Mengembalikan Keberadaban Dunia Maya

Konon, ibu kota lebih kejam daripada ibu tiri. Namun kini, ada yang jauh lebih kejam daripada ibu kota dan ibu tiri: ibu jari warganet (netizen). Mulai dari pesan viral di media sosial, situs politik, akun selebritas, hingga portal sepakbola, begitu mudah ditemukan caci maki dan hujatan seisi kebun binatang. Apa yang membuat kita berubah? Di manakah rasa kemanusiaan kita sesungguhnya?

Internet dan media sosial memang dunia yang sangat demokratis dan bahkan cenderung anarkis. Siapapun dapat membuat akun, memajang foto, menulis artikel, dan menyebar pesan tanpa harus benar-benar membuktikan jati diri mereka yang sesungguhnya. Anda bisa membuat sebanyak mungkin akun anonim semau Anda—yang di satu sisi dapat mendorong kreativitas, tetapi juga membuka peluang bagi pembuat onar di sisi yang lain.

Dalam konteks masyarakat Indonesia dengan segala keterbatasan literasi digitalnya, ruang-ruang digital semacam ini menjadi lubang yang dapat dimainkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Hal ini bisa menjadi senjata ampuh bagi pihak-pihak oportunis untuk memainkan isu-isu yang dapat memecah belah masyarakat. Bukannya mempersatukan, teknologi digital justru menciptakan fragmentasi dan mendorong perpecahan. Continue reading

Memahami Perilaku Pemerintah

Dari banyak literatur, fungsi pemerintah bisa dikategorikan dalam dua bidang besar: akumulasi dan legitimasi. Akumulasi berarti pemerintah membuat dan menjaga terciptanya kondisi yang memungkinkan penciptaan laba (creation of profits) bagi negara. Legitimasi adalah bagaimana pemerintah menunjukkan komitmen bagi negara untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera (equitable society).

Kalau dijabarkan, dua fungsi besar ini tadi akan menjadi sangat beragam. Mulai dari membuat legal framework bagi terciptanya masyarakat yang beradab, memastikan perdamaian dan keteraturan (polisi, militer, pengadilan, dsb.), melindungi industri dalam negeri (bea cukai dan tarif), menjamin public goods (kesehatan, pendidikan, pensiun, dsb.), memberikan mekanisme transaksi keuangan dan perbankan, memastikan pertumbuhan dan stabilitas ekonomi, hingga mengatasi kemiskinan dan ketidaksetaraan.

Namun, diskusi baru akan jadi lebih menarik ketika kita bandingkan antara institutional design (in theory) versus behaviour (de facto) karena inilah sumber masalah utamanya. Continue reading

Memahami Algoritma Digital

Ada dua orang wisatawan sedang jalan-jalan ke Jogja. Turis pertama mengambil foto Gedung Agung menggunakan kamera digitalnya. Turis kedua membawa alat lukis dan menggambar Gedung Agung di atas kanvas. Kedua wisatawan tersebut sama-sama membuat representasi dari sebuah realita, yaitu Gedung Agung. Tapi apa perbedaan di antara keduanya?

Turis yang menggambar di atas kanvas membuat representasi fisik dengan cara menjatuhkan senyawa kimia berwarna dalam sebuah media yang reseptif. Cara konvensional ini membutuhkan penanganan ekstra dan relatif sulit untuk diduplikasi atau dipindahkan. Seiring berjalannya waktu, cuaca dan temperatur juga akan mengakibatkan degradasi warna dan memburuknya kualitas media.

Turis yang mengambil gambar menggunakan kamera membuat representasi digital dengan cara membagi sebuah area dalam jutaan grid (pixel) dan merekam sederet angka (hex code) untuk mewakili intensitas warna dari masing-masing grid. Kamera juga merekam informasi (metadata) yang memuat data tentang waktu dan tempat, judul dan deskripsi foto, pengaturan kamera (aperture, shutter speed, focal length, ISO speed, dan sebagainya), hingga lokasi di mana foto tersebut diambil (geotagging). Continue reading

Akutansi vs. Akuntansi

Saya sering tergelitik ketika melihat, membaca, atau mendengar kata-kata berikut: akutansi dan akuntansi. Mungkin terlihat remeh, tapi mengapa bisa ada beragam variasi? Beberapa orang ada yang memperhatikan atau mempertanyakan kata-kata tersebut. Daripada harus menjelaskan berulang-ulang, mungkin ada baiknya bila dibuat tulisan tidak penting tersendiri.

Sebetulnya kita mengadaptasi kata-kata tersebut dari kata berbahasa Inggris “accounting.” Kata “accounting” sendiri berasal dari kata dasar “account” atau “to account” yang berarti rekening (kb) atau menghitung (kk). Oleh karenanya, ketika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, kata “accounting” seharusnya menjadi “akuntansi” (dengan n)–bukan “akutansi” (tanpa n).

Apabila kita taat dengan kaidah tersebut di atas, maka istilah “akutansi” (tanpa n) tentu tidaklah tepat untuk digunakan. Demikian juga dengan turunannya. Agar tetap konsisten, tentu kita harus menggunakan kata “akuntan” (dengan n) dan “akun” (bukan “aku”, tanpa n). Penjelasan lebih detil mengenai makna dan filosofi kata-kata tersebut mungkin bisa dilanjutkan kalau sempat lain waktu. Continue reading

Ekonomika Teror Bunuh Diri

Kita semua tentu sangat berduka atas aksi teror bunuh diri yang terjadi di banyak tempat beberapa waktu terakhir, mulai dari Manchester sampai Kampung Melayu. Hal tersebut nampaknya bukan merupakan sekedar usaha untuk menarik perhatian dan bantuan (seek attention and cry for help). Sebaliknya, teror bunuh diri yang tersebut memang dilandasi keinginan untuk menghancurkan diri sendiri dan orang lain (destroy one self and others).

Selain bisa dijelaskan dari sisi politik maupun pertahanan dan keamanan, teror bunuh diri sebenarnya dapat dijelaskan menggunakan perspektif ekonomi. Mengapa? Menurut kacamata ekonom mainstream, setiap individu pada dasarnya adalah pengambil keputusan yang rasional dengan kepentingan untuk memaksimumkan utilitasnya (utility-maximising self-interested actor)—-termasuk para pelaku teror bunuh diri.

Pertanyaannya adalah siapakah sesungguhnya identitas “self” ini? Continue reading