Masalah Besar Bangsa Indonesia

Setidaknya ada dua masalah besar yang didera bangsa ini. Pertama, kegagalan sistem meritokrasi. Dalam sistem berbasis merit, mereka yang berada di atas sejatinya adalah orang-orang yang terdidik, berprestasi, memiliki kapabilitas yang mumpuni, dengan segudang pengalaman yang memadai. Sistem ini memacu orang untuk berlomba-lomba mengasah diri, menghasilkan sesuatu, dan mengukir prestasi. Makin tinggi prestasinya makin tinggi pula reward yang ia peroleh. Begitu pula sebaliknya, makin rendah pencapaiannya, maka makin sedikit pula pilihan yang ia punya.

Akibat dari kegagalan sistem meritokrasi, orang cenderung mencari jalan potong (shortcut) dengan mengabaikan proses yang seharusnya dijalani terlebih dahulu. Buat apa repot melewati 1, 2, 3, dan seterusnya secara berurutan kalau ternyata bisa melompat langsung ke 100? Contoh sederhana absennya meritokrasi sering kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari yang paling sederhana seperti melanggar lampu lalu lintas, mencontek saat ujian, sampai menyogok demi mendapatkan posisi jabatan tertentu. Semua dilakukan demi mendapatkan apa yang diinginkan tetapi tanpa melalui proses panjang yang semestinya dilalui.

Dampak lain dari gagalnya meritokrasi membuat mereka yang berada di pucuk pimpinan pemangku jabatan bukanlah orang-orang unggulan. Sementara di Indonesia, mereka yang berada di puncak piramida adalah orang-orang yang dekat dengan penguasa, memiliki hubungan kekerabatan tertentu, berani bayar mahal serta menawarkan kickback tinggi, atau sekedar dikenal karena sering membuat sensasi. Oleh karena itu bisa dipastikan produk kebijakan yang dihasilkan juga medioker. Dan bila suatu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggu saja kehancurannya.

Masalah besar kedua yang dihadapi bangsa ini adalah konsumerisme akut. Hidup dimaknai sebagai alat untuk mendapatkan sesuatu, bukan untuk menghasilkan atau membuat sesuatu. Penghargaan dalam masyarakat pun menjadi bergeser dari intangible menjadi tangible. Orang dianggap “terpandang” bukan karena pendidikannya, pengalamannya, prestasinya, atau kepiawaiannya. Orang dilihat dari apa yang dikenakan, gadget apa yang dipakai, kendaraan apa yang dikendarai, sebesar apa rumahnya, dan atribut fisik lainnya.

Efek dari konsumerisme akut adalah orang cenderung mengabaikan proses dan beralih kepada hasil. Karena penghargaan dalam masyarakat sudah bergeser, maka proses dianggap menjadi tidak penting. Belajar tekun selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun dianggap sia-sia bila pada akhirnya tidak lulus atau tidak diterima di sekolah yang dicita-citakan. Jerih payah membangun bisnis dalam waktu yang lama dianggap tidak berguna bila proyek yang ditenderkan jatuh kepada orang lain. Mencontek atau menyuap kemudian dianggap sebagai jalan keluar. Kombinasikan antara konsumerisme akut dengan kegagalan sistem meritokrasi, maka Anda akan mendapatkan sebuah lingkaran setan yang susah dipadamkan.

Agak berbeda dengan negara-negara berkembang lainnya, sejak era Orde Baru pejabat dicitrakan sebagai seseorang yang hidup berkelimpahan dan selalu mendapat pelayanan mewah. Mereka yang seharusnya melayani publik bergeser fokusnya jadi ingin dilayani. Benih-benih kemewahan ini makin bertumbuh dengan menjamurnya mall-mall di kota-kota besar. Gaya hidup yang tidak sederhana ini seolah sudah menjadi standar seperti dikisahkan di sinetron-sinetron yang tak henti lalu lalang di layar televisi. Selain membunuh rasa empati dalam diri, benih-benih kemewahan ini memupuk jiwa pamer dan gengsi tingkat dewa.

Akibatnya bisa ditebak. Sistem meritokrasi diterabas karena semua orang berlomba-lomba mencari jalan pintas. Orang-orang berbondong-bondong memupuk artifak kekayaan untuk menunjukkan tingginya status sosial mereka di masyarakat. Kekuasaan dipandang sebagai sebuah jalan mencari kekayaan, bukan merupakan bentuk pengabdian dan pengorbanan. Ketika bangsa-bangsa lain berusaha untuk mengurangi gap antara si miskin dan si kaya, kita justru tanpa sadar berusaha membuatnya kian lebar. Korupsi tak hanya dilakukan secara berjamaah tapi juga dianggap sebagai ibadah.

Jadi, terlalu naif mengharapkan perbaikan ketika sistem dan kepemimpinan sama-sama sudah tak lagi bisa diandalkan. Perbaikan yang hanya tambal sulam (incremental) tak akan berhasil. Perbaikan haruslah besar, masif, dan merubah tatanan yang sudah ada sebelumnya (disruptive). Kedua, perbaikan yang dilakukan harus berfokus pada upaya untuk (1) menegakkan kembali sistem meritokrasi, dan (2) menggerus jiwa konsumerisme yang sudah kepalang akut.