Berjudi ala Jack Dorsey
Jack Dorsey pada awalnya terobsesi pada bagaimana manusia bergerak, berinteraksi, dan berkomunikasi satu sama lain. Untuk itu, ia belajar pemrograman komputer, membuat peta dengan titik-titik (dot) di dalamnya, dan memanfaatkan sistem logistik milik kota Manhattan guna melacak pergerakan sepeda, taksi, polisi, pemadam kebakaran, dan kurir pengantar barang. Itu terjadi di awal tahun 1990an.
Dorsey kemudian masuk ke New York University dan akhirnya mendapatkan pekerjaan sebagai seorang programmer di sebuah perusahaan pengiriman barang. Ia belajar banyak dari pengalaman bekerjanya itu. Ia juga sadar bahwa seharusnya ia berfokus pada pengiriman pesan format pendek saja. Inilah yang menjadi landasan awal mula lahirnya Twitter.
Tahun 2000, Dorsey pindah ke San Francisco. Masih mengusung ide yang sama, ia mendirikan perusahaan pengiriman taksi dan jasa emergency berbasis web. Sayangnya, ia tidak tahu banyak soal start-up (dan venture capital). Ia juga berada pada waktu (timming) yang salah, yakni ketika kejatuhan era dotcom dimulai. Akibatnya, bisa dibilang usahanya itu gagal total.
Tapi hal itu tidak membuat dirinya patah semangat.
Berikutnya Dorsey bereksperimen dengan instant messaging (AOL) dan blogging (LiveJournal) untuk mengirimkan update tentang apa yang sedang ia kerjakan. Update yang dikirim berupa pesan singkat seperti, “Hai, gw lagi nongkrong di Starbucks nih,” atau, “Gw lagi sibuk, gak bisa diganggu.”
Suatu malam, Dorsey susah tidur. Ia membuat sketsa di papan tulis untuk aplikasi yang bisa meng-update status tentang apa yang sedang ia lakukan. Pada awalnya, update status dilakukan lewat email melalui RIM 850 (nenek moyang BlackBerry). Perangkat RIM 850 memang cocok untuk mengirim teks pendek, namun sayangnya teman-teman Dorsey tidak memiliki RIM 850 seperti dia.
Idenya lagi-lagi mentok. Tapi ia tak lantas patah arang.
Dorsey membuat lagi sketsa lagi di atas kertas (lihat gambar di atas). Di baris atas berbunyi “status,” lalu di bawahnya ada form kosong yang ia isi dengan “reading,” lalu di bawahnya ada pilihan nama, email, dan nomor telepon. Tapi karena ia tak punya banyak uang maupun keahlian yang mumpuni, ide tersebut ia simpan dulu sembari ia bekerja dan mengumpulkan uang.
Tak berapa lama, ia direkrut sebagai engineer di Odeo, perusahaan yang bergerak di bidang podcasting. Saat itu, podcasting tidak terlalu populer dan Odeo sendiri relatif stagnan. Evan Williams, founder Odeo, kemudian meminta ide-ide baru dari karyawannya. Ini terjadi di tahun 2006.
Dorsey kemudian mengajukan ide yang ia punya. Beruntung, Evan Williams tertarik dan memberinya programmer tambahan untuk mengembangkan ide tersebut selama 2 minggu. Ternyata prototip yang ia buat sukses diujicobakan di internal Odeo. Dorsey diberi waktu 6 bulan untuk menyiapkan Twitter secara utuh. Akhirnya Twitter dirilis ke publik pada bulan Juli 2006. Setahun berikutnya, Williams memisahkan Twitter dari Odeo agar Twitter bisa berkembang sendiri.
Apa yang dilakukan oleh Jack Dorsey sebenarnya sederhana. Ia punya gagasan brilian. Ia punya persistensi. Kemudian ia melakukan taruhan (bet) kecil, namun gagal. Ada taruhan yang berhasil. Namun jauh lebih banyak taruhan yang gagal. Tapi dari kegagalan itu, ia bisa belajar, membangun momentum, memperluas gagasannya, sehingga bisa mengembangkan ide dan membuka peluang secara jauh lebih matang.
Get an idea. Do the experiment. Get a little bit smarter. Do a little bit better. Get closer to a big idea. Itulah rahasia sukses entrepreneur.
Celakanya, sekolah malah mengajari kita jadi penakut. Sekolah mendidik kita untuk menghindari kesalahan dan kegagalan—sekecil apapun itu. Ketika akan melakukan sesuatu, kita harus menyiapkan segala sesuatunya dengan sempurna supaya jangan sampai terjadi kesalahan. Kesalahan berakibat hukuman. Kegagalan adalah sesuatu yang memalukan.
Sama juga dengan berbisnis atau berwirausaha.
Kita belajar untuk menemukan ide yang benar-benar sempurna, membuat hitungan sana-sini, repot bikin analisis ini-itu, tapi malah nihil realisasinya. Terlalu banyak pertimbangan pada akhirnya malah membuat kita enggan dan justru tidak berbuat apa-apa. Kelamaan berpikir membuat ide dan gagasan kita keduluan diambil orang.
Padahal, yang seharusnya perlu kita lakukan adalah membuat pertaruhan kecil. Makin banyak kita bertaruh, makin membuat kita pintar, makin membuat kita lebih baik, dan makin mendekatkan kita pada kesuksesan besar kita.
Mulailah dari pertaruhan kecil.