Bahayanya Media Sosial
Di dunia nyata, orang-orang pada umumnya cenderung enggan untuk membagi apa yang mereka miliki—uang, ilmu pengetahuan, pengalaman, misalnya. Tapi di media sosial, hal sebaliknya justru terjadi. Orang-orang berlomba untuk berbagi informasi, menyebarkan berita, mengunggah foto, atau memasang tautan ke situs-situs lain. Sadar atau tidak, saya, Anda, kita semua, mungkin sama-sama “terjebak” dalam perilaku tersebut.
Fenomena begini barangkali wajar saja terjadi. Di satu sisi, media sosial menyediakan platform bagi seseorang untuk menjadi “mini-celebrity” atau menyandang status “superstar.” Di sisi lain, persebaran smartphone, tablet, netbook, dan laptop serta ditunjang dengan makin murahnya akses internet, membuat siapapun bisa menjadi PR Manager bagi dirinya sendiri.
Salah satu argumen yang menjelaskan fenomena ini adalah teori kapital sosial (baca: Coleman, 1990; Putnam 1993, 1995; Bourdieu & Wacquant, 1992). Kita semua berlomba-lomba mengakumulasi kapital sebanyak-banyaknya melalui media sosial dengan cara menyebar informasi, berita, foto, video, apapun itu, kepada dunia luas. Hubungan yang terjadi di media sosial dilandaskan pada mutual acquaintance dan recognition: in order to gain attention, you have to give it away first.
Oleh karena itu, kita bisa simpulkan bahwa mata uang yang berlaku di dunia sosial adalah attention dan pola transaksi yang terjadi di media sosial sesungguhnya adalah pertukaran attention. Kalau Anda memberikan lebih banyak attention daripada apa yang Anda peroleh, berarti Anda mengalami shortage. Sebaliknya, bila Anda mendapatkan lebih banyak attention daripada yang Anda berikan, maka Anda mengalami surplus.
Contoh mudahnya, kalau saya menulis artikel di blog ini dan tidak ada satu orang pun yang menanggapi, maka saya mengalami defisit attention. Sebaliknya, ketika Raisa menulis satu tweet dan direspon oleh ribuan penggemarnya, maka ia mengalami surplus attention. Sayangnya, konsep reciprocity ini sering menjadi bias quantity over quality. Bisa jadi muatan knowledge yang seseorang berikan tidak sepadan dengan apa yang ia peroleh dari komunitas sosialnya (unfair balance).
Dunia akademis sudah banyak mengkritisi penggunaan media sosial dalam keseharian kita. Umumnya, tembakan diarahkan kepada kualitas dan distribusi informasi yang jauh lebih rendah dibandingkan kuantitasnya. Hal ini mendorong misconceptions dan misunderstanding. Dalam komunitas dengan tingkat social contagion yang lebih tinggi, penyebaran false information akan jauh lebih mudah. Kita tentu masih ingat tentang kampanye hitam yang terjadi saat pilpres lalu atau betapa gambar dan berita hoax begitu cepat menyebar melalui pesan berantai.
Dus, sudah banyak teoris yang berargumen bahwa reciprocity tidak bisa menggambarkan knowledge contribution dalam dunia sosial, alih-alih sampai menjadi penentu dan basis untuk mengukur kapital sosial. Lebih baik kita berfokus pada hal-hal yang lebih terkait pada aspek personal dan aspek psikologis seperti well-being, confirmation, dan helpfulness to others. Apalagi platform media sosial yang ada saat ini umumnya coded (berdasar pada “rules” tertentu), manipulatable, dan commercially backed.
Saat ini, jumlah “likes” dan “shares” mungkin masih menjadi indikator utama yang diakui oleh komunitas sosial. Namun, segera setelah para pengguna menyadari bahwa artefak tersebut telah mislead dari tujuan sebenarnya, mereka akan menemukan atau mengembangkan artefak baru yang lebih baik. Jadi, sampai momen itu terwujud, marilah kita sama-sama menyikapi apa yang terjadi di media sosial dengan lebih bijaksana. Tak perlu desperate kalau Anda mengalami defisit kapital sosial. Sebaliknya, kalau Anda mengalami surplus, ya tak usahlah terlalu heboh.
Kedua, ada baiknya kita berhati-hati dalam melihat efek psikologis dari kapital sosial. Kalau kita terlalu fokus untuk mendapatkan kapital sosial dengan cara menyebar informasi sebanyak-banyaknya, pada akhirnya hal itu akan membuat kita lebih detrimental secara emosional. Contohnya, kita lebih enjoy memfoto makanan dan mengunggahnya di media sosial ketimbang membiarkan lidah kita menikmati cita rasa makanan tersebut. We isolate our emotional pleasure on virtual social media applications and sacrificing the physical world in favour of imaginary digital content.