Menunda Kesenangan Sesaat
Di semester awal kuliah saya dulu, salah seorang dosen saya pernah berujar, “Mereka yang sukses adalah mereka yang bisa menunda kesenangan sesaat.” Sebagai bocah yang baru lulus SMA dan mencoba memahami dunia perkuliahan, kata-kata itu agak sulit untuk saya pahami waktu itu. Yang bisa saya lakukan cuma mencatat dan membacanya sambil berusaha menemukan maksud kata-kata tersebut.
Namun, seiring berjalannya waktu, barulah saya sadar bahwa sesungguhnya good things come to those who wait. Ini sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran. Makin sedikit yang tersedia, makin besar pula usaha kita untuk mendapatkannya, dan ketika kita mendapatkannya, kepuasan yang kita peroleh juga akan makin tinggi pula. The rarer something is, and the more we hold off on getting what we want, the greater the pleasure and pay-off when we finally do.
Ambil contoh sebuah bisnis. Mereka yang mendapatkan bagian paling duluan adalah pegawai borongan yang harus dibayar secara harian. Setelah pegawai borongan, yang mendapat bagian adalah karyawan tetap dalam bentuk gaji akhir bulan. Selain pegawai atau karyawan, supplier adalah mereka yang dibayar duluan karena barang-barang yang dibeli harus segera dilunasi. Nah, kalau masih ada uang tersisa, barulah uang itu jadi bagian si pemilik bisnis.
Siapa yang paling lama menunda kesenangannya? Pemilik bisnis. Siapa yang berusaha paling keras? Pemilik bisnis. Siapa yang mendapatkan keuntungan dan pay-off paling besar? Pemilik bisnis juga.
Faktanya, kita sekarang hidup dalam dunia yang penuh kesenangan sesaat. Instant gratification.
Butuh makan? Banyak tuh makanan/minuman instan. Tinggal diseduh air panas atau dipanaskan dalam microwave, langsung bisa dinikmati. Kalau masih malas, di sekitar Anda pasti banyak penjual fast food yang bisa memuaskan rasa lapar Anda dalam tempo singkat.
Pengen tampak lebih langsing dan lebih cantik/tampan? Anda bisa menjumpai banyak produk pil/tablet/obat untuk merampingkan badan. Banyak juga yang jual alat-alat yang (katanya) bisa membakar lemak secara instan. Kalau uang berlebih, Anda bisa pakai jasa dokter untuk sedot lemak atau bahkan operasi plastik.
Mau jadi artis? Anda bisa ikutan kontes idola cilik, idola remaja, bahkan idola orang dewasa. Mulai dari kontes menyanyi, berjoget, sampai kontes memasak. Semua dilakukan supaya Anda bisa diorbitkan jadi artis dalam tempo singkat.
Atau Anda pengen cepat kaya? Banyak juga tuh program-program yang menawarkan cara cepat jadi kaya. Tanpa keluar modal. Tanpa perlu menjual produk. Tak usah repot-repot cari member dan menjual prospek. Tanpa perlu kerja keras.
Lingkungan kita memang “memaksa” kita untuk larut terjebak dalam situasi ini. Tapi apa iya kita harus ikut-ikutan juga?
Padahal, menunda kesenangan itu sebenarnya banyak manfaatnya. Salah satunya membuat kita terdorong untuk mendapatkan hanya apa yang benar-benar kita butuhkan. Saya pernah berpikir untuk membeli laptop baru. Saat itu, MacBook Air 11″ baru saja dirilis di pasaran. Tapi saya memutuskan untuk menunda sampai 2 bulan berlalu. Ketika 2 bulan lewat, saya sadar bahwa MacBook lama saya masih berfungsi dengan baik dan masih mampu memenuhi kebutuhan saya.
Menunda kesenangan juga membuat kita lebih hati-hati dalam menggunakan apa yang kita miliki. Bayangkan kita menabung dengan susah payah demi membeli sebuah mobil baru. Begitu Anda mendapatkan cukup uang untuk membeli mobil tersebut, pastilah Anda akan merawatnya dengan hati-hati. If we feel like we’ve earned something, we don’t want to let that work go to waste.
Hal ini berbeda dengan ketika kita melakukan impulsive buying. Tergiur dengan kesenangan sesaat, kita enjoy saja mengeluarkan uang untuk mendapatkan barang tersebut—barang yang tidak benar-benar kita butuhkan. Lebih parah lagi, barang tersebut dibeli dengan utang (kartu kredit). Tak berapa lama, akhirnya muncul “rasa bersalah” dan “penyesalan” dalam diri kita gara-gara pembelian impulsif tersebut.
Dalam konteks perencanaan keuangan, menunda kesenangan sesaat ini erat kaitannya dengan disiplin dan kontrol diri. Idealnya, kita membatasi apa yang benar-benar kita belanjakan menurut kebutuhan kita, bukan menurut keinginan kita. Sementara kelebihan dana yang kita punya, bisa dimanfaatkan untuk investasi di masa depan. Pendek kata, kita menunda kesenangan menikmati uang di hari ini supaya kita bisa hidup enak di masa depan.
Hal ini juga bisa diaplikasikan dalam pekerjaan. Ketika kita diberikan tanggung jawab tertentu, bisa saja kita memilih untuk mengambil jalan pintas demi mendapatkan imbalan kesenangan sesaat. Tapi siapa bisa jamin bahwa jalan pintas tersebut bukan malah menjerumuskan Anda ke penjara? Sama juga dalam hal keartisan. Nggak ada rumusnya artis jebolan kontes idola yang digodog secara instan mampu mengungguli artis yang ditempa di kawah Candradimuka tahunan. It’s all about the journey, not the destination.
Soal urusan perut juga sama. Ibadah puasa mengajari kita untuk menunda kesenangan menikmati makanan dan minuman kesukaan kita. Selain berguna buat kesehatan, kita juga terdorong untuk lebih merasa bersyukur dan terberkati ketika akhirnya bisa menikmati makanan dan minuman tersebut. Saya sendiri membagi hari makan saya dalam seminggu menjadi vegetarian day dan free day. Badan saya terasa lebih sehat, saya pun merasa lebih nikmat ketika bisa menyantap makanan di hari free day.
Bahkan dalam urusan seks. Penelitian menunjukkan bahwa pasangan yang tidak melakukan hubungan seks pranikah biasanya cenderung lebih long lasting daripada pasangan yang sudah melakukan hubungan seks pranikah. Menghindari hubungan seksual sebelum pernikahan membuat pasangan saling membangun antisipasi dan excitement akan malam pertama. Hal itu akan membuat malam pertama (atau bulan madu) secara psikologis menjadi lebih bermakna. The longer you put sex off, the sweeter it is when consummated.
Jadi, disiplinkan diri Anda dan kendalikan diri Anda untuk menunda kesenangan sesaat. Dengan menunda kesenangan hari ini, Anda bisa menikmati dan menjalani hidup dengan lebih bahagia dan menyenangkan. Delay your gratification. Increase your pleasure and happiness.