Akutansi vs. Akuntansi
Saya sering tergelitik ketika melihat, membaca, atau mendengar kata-kata berikut: akutansi dan akuntansi. Mungkin terlihat remeh, tapi mengapa bisa ada beragam variasi? Beberapa orang ada yang memperhatikan atau mempertanyakan kata-kata tersebut. Daripada harus menjelaskan berulang-ulang, mungkin ada baiknya bila dibuat tulisan tidak penting tersendiri.
Sebetulnya kita mengadaptasi kata-kata tersebut dari kata berbahasa Inggris “accounting.” Kata “accounting” sendiri berasal dari kata dasar “account” atau “to account” yang berarti rekening (kb) atau menghitung (kk). Oleh karenanya, ketika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, kata “accounting” seharusnya menjadi “akuntansi” (dengan n)–bukan “akutansi” (tanpa n).
Apabila kita taat dengan kaidah tersebut di atas, maka istilah “akutansi” (tanpa n) tentu tidaklah tepat untuk digunakan. Demikian juga dengan turunannya. Agar tetap konsisten, tentu kita harus menggunakan kata “akuntan” (dengan n) dan “akun” (bukan “aku”, tanpa n). Penjelasan lebih detil mengenai makna dan filosofi kata-kata tersebut mungkin bisa dilanjutkan kalau sempat lain waktu.
Tapi apakah kata “akutan” (tanpa n) ada artinya? Sebetulnya ada.
Akutan (tanpa n) adalah nama sebuah pulau kecil tak berpenghuni di daerah selatan Kepulauan Alaska. Pulau ini sebetulnya tidak berarti apa-apa kalau saja sebuah pesawat tempur Jepang di masa Perang Dunia II (disebut Zero) tidak sampai jatuh di sana. Pulau tersebut merupakan satu pulau kecil dari sekitar 120 pulau-pulau yang berjejer di Samudera Pasifik.
Jadi begini ceritanya.
Pada 4 Juni 1942, pasukan udara Jepang menyerbu posisi Sekutu di Kepulauan Aleutian di Alaska. Mereka berusaha memancing keluar dan mengalihkan perhatian angkatan laut tentara Sekutu dari Pertempuran Midway–sekitar enam bulan setelah Jepang menyerbu Pearl Harbour. Serangan ini sebetulnya boleh dibilang cukup berhasil. Pasukan udara Jepang berhasil kabur dengan hanya sedikit kerugian saja.
Di masa itu, Zero memang dikenal sebagai pesawat yang ditakuti. Pesawat-pesawat tersebut diberi nama Zero bukan karena lambang matahari terbit berwarna merah di badan pesawat, melainkan karena jenis pabrikan pesawat tersebut: Mitsubishi 6M Tipe 0 Model 21. Selain gesit dan kuat, mereka punya reputasi hebat. Di tahun 1940, satu pesawat Zero bisa menghancurkan 12 pesawat tempur China. Di Sri Lanka, 36 Zero bisa melawan 60 pesawat Inggris dan menjatuhkan 27 di antaranya.
Namun, ada satu pesawat Zero yang tertembak dari serangan tersebut. Pesawat Zero yang tertembak di bagian saluran olinya itu akibatnya tidak bisa terbang cepat dan terpaksa harus melakukan pendaratan darurat. Pulau Akutan dirasa layak untuk didarati darurat, untuk kemudian akan dijemput oleh kapal submarine Jepang nantinya.
Sayangnya, pesawat yang dikemudikan Tadayoshi Koga tersebut gagal mendarat mulus. Sesaat setelah Zero menginjak permukaan tanah, roda depannya terjebak dalam permukaan tanah yang berlumpur dan kontur yang tidak rata. Akibatnya, pesawat bukannya mendarat secara linear/horisontal, melainkan terjungkal dan jatuh dengan posisi terbalik.
Yang menarik, teman-teman Koga diinstruksikan untuk menembak hancur pesawat Zero tersebut. Namun, karena badan pesawat masih terlihat bagus dan tidak hancur berkeping-keping, mereka mengabaikan perintah tersebut. Mereka menganggap mungkin pilot masih aman dan dapat diselamatkan belakangan. Faktanya, Koga meninggal saat mendarat. Diduga ia terbentur keras dan mengalami patah leher.
Sekitar sebulan kemudian, angkatan laut tentara Sekutu melakukan patroli rutin dan menemukan Zero tersebut. Mereka melihat pesawat itu sebagai sebuah peluang. Pesawat dikanibal lalu dikirim bagian-bagiannya ke San Diego untuk dianalisis lebih lanjut. Sesampainya di Amerika, mekanik angkatan laut merakit kembali Zero milik Koga dan menambahkan spare part yang diperlukan agar Zero bisa terbang kembali.
Pada 20 September 1942, Letkol Eddie Sanders menjadi pilot yang menerbangkan dan menguji Zero. Pesawat bermanuver dengan begitu indah. Selama 25 hari, ia melakukan uji terbang (test flights) sebanyak 24 kali. Letkol Eddie Sanders menemukan dua titik lemah. Satu, ia tidak bisa melakukan putaran (rolls) dalam kecepatan tinggi. Dua, karena desain karburatornya yang buruk, Zero juga tidak bisa menukik (dive) dengan cepat.
Kenneth Walsh, salah satu kapten angkatan laut Amerika juga mengatakan, “From information that came from Koga’s Zero, I knew the Zero rolled more slowly to the right than to the left. If I hadn’t known which way to turn or roll, I’d have probably rolled to my left. If I had done that, the Zero would likely have turned with me, locked on, and had me. I used that maneuver a number of times to get away from Zeros.”
Berbekal informasi tersebut, pasukan Sekutu mengubah taktik perang mereka di Pasifik. Mereka juga mendapatkan berbagai hal inspiratif dari Zero yang dapat dipakai untuk meningkatkan desain pesawat tempur mereka. Reputasi Zero, yang semula ditakuti sebagai pembunuh berdarah dingin di langit, akhirnya hanya menjadi pesawat-pesawat kamikaze (bunuh diri).
Saking telaknya pengaruh perubahan taktik ini, Masatake Okumiya, perwira Jepang yang memimpin skuadron Zero, mengatakan, “it did much to hasten our final defeat.” Sejumlah ahli sejarah bahkan menyimpulkan bahwa pesawat Koga ini merupakan faktor penting yang membuat Sekutu memenangkan Perang Dunia II.
Jadi bisa dimengerti bukan bahwa “akutansi” berbeda dengan “akuntansi“?