Balada Bangsa Pemalas
Kebanyakan mahasiswa saya pemalas. Mereka malas datang ke kelas tepat waktu. Mereka malas membaca buku dan materi yang diberikan. Mereka malas mengerjakan PR dan tugas. Mereka juga malas bertanya dan berpartisipasi di dalam kelas.
Bekerja keras itu berisiko tinggi. Kalau Anda sudah berusaha keras dan gagal, Anda tidak mendapatkan reward dan self-protection atas usaha yang sudah Anda keluarkan. Misalkan Anda tidak belajar dengan sungguh-sungguh dan memperoleh nilai C dalam ujian, maka itu bukanlah persoalan besar—Anda cuma kurang berusaha dengan keras. Tapi semisal Anda sudah belajar dengan serius tapi tetap memperoleh nilai C, maka Anda akan merasa bahwa mungkin Anda memang benar-benar bodoh.
Dengan kata lain, kalau Anda berusaha keras dan gagal, ada ketakutan yang muncul bahwa Anda mungkin memang tidak berbakat atau tidak ditakdirkan untuk sukses di bidang tersebut. Sebaliknya, kalau Anda tidak berusaha keras dan gagal, Anda bisa menghibur diri Anda sendiri dengan ilusi bahwa seandainya Anda berusaha 100%, pasti Anda akan berhasil. Kalau Anda belum berusaha dengan keras dan gagal, Anda bisa bilang, “I could have gotten an A if only I had tried. But I didn’t. I’m as good as that guy/girl.“
Tentu saja, faktanya tidak demikian.
Sewaktu final NBA beberapa waktu lalu, Lebron James berkomentar di televisi, “I’m not going to hang my head low. I know how much work as a team we put into it. I know how much work individually that I’ve put into it… I think you can never hang your head low when you know how much work, how much dedication you put into the game.”
Tak banyak orang yang berani mengakui kegagalan ketika mereka sudah berusaha keras namun belum berhasil. Tak banyak orang yang seperti Lebron James. Kebanyakan orang memilih untuk menjadi pemalas. Kalau ditanya soal pencapaian, mereka lebih suka mencari alibi yang menarik daripada mengejar pencapaian dengan sungguh-sungguh. Saya gagal jadi juara karena kurang latihan. IPK saya jeblok karena saya tak punya buku yang bisa dipakai buat belajar. Penjualan saya tak mencapai target karena orang-orang di tim saya payah. Dan seribu satu alibi lainnya.
Jadi, buat apa mengejar pencapaian yang tinggi? Achievement doesn’t settle anything permanently. Pencapaian yang kita dapat saat ini harus kita kejar lagi di hari berikutnya, di jenjang yang lebih tinggi, dan seterusnya. Jadi, mengapa harus repot-repot mengejar pencapaian yang tinggi? Kalau kita menang kompetisi tahun ini, toh tahun depan kita harus mempertahankan gelar tersebut. Kalau IPK semester ini di atas 3.5, tetap saja semester depan harus belajar supaya dapat 3.5 lagi. Kalau penjualan bulan ini sudah melebihi target, bulan depan pasti target akan dinaikkan. Jadi, buat apa repot-repot?
Menjadi pemalas punya banyak keuntungan. Pertama, mereka tak perlu repot mencari role model untuk ditiru. Kedua, di jaman yang penuh tekanan seperti ini, orang berharap banyak kepada Anda. Akibatnya, tekanan itu membuat Anda makin sulit untuk mengakui kegagalan. Ketiga, menjadi pemalas itu tidak berisiko—Anda hanya perlu mencari alibi untuk melindungi kegagalan Anda.
Maka, jadilah orang yang pemalas, jadilah orang yang manja, jadilah orang yang nyaman dininabobokkan dalam comfort zone. Lalu tunggulah hingga alam semesta memaksa Anda dengan tekanan, masalah, bencana, musibah, atau kehilangan—sampai mau tidak mau Anda dipaksa harus bangun, dipaksa harus berusaha lebih keras dalam menjalani hidup.