Mengkaji Kembali Peran Kartini
“Seseorang itu tidak dilahirkan sebagai perempuan, namun menjadi perempuan.”
—-Simone de Beauvoir
Jujur saja, tanpa bermaksud mendiskreditkan peran Kartini, saya sering mempertanyakan kiprah Kartini baik di masanya maupun dalam konteksnya di jaman modern ini. Kartini sebenarnya cukup beruntung terlahir sebagai kaum borjuis Jawa, mengenyam pendidikan barat, dan punya privilige yang tak dimiliki kaum perempuan di masanya yang hanya dianggap sebagai “konco wingking“. Saya yakin bahwa yang punya ide untuk memajukan perempuan di masa itu tak cuma Kartini.
Memang benar bahwa Kartini sering mengeluhkan apa yang ia pikirkan lewat korespondensinya dengan Stella Zeehandelaar—-terutama tentang praktik pingit pada gadis Pribumi. Tapi yang kemudian mengumpulkan dan menerbitkannya menjadi buku adalah orang Belanda. Kartini memang mendirikan sekolah wanita, tapi karena pengaruh suaminya, tidak ada masalah dalam pendirian sekolah tersebut. Faktanya, ia tetap menjadi korban sistem karena dinikahi bupati berumur di usianya yang masih belasan. Continue reading