Risiko, Ketidakpastian, dan Perilaku

Jauh ketika Perang Kemerdekaan di negeri ini masih berkecamuk, Charles Mackay menulis buku berjudul Extraordinary Popular Delusions and The Madness of Crowds. Buku itu ditulis tahun 1841 dan mengulas tentang kegilaan manusia kala itu akan hal-hal gaib, tentang sihir dan ahli nujum, serta tentang gelembung (bubble) ekonomi. Buku Charles Mackay masih dicetak dan menjadi referensi hingga kini karena mengulas kegilaan manusia terhadap hal-hal yang bisa memicu pertumbuhan ekonomi yang semu, seperti misalnya South Sea Bubble (1720), Mississipi Bubble (1719), dan Tulip Mania di Belanda (1637).

Charles Mackay menulis buku itu jauh sebelum konsep “ekonomi” dijelaskan secara matang seperti ilmu ekonomi yang kita kenal sekarang ini. Akan tetapi, ulasannya tentang risiko, ketidakpastian, dan perilaku ekonomi masih relevan. Sayangnya, meski ilmu ekonomi modern telah berkembang pesat, mengapa kejadian semacam itu terus berulang? Di Indonesia saja, berulang kali terjadi pecahnya gelembung ekonomi semu seperti demam anthurium, ikan lohan, sampai harga properti yang bisa naik hingga luar biasa mahalnya. Termasuk juga beragam skema money game, ponzi scheme, dan arisan berantai yang seakan-akan mati satu tumbuh seribu.

Mackay hidup pada jaman di mana tidak ada pemisahan yang tegas antara studi ekonomi atas pengambilan keputusan yang optimal di tengah keterbatasan dan studi tentang kondisi serta pengaruh psikologis yang memengaruhi perilaku seseorang tersebut. Pada jaman itu, ekonom “sepuh” seperti Adam Smith pun tertarik dengan faktor-faktor influensial tersebut seperti adanya mekanisme insentif dan eksistensi pasar. Dalam setting intelektual ini, faktor-faktor psikologis yang memengaruhi perilaku manusia memegang peranan penting dalam analisis Charles Mackay.

Salah satu kontribusi penting akan perilaku manusia dalam konteks ilmu ekonomi diperkenalkan oleh Frank Knight di tahun 1921. Ia mengemukakan diferensiasi antara risiko dan ketidakpastian. Risiko adalah kondisi dimana imbalan dan probabilitas atas kejadian di masa depan dapat diketahui. Sebaliknya, ketidakpastian adalah kondisi dimana imbalan dan probabilitas akan kejadian di masa depan tidak dapat diketahui. Tentu saja, memodelkan perilaku seseorang sangatlah sulit ketika pelaku ekonomi memiliki informasi penuh tentang preferensi dan kemampuan produksi yang dimiliki oleh pelaku yang lain. Kondisi ini disebut sebagai Knightian atau radical uncertainty.

Tak lama berselang, di tahun 1936, John Maynard Keynes, yang juga bisa dibilang sebagai seorang behavioural economist, memberikan landasan akan asumsi-asumsi atas perilaku manusia. Keynes memandang bahwa kecenderungan marjinal seseorang untuk mengkonsumsi turun seiring dengan meningkatnya pendapatan. Hal ini menjadi hukum dasar psikologis yang independen terhadap keterbatasan dan pertimbangan lainnya. Keynes juga menggarisbawahi arti penting faktor-faktor subyektif seperti kebanggaan (pride) dan sifat rakus (avarice) dalam keputusan untuk menabung (saving) atau berbelanja (spending). Tak lupa, Keynes juga mengingatkan peranan ketidakpastian dalam pengambilan keputusan. Katanya, jika kita berbicara blak-blakan, kita harus mengakui bahwa dasar pengetahuan kita untuk mengestimasi yield dari jalur rel kereta, sebuah tambang tembaga, sebuah pabrik tekstil, atau sebuah bangunan di kota London sebenarnya bisa jadi sangat kecil dan terkadang tidak ada apa-apanya.

Sayangnya, ketika ilmu ekonomi berkembang lebih formal, banyak asumsi tentang perilaku yang sesungguhnya penting dalam mengambil kesimpulan dikeluarkan. Alasannya, agar model tersebut bisa diterapkan secara lebih luas pada konteks masalah, waktu, serta tempat yang berbeda. Titik puncak pergerakan paham ini ditandai oleh John von Neumann dan Oskar Morgenstern yang menguraikan tentang aksiomatisasi teori utilitas (1947). Untuk kali pertamanya mereka mendefinisikan konsep “rationality“. Sejak saat itu, selama kurun waktu 30 tahun berikutnya, para ekonom hanya berkutat pada bagaimana pelaku ekonomi yang rasional berusaha memaksimumkan utilitasnya.

