Cengkeraman Spektakel dalam Transisi Kekuasaan

Indonesia kini tengah memasuki fase penting dalam sejarah politiknya. Dengan berakhirnya masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) 2014-2024 dan dilantiknya Prabowo Subianto sebagai presiden berikutnya 20 Oktober ini, banyak pihak berharap akan terjadi perubahan signifikan dalam kebijakan dan arah negara. Namun, di balik permukaan, ada kekhawatiran bahwa perubahan ini hanyalah sebuah spektakel—ilusi dari transformasi politik yang dalam kenyataannya tidak menyentuh akar persoalan, yaitu kekuatan oligarki yang terus mengendalikan jalannya negara.

Dalam karya filsuf Perancis Guy Debord, The Society of the Spectacle (1967), ia menguraikan bagaimana masyarakat modern, khususnya di bawah kapitalisme global, diatur bukan oleh kekuasaan politik yang terlihat, melainkan oleh gambar dan penampilan yang menutupi realitas. Di Indonesia, fenomena ini semakin jelas terlihat ketika perubahan politik yang terlihat di permukaan ternyata hanya menyembunyikan kontrol yang terus dipegang oleh para elit ekonomi dan oligarki.

***

Sebenarnya, sejak dekade lalu, Jeffrey Winters (2013) sudah menunjukkan bahwa oligarki di Indonesia sangat dominan dalam mempengaruhi keputusan politik dan ekonomi negara. Ia bahkan menyebut Indonesia sebagai “oligarki berdaulat”, yakni kekuasaan politik lebih tunduk pada kepentingan ekonomi segelintir orang ketimbang kepentingan rakyat banyak.

Dengan menggunakan contoh seperti Omnibus Law tentang Cipta Kerja, Asrinaldi dkk. (2022) menunjukkan bagaimana oligarki, yang banyak berasal dari partai politik kuat, mengendalikan proses legislatif untuk memastikan kebijakan yang dihasilkan mencerminkan kepentingan mereka. Sementara itu, Tambunan (2023) membedah bagaimana oligarki menguasai proses legislatif menggunakan strategi seperti kartel, misalnya lewat UU Pemilu No. 7/2017. Partai-partai kuat dan elit berkolaborasi untuk mempertahankan dominasi mereka, mencegah persaingan politik yang sejati, serta melemahkan akuntabilitas demokrasi.

Di masa pemerintahan Jokowi, harus diakui peran investor politik makin besar, bahkan hingga tingkat pemilihan kepala daerah. Studi Hidayaturrahman dkk. (2022) menunjukkan peran besar para investor politik dalam pemilihan kepala daerah, yang membuat para kandidat harus melayani kepentingan ekonomi para investor setelah terpilih. Hubungan simbiotik ini menciptakan bentuk “oligarki” dengan kekuasaan politik semakin terkonsentrasi di tangan segelintir saja, yang pada gilirannya merusak proses demokrasi dan meningkatkan korupsi.

Akankah fenomena ini berubah setelah pergantian kepemimpinan? Sejak beberapa pekan terakhir, muncul beragam prediksi formasi kabinet Prabowo. Dari berbagai versi yang beredar, terlihat bahwa ia akan membawa orang-orang lama dari kabinet Jokowi, yang sebagian besar di antaranya (dapat diduga kuat) memiliki keterkaitan dengan kelompok oligark. Beberapa di antaranya bahkan tersangkut kasus rasuah. Ini menunjukkan bahwa meskipun wajah presiden berubah, struktur kekuasaan yang mendasari mungkin tetap sama. Seperti yang Debord katakan, spektakel bukanlah perubahan nyata, melainkan ilusi perubahan yang menjaga status quo tetap bertahan.

***

Peran media dalam menciptakan spektakel di Indonesia tentu tak bisa dipinggirkan. Sebagian besar media di Indonesia dimiliki atau dikendalikan oleh para oligark yang memiliki kepentingan langsung dalam stabilitas politik dan kelangsungan kekuasaan mereka. Di 2012, Merlyna Lim mengistilahkan “the league of thirteen” untuk menyebut 13 kelompok besar pemilik media di Indonesia. Di 2017, Ross Tapsell menghitung jumlah itu mengecil jadi delapan saja. Konsentrasi ini mengindikasikan kian kuatnya jejaring oligark di media arus utama.

