Sopir Taksi vs. PhD

London Cabbie

Percayakah Anda kalau saya bilang bahwa untuk menjadi seorang sopir taksi di London jauh lebih sulit daripada mengambil PhD di LSE?

Data menunjukan bahwa rata-rata dibutuhkan waktu sekitar 4,5 tahun untuk menjadi seorang London cabbie. Kalau Anda lulus dari pendidikan (disebut The Knowledge), lisensi yang diperoleh hanya berlaku selama 10 tahun. Tes yang harus dilalui (disebut The Appearance) cukup sulit dan berjenjang, bisa sampai 27 kali. Wajar kalau hanya ada sekitar 15 orang lulusan saja per tahunnya dan hanya ada 21 ribu cabbie saat ini.

Para “mahasiswa” didikan The Knowledge (disebut Knowledge Boy atau Knowledge Girl) memang terkenal punya determinasi tinggi dan dedikasi penuh supaya mendapatkan green badge dan bisa mengemudikan kendaraan paling ikonik di London: The London Black Taxi. Di dalam pandangan masyarakat, menjadi seorang cabbie adalah pekerjaan yang keren dan terhormat. Bahkan banyak yang sepakat bahwa ini adalah the best part-time job in the world.

Syarat yang diperlukan sebenarnya tidaklah terlalu “sulit.” Anda hanya diminta menghafal detil jalan dan bangunan dalam radius enam mil (sekitar 9,65 km) dari Charing Cross—stasiun paling strategis di London yang terletak di seberang Trafalgar Square. Itu berarti Anda harus menghafal setidaknya 25.000 jalan, puluhan ribu bangunan, serta ribuan landmark dan point of interest di seantero London.

Selama masa pendidikan, Anda dituntut untuk berlatih setidaknya 80 rute setiap harinya lalu membuat rekapitulasi. Anda juga diminta untuk turun ke jalan, mengendarai motor dan membawa peta, melewati setiap jalan dan belokan dalam radius 1/4 mil setiap hari, sampai Anda meng-cover seluruh London. Proses ini memang lambat, seperti memasang puzzle dari bagiannya yang paling kecil. Tapi metode ini efektif untuk membuat Anda paham tentang London.

Your brain have to be conditioned to London and her streets.

Konon, sejarah ini bermula dari The Great Exhibition yang digelar di Hyde Park pada tahun 1851. Pada saat itu, Inggris menjadi pusat kekuasaan dan kemajuan dunia (ingat slogan “The sun never set on the British Empire” atau “The empire on which the sun never sets“?). The Great Exhibition adalah semacam pameran dagang internasional yang memajang hasil manufaktur, infrastruktur, dan produk industri Inggris yang menarik banyak pengunjung dari seluruh dunia.

Masalahnya, gelaran tersebut tidak ditunjang oleh infrastruktur transportasi yang memadai. Supir taksi pada saat itu (ojek kuda dan kereta berkuda) tidak mempunyai pemahaman yang baik tentang keadaan kota London. Seringkali mereka bahkan tidak tahu dimana The Great Exhibition itu berada. Oleh karena itulah maka Pangeran Albert (suami Ratu Victoria) pada saat itu mengagas ujian untuk para supir taksi. Dan tradisi itu berlanjut hingga sekarang.

Maka tak heran kalau supir taksi di London punya pengetahuan yang sangat luas. Kalau Anda sempat menjajal taksi hitam di London, coba tanyakan pertanyaan seperti “dimana kantor polisi paling kecil di London?” atau “berapa jumlah ikatan tongkat kayu yang dipegang patung George Washington di depan National Gallery?” London cabbies are London’s singers of songlines and fonts of folk wisdom, carrying not just the secrets of London navigation but the deep history of the city and its streets.

Cerita ini barangkali bisa menjadi antitesis bahwa teknologi ternyata belum bisa menggantikan manusia sepenuhnya. GPS, Google Maps, Uber, dan segudang teknologi lainnya nampaknya belum bisa menggantikan peran seorang London Cabbie. You can’t beat them for their knowledge and their professionalism.

Technology does not replace the knowledge. Yet.