam terjadi—-hanya berlainan tempat dan peristiwanya. Ada yang naik pamornya, ada yang anjlok popularitasnya. Ada yang melahirkan, ada pula yang meninggal. Hal ini terjadi hampir setiap hari dan sejarah akan selalu terulang kembali.

Bedanya, tokoh, isu, maupun peristiwa yang terjadi tersebut dapat memicu kontroversi yang dengan mudah diamplifikasi oleh keberadaan media sosial. Selain persebarannya yang sangat masif, media sosial juga relatif tidak membutuhkan biaya. Tidak perlu banyak usaha untuk mengklik sebuah tombol, membagi (share) sebuah tautan, atau mengunggah ulang kicauan (re-tweet). Tanpa sadar, kita bisa menjadi bagian dari sebuah gerakan besar tanpa benar-benar melakukan tindakan apapun. Fenomena tindakan yang nyaris bebas hambatan (lower barrier to action) ini mustahil dijumpai di dunia nyata (offline). Continue reading

Mengapa Pekerjaan Terasa Membosankan?

Kalau Anda masih ingat, masa kecil kita adalah masa-masa yang sangat indah. Hidup diisi dengan bermain dan bersenang-senang. Kita bisa melakukan apapun yang kita mau. Kita juga bebas menjadi apa saja. Tidak ada seorang pun yang akan menganggap kita aneh atau gila.

Seorang anak kecil bebas saja menjadi pilot dan menerbangkan pesawat, sambil bermain musik, memeriksa pasien, dan berlompat akrobat sekaligus. Anak kecil punya banyak pilihan peran yang bisa dijalankan sekaligus (duplicity atau multiplicity). Tapi ketika kita beranjak dewasa, kita harus mulai mengurangi peran-peran tersebut.

Di dunia modern, lapangan pekerjaan memang mendorong kita semua untuk menjadi seorang spesialis. Anda tidak bisa menjadi pilot di pagi hari, lalu menjadi akuntan di siang hari, dan pada malam harinya menjadi musisi di kafe. Anda hanya bisa menjadi dan menjalani satu profesi pekerjaan saja (single choice, done repeatedly). Continue reading

Salah Kaprah Memaknai Teknologi Informasi

Teknologi informasi dan komunikasi telah memengaruhi kehidupan kita melebihi era-era sebelumnya. Saat ini, teknologi sudah menuntun arah kemana kita berjalan dan bepergian. Teknologi memiliki akses terhadap aktivitas kita, rekening kita, bahkan pilihan klub sepakbola kita. Tak hanya membantu kita bekerja, teknologi telah memengaruhi cara kita bersosialisasi dengan lingkungan kita hingga cara kita menghabiskan waktu liburan.

Sebagai gambaran, beberapa dekade lalu, seorang pemilik mobil pasti memahami cara menangani masalah yang timbul pada mobilnya. Ia tahu bagaimana cara mengganti ban, mengecek oli mesin dan tangki radiator, mengatasi aki mobil yang tekor, bahkan melakukan modifikasi (tune up) mesin ringan. Tapi tak sampai satu dekade nanti, Anda tak perlu melakukan itu semua lagi. Anda juga tidak perlu mengetahui dan mengingat rute yang harus Anda lewati. Bahkan Anda tak perlu memegang setir kemudi. Teknologi akan mengurus semuanya untuk Anda.

Selain perkembangan teknologi yang begitu masif, kita juga ditopang oleh bertumbuhnya kelas muda menengah dan naiknya rata-rata tingkat pendapatan. Laporan berjudul “Disrupting the disruptors” yang baru dikeluarkan Ernst & Young menempatkan Indonesia pada kuartil ketiga, di atas Brazil, India, dan Russia. Sementara menurut Digital Evolution Index yang dirilis Tufts University, Indonesia berada pada kategori “watch out” yang dinilai punya kualitas penting dalam mendorong inovasi dan menarik investasi. Indonesia juga dianggap memiliki pertumbuhan ekonomi yang cepat kendati investasi di bidang teknologi masih sedikit. Continue reading

Mengembalikan Identitas Bangsa

Sejak pasar bebas ASEAN digulirkan, timbul kekhawatiran akan masuknya tenaga kerja asing ke Indonesia yang membawa nilai-nilai yang belum tentu sesuai dengan apa yang kita punya. Dari dalam negeri, kekhawatiran muncul akibat degradasi karakter dan sikap mental masyarakat kita yang dinilai tak lagi mencerminkan nilai-nilai kebangsaan. Belakangan, teknologi dituding memengaruhi interaksi dan dinamika kebangsaan kita. Ketiga hal tersebut sering diangkat sebagai faktor penting yang mengancam identitas kita sebagai bangsa Indonesia.

Bicara identitas, biasanya kita berbicara tentang atribut fisik seperti postur tubuh, tinggi badan, warna kulit, hingga ciri atau bekas luka yang spesifik yang dimiliki oleh seseorang (physical theory). Anda diidentifikasi sebagai Anda karena memiliki kombinasi dari karakter-karakter seperti tersebut di atas yang unik. Ketika terjadi perubahan signifikan pada satu atau beberapa karakter tersebut di atas, maka Anda tidak bisa lagi diidentifikasikan sebagai Anda.

Sebagian peneliti mengkritik teori fisik dan mengusulkan alternatif teori yang lebih bersifat nonfisik (memory theory). Identitas nonfisik dapat berupa ingatan, pikiran, pengalaman, hingga perasaan yang melekat dalam diri seseorang. Akumulasi dari komponen tersebutlah yang membentuk identitas seseorang. Seandainya Anda dapat mengkopi segala ingatan, pengalaman, perasaan yang Anda miliki ke tubuh orang lain, maka tubuh yang baru tersebut diidentifikasikan sebagai Anda. Continue reading