Kutukan BBM Subsidi

Barangkali negeri kita Indonesia tercinta memang terlahir untuk menjadi negeri yang serba tertinggal. Ketika negara lain sudah nyaman dengan energi terbarukan, kita masih nguplek soal pencabutan subsidi BBM. Padahal selain krisis energi, ada masalah lain yang jauh lebih menakutkan: krisis pangan.

Ketika negara lain ramai-ramai melindungi tanah pertaniannya, kita malah pamer jualan mall dan apartemen. Ketika negara lain tulus “ngemong” para petaninya, kita malah mangabaikan mereka. Ketika negara lain sibuk memborong lahan pertanian di negara lain, kita masih sibuk membeli BBM impor.

Ini bukan masalah sepele. Harga pangan dunia terus menerus naik. Indeks harga pangan FAO di tahun 2000 hanya 91,1, sekarang berlipat jadi 209,8 (2013). Selain itu, ketersediaan lahan pertanian makin terbatas. Padahal, populasi manusia di dunia saat ini mencapai 7,125 miliar dan akan terus bertambah. Continue reading

Sopir Taksi vs. PhD

London Cabbie

Percayakah Anda kalau saya bilang bahwa untuk menjadi seorang sopir taksi di London jauh lebih sulit daripada mengambil PhD di LSE?

Data menunjukan bahwa rata-rata dibutuhkan waktu sekitar 4,5 tahun untuk menjadi seorang London cabbie. Kalau Anda lulus dari pendidikan (disebut The Knowledge), lisensi yang diperoleh hanya berlaku selama 10 tahun. Tes yang harus dilalui (disebut The Appearance) cukup sulit dan berjenjang, bisa sampai 27 kali. Wajar kalau hanya ada sekitar 15 orang lulusan saja per tahunnya dan hanya ada 21 ribu cabbie saat ini.

Para “mahasiswa” didikan The Knowledge (disebut Knowledge Boy atau Knowledge Girl) memang terkenal punya determinasi tinggi dan dedikasi penuh supaya mendapatkan green badge dan bisa mengemudikan kendaraan paling ikonik di London: The London Black Taxi. Di dalam pandangan masyarakat, menjadi seorang cabbie adalah pekerjaan yang keren dan terhormat. Bahkan banyak yang sepakat bahwa ini adalah the best part-time job in the world. Continue reading

Optimalisasi dan Kesenjangan Ekonomi

Ada seorang ekonom muda dari Perancis yang tak terlalu terdengar namanya sebelumnya. Ia menulis buku tentang kesenjangan ekonomi setebal 700 halaman–lengkap dengan sejarah, referensi literatur, dan data yang sangat padat. Menariknya, buku yang sangat serius tersebut malah menjadi bestseller di mana-mana, bersaing dengan Fifty Shades of Grey.

Ekonom tersebut bukanlah Joseph Stiglitz, Paul Krugman, ataupun Robert Solow. Ekonom tersebut “hanyalah” seorang Thomas Piketty. Buku yang ditulisnya berjudul Capital in the Twenty-First Century. Argumen utama dari buku itu juga sangat sederhana: modal yang diinvestasikan dalam pasar saham dan real estate akan bertumbuh lebih cepat daripada pendapatan.

Walau demikian, argumen yang terlihat sederhana tersebut implikasinya panjang. Kemakmuran akan bertumbuh lebih cepat daripada ekspansi yang terjadi dalam sistem perekonomian. Mereka yang “kapitalis” akan cepat melipatgandakan kekayaan mereka, sedangkan mereka yang berpenghasilan rendah dan “tidak kapitalis” menjadi kelompok yang paling dirugikan. Tak pelak, kesenjangan ekonomi (inequality) menjadi makin lebar. Continue reading

Membeli Kebahagiaan dengan Uang

“Money has never made man happy, nor will it, there is nothing in its nature to produce happiness. The more of it one has the more one wants.” –Ben Franklin

Penelitian memang membuktikan bahwa uang bisa membeli kebahagiaan, tapi pengaruhnya ternyata tidak sebesar itu. Banyak studi psikologi membuktikan bahwa peningkatan jumlah gaji, pada level tertentu, hanya memberikan sedikit (atau bahkan nol) kepuasan. Pada akhirnya, orang akan cenderung menghabiskan berapapun penghasilan yang mereka peroleh.

Sebagai contoh, misalkan gaji Anda naik Rp 5 juta. Anda mulai menambahkan audio set mutakhir di mobil Anda. Anda senang membeli baju-baju bermerk ekslusif. Anda mengambil cicilan rumah yang lebih besar. Begitu seterusnya. Pada akhirnya Anda akan bertanya-tanya, “Gaji saya naik Rp 5 juta per bulan, tapi kemana perginya uang itu?”

Apa kata para pakar tentang fenomena ini? Bagaimana cara kita mengatasi “jebakan” ini? Continue reading

How Come You Call Yourself a Moslem?

Barangkali kita perlu membedakan antara “Islam” dan “Islami”. Menjadi seorang “Islam” itu mudah: cukup lafalkan dua kalimat syahadat maka Anda sudah menjadi seorang Islam. Kalimat syahadat cukup pendek dan tak butuh waktu lebih dari 3 menit untuk mengucapkannya. Sebaliknya, menjadi seorang “Islami” itu sulit karena Anda harus menjalankan apa-apa yang termaktub dalam Al-Qur’an dan Hadist di dalam semua aspek keseharian Anda. Bisa jadi sampai seseorang meninggal pun, ia belum bisa menjadi “Islami” yang utuh karena jumlah ayat dan hadist yang harus diamalkan mencapai ribuan.

Empat tahun lalu, Scheherazade Rehman dan Hossein Askari dari George Washington University mempublikasikan penelitiannya yang berjudul “How Islamic are Islamic Countries?” Artikel yang dimuat pada Global Economy Journal (Volume 10, Issue 2, 2010) tersebut menjabarkan urutan indeks “Islami” dari 208 negara di dunia. Mereka menggunakan beragam indikator seperti sistem ekonomi, kesejahteraan masyarakat, pengelolaan sumberdaya alam, korupsi, sistem keuangan, hingga efektivitas pemerintahan di negara tersebut.

Hasilnya tidak mengejutkan (bagi saya). Peringkat 10 teratas negara dengan indeks “Islami” tertinggi dihuni oleh negara-negara yang sering dicap “kafir”, sebut saja: Selandia Baru, Luxembourg, Irlandia, Islandia, Finlandia, Denmark, Kanada, Inggris, Australia, dan Belanda. Negara “Islam” yang punya indeks “Islami” cukup tinggi hanya Malaysia (38), Kuwait (48), Bahrain (64), Brunei (65), dan Uni Emirat Arab (66). Indonesia harus puas di peringkat 140, berada dekat dengan Arab Saudi yang juga cukup hancur peringkatnya (131). Continue reading