Warren Buffett ala Indonesia?

Banyak orang berasumsi bahwa mayoritas pemain di bursa saham Indonesia adalah trader dan spekulan (short-term). Pertanyaannya, adakah pemain di bursa saham kita yang benar-benar investor fundamental (long-term)?

Sebenarnya beberapa pemain kelas kakap di negeri ini. Yang cukup besar dan menggurita mungkin bisa disebut Hary Tanoesoedibjo (MNC group) dan James Riady (Lippo group). Ada juga Danny Tanoto yang membandari Central Korporindo Internasional (CNKO) atau Benny Tjokro yang menjaga Mitra Adiperkasa (MAPI). Keduanya masih terafiliasi. Benny sendiri dulunya adalah putera mahkota dari Pemilik Batik Keris di Solo. Benny Tjokro juga ada kepemilikan di Rukun Rajarja (RAJA).

Berikutnya, ada Eddy Kusnadi Sariaatmadja yang merupakan eksekutif di PP London Sumatera Indonesia (LSIP), yang juga pemilik Elang Mahkota Teknologi (EMTK) dan Surya Citra Media (SCMA). Nama lain yang juga sering muncul adalah Edy Suwarno, yang berada di belakang Delta Dunia Makmur (DOID) dan Pan Brothers (PBRX). Ada juga nama Benny Wirawansa yang membidani pergantian pemilik BUMA dari PT. Texta Indonesia ke Northstar. Benny Wirawansa juga ada di belakang DOID dan Bumi Teknokultura Unggul (BTEK). Nama lain yang juga cukup dikenal adalah Prem Harjani dari Renaissance Capital. Sayangnya, nama-nama tersebut di atas belum bisa disebut sebagai investor jangka panjang.

Tapi ada dua nama yang cukup menarik perhatian saya: Surono Subekti dan Lo Kheng Hong.

Surono Subekti adalah orang di balik Multi Indocitra (MICE). Ia melakukan pembelian di harga rata-rata Rp 110-180 per lembar lewat broker Bhakti Sekuritas (EP). Surono Subekti adalah tipikal investor fundamental sejati. Dia berani masuk sekalipun tidak ada berita atau corporate action. Selain MICE, Surono Subekti juga memiliki Asuransi Multi Artha Guna (AMAG) dalam jumlah besar. Beliau ini lulusan Akuntansi UNAIR, pernah bekerja di Bentoel dan Unilever, namun sekarang menjadi dosen dan juga menulis buku.

Tapi yang mungkin paling bisa disebut sebagai Warren Buffett-nya Indonesia adalah Lo Kheng Hong. Kakek ini mudah dikenali karena sering hadir pada RUPS/annual meeting dengan mengenakan tracktop atau varsity jacket warna merah marun khas Berkshire Hathaway. Orang yang mengenakan tracktop/jacket tersebut hanya orang-orang yang sudah lama memegang saham Berkshire Hathaway (BRK) dan langganan hadir di annual meeting-nya di Omaha.

Kakek Lo Kheng Hong ini kabarnya punya sekitar 200 ribu lot saham AMAG di harga beli sekitar Rp 80 per saham. Selain itu, nama kakek ini juga sering muncul sebagai pemegang saham yang cukup besar di saham-saham lain seperti Gajah Tunggal (GJTL), Multibreeder Adirama Indonesia (MBAI), dan beberapa lagi lainnya. Wisdom dan insight kakek ini sungguh sangat berharga. Anda bisa melihat dari pertanyaan-pertanyaan yang beliau ajukan ketika hadir di RUPS.

Biarpun tidak mengenal dua nama terakhir tersebut secara pribadi, menurut saya, ada beberapa hal menarik yang bisa kita pelajari bersama. Pertama, menjadi investor jangka panjang perlu memahami potensi ekonomi, industri, dan kebijakan politik terkait dengan industri tersebut. Kedua, kita perlu menemukan perusahaan yang terbaik di bidang industrinya dengan valuasi yang relatif murah dibandingkan perusahaan sejenis namun dengan potensi pertumbuhan yang tinggi.

Berikutnya, kita perlu menentukan siklus pergerakan harga saham untuk menilai kapan waktu yang tepat untuk masuk dan keluar. Tak kalah penting, investor fundamental juga perlu kesabaran tingkat tinggi hingga saham yang dimilikinya akan ter-unlock dan melejit ke harga yang “seharusnya.” Dalam konteks ini, kita perlu tidak bicara bulanan atau tahunan, melainkan bisa belasan atau bahkan puluhan tahun.

Akhir kata, berinvestasilah sejak dini supaya Anda bisa memanfaatkan compounding power secara maksimal. Kedua, kalau Anda tidak mahir menentukan siklus/gelombang, maka gunakanlah metode sederhana dollar cost averaging dalam berinvestasi.