Maka tak heran bila narasi yang muncul seringkali menonjolkan drama politik, personalisasi kandidat, dan konflik permukaan, sementara isu-isu struktural seperti ketimpangan ekonomi, korupsi, dan demokrasi jarang mendapatkan sorotan yang serius. Ini adalah contoh jelas dari spektakel politik –– fokus dialihkan dari substansi ke penampilan semata. Realitas tampak di permukaan, namun tidak menyentuh isu yang lebih dalam. Heiduk (2024) menyebut lanskap politik yang didominasi oleh kepentingan oligarki dan manipulasi media ini menciptakan sistem yang semakin menyerupai demokrasi prosedural, di mana pemilu diadakan tetapi persaingan politik yang sebenarnya terbatas.

Fenomena ini semakin memperkuat cengkeraman oligarki di Indonesia. Misalnya, kelompok elit ekonomi di Indonesia tidak hanya memiliki kekuatan politik, tetapi juga mengendalikan sektor-sektor ekonomi yang penting, termasuk properti, sumber daya alam, dan media. Dalam laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), sejak Pemilu tahun 1999, 2004, 2009, 2014, 2019, hingga 2024, konsisten menunjukkan adanya anomali dalam pelaporan dana kampanye, mulai dari persoalan administrasi pelaporan yang buruk hingga dugaan manipulasi dokumen ditemukan baik di tingkat Pemilu presiden, legislatif, dan kepala daerah.

Laporan ICW juga mengklaim bahwa pelaporan dana kampanye dalam Pemilu 2024 masih jauh dari transparan dan akurat, melainkan sebagai formalitas administratif belaka. Misalnya, adanya sumbangan dana kampanye dalam bentuk in-kind dari pihak ketiga melalui ads library di jejaring sosial Meta yang tidak tercatat dalam Laporan Awal Dana Kampanye (LADK). Dana kampanye yang tidak transparan menunjukkan kampanye politik tak cuma jadi ajang adu visi dan program, tetapi juga bagian dari sistem kapitalisme yang menciptakan spektakel melalui media. Kandidat menggunakan dana besar untuk menciptakan citra dan impresi publik, alih-alih menyajikan fakta-fakta yang relevan dan transparan.

***

Dalam masyarakat yang dikendalikan oleh spektakel, rakyat kehilangan peran sebagai peserta aktif dalam politik dan ekonomi. Mereka jadi penonton pasif yang menerima apa yang disajikan oleh sistem. Di Indonesia, spektakel ini terlihat jelas dalam kehidupan sehari-hari—mulai dari media sosial yang mendikte gaya hidup, hingga politik yang dikendalikan oleh drama visual dan narasi yang dangkal. Debord menggambarkan ini sebagai masyarakat yang teralienasi dari realitas kehidupan mereka sendiri dan hidup dalam dunia yang dibentuk oleh gambar dan penampilan.

Salah satu solusi yang ditawarkan oleh Debord untuk melawan dominasi spektakel adalah dengan mengembangkan kesadaran kritis. Kita semua harus mulai mempertanyakan narasi yang tersajikan, dan tidak hanya menerima informasi begitu saja. Pendidikan politik dan ekonomi yang mendalam menjadi kunci untuk membuka mata masyarakat terhadap realitas yang ada di balik ilusi politik.

Selain itu, gerakan masyarakat sipil dan aktivisme menjadi salah satu cara untuk melawan cengkeraman oligarki. Sudah ada contoh perlawanan terhadap spektakel ini, seperti gerakan #ReformasiDikorupsi yang digerakkan mahasiswa pada 2019 atau tagar #AnakHaramKonstitusi yang muncul sebagai respons terhadap pencalonan Gibran Rakabuming Raka pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.90/PUU-XXI/2023. Gerakan ini menunjukkan bahwa masih ada ruang bagi masyarakat untuk mengambil peran aktif dalam politik dan menuntut perubahan yang lebih mendasar.

Dengan memahami bagaimana spektakel bekerja, perubahan sejati hanya bisa terjadi jika struktur-struktur kekuasaan yang mendasari turut dirombak, bukan hanya diubah permukaannya. Meskipun kekhawatiran tentang kembalinya kediktatoran mungkin terlalu dilebih-lebihkan, gaya politik Prabowo yang sulit diprediksi dan kedekatannya dengan elit menunjukkan bahwa norma-norma demokrasi dapat semakin terkikis.