Periode ini adalah titik dimana banyak kritik dilontarkan terhadap ekonom. Tidak hanya karena mereka menempatkan asumsi yang kurang realisits terkait ketiadaan unsur risiko dan ketidakpastian, tetapi juga tentang preferensi individual dan kelengkapan pasar. Secara umum, para ekonom di era pasca perang dunia terlihat tidak terlalu tertarik untuk menggambarkan fenomena yang terjadi di dunia riil. Mereka menganggap ekonomi berfungsi seperti mesin yang bekerja dengan sempurna (frictionless machine). Padahal, sekalipun sebuah ekonomi bergerak dengan rasional, selalu ada unsur perilaku, risiko, dan ketidakpastian yang terlibat di dalamnya.

Fungsi utilitas, yang merupakan bentuk paling favorit dari seluruh cabang ilmu ekonomi, sebenarnya sudah mendefinisikan konsep penghindaran risiko (risk aversion). Teorema Von Neumann dan Morgenstern juga sebenarnya sudah berusaha memasukkan elemen risiko yang pernah dijabarkan oleh Daniel Bernoulli (1738). Maurice Allais (1953) dan Daniel Ellsberg (1961) masing-masing juga mencatat adanya paradoks perilaku yang mengkritik landasan teori utilitas. Namun tetap saja, dalam banyak hal para ekonom masa itu masih belum mampu menjelaskan wawasan yang mendalam tentang risiko dan ketidakpastian seperti diuraikan oleh Charles Mackay.

Barulah di tahun 1970an George Arkelof mengulas tentang informasi asimetrik yang dapat mendorong timbulnya masalah adverse selection dengan mengambil contoh pasar mobil seken. Selanjutnya, Daniel Kahneman dan Amos Tversky mulai memperkenalkan prospect theory dan konsep judgment under uncertainty (1976). Alih-alih menanyakan bagaimana adanya risiko dan ketidakpastian memengaruhi perilaku para pelaku ekonomi yang berusaha memaksimumkan utilitasnya, seperti yang dilakukan Arkelof; Kahneman dan Tversky menanyakan bagaimana, dalam konteks dunia yang penuh dengan ketidakpastian dan risiko, seorang pelaku ekonomi bertindak. Kedua pendekatan itu kemudian menginspirasi studi-studi lebih mendalam dalam domain behavioral economics.

Sayangnya, semua upaya yang sudah dilakukan masih memiliki keterbatasan. Kebanyakan wawasan tentang behavioral economics tidak diajarkan pada mahasiswa di level sarjana yang lebih banyak berfokus pada teori utilitas. Kedua, bias permodelan, heuristik, dan informasi asimetrik masih sulit dilakukan secara matematis, menjadikan wawasan dan hikmah dari penelitian tersebut sulit dikomunikasikan kepada para pengambil kebijakan atau khalayak umum. Dan ketiga, kendati ilmu ekonomi kini sudah mampu memodelkan risiko dengan lebih baik, gagasan tentang knightian uncertainty sebenarnya belum banyak berubah sejak masa Frank Knight.

Dalam ilmu ekonomi formal, salah satu elemen yang mungkin menggambarkan bias dan ketidakpastian tercermin dalam konsep preferensi waktu–biasanya dimasukkan dalam model ekonomi dalam bentuk faktor diskonto positif. Sejumlah argumen menjelaskan tentang preferensi waktu secara lebih bervariasi. Sebagai contoh, John Rae misalnya menganggap bahwa ketika seseorang punya pekerjaan yang mapan dan hidup di negara-negara yang sehat, mereka akan cenderung untuk lebih berhemat dan menghubungkan preferensi waktu dengan probabilitas kematian. Irving Fisher menambahkan unsur kendali diri, risiko, dan kebiasaan sebagai faktor determinan.

Menilik kembali sejarah ekonomi sejak 200 tahun lalu, setidaknya ada tiga pelajaran penting yang bisa kita ambil. Pertama, risiko dan ketidakpastian memegang peran yang signifikan dalam perilaku para pelaku ekonomi—kapan pun dan dimana pun. Para ekonom selayaknya melakukan usaha yang lebih serius untuk memasukkan gagasan tentang risiko, ketidakpastian, dan perilaku ke dalam mata kuliah pengantar atau ke dalam bahasa yang mudah dimengerti oleh khalayak umum.

Kedua, sebagai pelaku pasar, kita harus lebih aware terhadap asumsi yang kita gunakan terkait risiko, ketidakpastian, dan perilaku; serta bagaimana asumsi tersebut akan memengaruhi kesimpulan yang akan kita ambil. Simpangan kecil saja dari dapat mengubah atau menggeser bentuk fungsi utilitas dan menghasilkan efek yang berbeda—dalam banyak kasus bisa menghasilkan kesimpulan yang bahkan dapat saling bertolak belakang.

Terakhir, akuilah bahwa terdapat banyak hal yang kita masih tidak ketahui tentang risiko, ketidakpastian, serta perilaku. Ketika membuat prediksi atau rekomendasi kebijakan, mungkin ada baiknya mengimbangi indikator kuantitatif dengan analisis kualitatif yang lebih mendalam seperti yang dilakukan oleh para ekonom terdahulu—setidaknya hingga ilmu ekonomi benar-benar bisa “catch up” dengan realita yang ada.