Aristokrasi di Era 4.0

Pusat terjadinya revolusi Perancis, kata diplomat dan sejarawan Alexis de Tocqueville, justru terpusat pada wilayah-wilayah yang menunjukkan peningkatan kekayaan dan standar hidup lebih tinggi di masa Louis XVI. Émile Durkheim bertutur bahwa mobilitas tersebut telah mengganggu keseimbangan natural di masyarakat — yang disebabkan oleh perubahan permintaan atas pekerjaan dan pasokan atas tenaga kerja — yang kemudian memunculkan ketidaknyamanan. Sosiolog Perancis tersebut beranggapan bahwa tidak ada contoh ketidaknyamanan yang lebih tepat selain apa yang terjadi pada Revolusi Perancis.

Mari kita berpindah ke Indonesia di masa sekarang. Teknologi informasi dan komunikasi telah berkembang pesat menawarkan segudang kelebihan dan menjanjikan peningkatan standar hidup. Di sisi lain, kemajuan ilmu pengetahuan dan pendidikan telah mendorong spesialisasi lapangan pekerjaan dan memunculkan profesi-profesi baru yang memberikan pendapatan lebih tinggi. Dus, kombinasi antara perkembangan teknologi dan kemajuan pendidikan semestinya mampu mengubah struktur sosial di masyarakat ke arah yang lebih baik. Tapi, apakah benar demikian?

Jika semua penduduk memiliki akses yang sama terhadap pendidikan dan teknologi, maka struktur sosial akan mencapai aristokrasi platonis. Mereka yang berasal dari keluarga sukses cenderung akan mendorong anak-anaknya untuk mengikuti jejak mereka. Selain itu, proses seleksi juga berjalan ketat. Mereka dengan kemampuan biasa-biasa saja akan dengan mudah tergusur oleh mereka yang berkemampuan tinggi. Pemisahan kelas sosial terjadi karena seleksi alamiah di masyarakatnya. Mobilitas yang terjadi relatif rendah dan pendapatan per kapita terdisitribusi secara tidak merata kepada mereka yang mampu bekerja secara lebih efisien.

Sayangnya kondisi ini tidak berlaku di negara berkembang seperti di Indonesia. Pertama, efek seleksi yang terjadi tidaklah sekuat apa yang terlihat pada negara-negara maju. Kedua, hasrat untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi terkini juga tak terjangkau masyarakat kebanyakan. Hanya segelintir proporsi di masyarakat saja yang mau dan mampu untuk melakukan hal itu pada tingkat pendapatan yang mereka miliki saat ini.

Oleh karena itu, dorongan menuju meritokrasi terlihat begitu kuat di negara-negara maju, terlepas dari latar belakang yang mereka miliki. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi benar-benar mendorong perubahan permintaan atas tenaga kerja yang tersedia. Mereka yang lebih berdaya (resourceful) akan lebih sukses di masyarakat. Genetika dan pendidikan, yang merupakan determinan utama keberhasilan seseorang, berpengaruh besar dalam perubahan sosial tersebut.

Sebaliknya, di negara berkembang, mobilitas sosial dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang lebih bersifat idiosinkratik. Dalam konteks ini, perkembangan teknologi semata tidak akan membantu banyak. Negara berkembang masih terjebak pada masalah klasik seperti tingkat literasi, penetrasi akses, hingga pembiayaan infrastruktur teknologi komunikasi dan informasi. Tanpa semua hal tersebut, mustahil revolusi digital dapat mengeluarkan seluruh potensi yang ada dan membawa perubahan struktur di masyarakat yang lebih baik. Mobilitas yang terjadi bisa saja justru tak terkendali dan menyebabkan ketidaknyamanan seperti yang dituturkan oleh de Tocqueville di atas.