Birdie, Birdie, Triple Bogey
Sports go in and out of fashion. Begitulah kata mereka.
Di tahun 1980an misalnya, hiking dan camping begitu populer. Berikutnya demam bulutangkis dari All-England membuat siapapun punya raket di rumahnya. Wajar, Indonesia di dekade 1990an ditakuti seluruh dunia. Tren berlanjut ke tenis lapangan seiring prestasi Yayuk Basuki menundukkan Martina Hingis. Wynne Prakusya dan Angelique Widjaja berusaha mencoba meneruskan kesuksesan Yayuk Basuki.
Pada periode yang hampir sama, Michael Jordan kembali dari “pensiun dini” dari basket dan baseball, lalu berlatih intensif bersama Chicago Bulls. Selain memperoleh gelar most valuable player (MVP), tahun 1998 juga menjadi final NBA dengan rating televisi tertinggi. Semua orang ingin menjadi Michael Jordan. “I want to be like Mike” menjadi slogan salah satu iklan yang paling terkenal di masa itu. Semua orang ingin punya sepatu Air Jordan. Sampai ke Indonesia, semua anak muda bermimpi bisa bermain basket di Kobatama.
Lalu datanglah gegap gempita Piala Dunia yang diiringi oleh membanjirnya siaran liga-liga besar di dunia yang bisa dinikmati dari televisi. Olahraga yang dulunya begitu maskulin, juga mulai mendapat perhatian kaum hawa. Kaos jersey bola menjamur jadi tren dan lapangan futsal bisa ditemukan hampir di setiap kecamatan. Belakangan, sepeda, baik pavement/road maupun mountain/trail, menjadi tren selanjutnya, sebelum sekarang semua orang mendadak pamer medali 5K.
Hal senada terjadi juga di golf. Golf sesungguhnya mengalami masa kejayaannya hanya di tahun 1997 hingga 2008 saja. Kebetulan pada periode yang sama, seorang manusia titisan dewa juga menjuarai 14 turnamen major. Ia memenangkan 106 kejuaraan profesional sepanjang karirnya. Manusia itu bernama Tiger Woods. Dan selama periode booming tersebut, semua orang di seluruh dunia ramai memadati driving range untuk memperbaiki swing dan menurunkan handicap mereka. Dan semua ingin menjadi seperti Tiger.
Sayangnya semua kejayaan itu ditutup pada lubang ke 11 di ronde final Wyndham Championship 23 Agustus 2015 lalu. Tiger yang semula punya keunggulan 4 peluang birdie mendadak hancur berantakan. Gelar juara yang dinanti-nanti sejak lama buyar sudah. Wyndham Championship adalah turnamen PGA terakhir tahun 2015. Maka praktis tahun 2015 ditutup tanpa gelar satu pun bagi Tiger Woods. Tahun 2015 jadi tahun yang paling memalukan bagi legenda seperti Tiger.
Golf has lost its leading salesman.
Dari berbagai indikator manapun, partisipasi golf memang jatuh berantakan—seiring dengan jatuhnya prestasi Tiger. Di tahun 2003 ada 30,6 juta pegolf di Amerika, tapi angka tersebut jatuh jadi 23,7 juta saja di tahun 2014. Di Eropa, data menunjukkan pegolf yang tercatat dan punya handicap resmi turun 1,8% menjadi sekitar 77 ribu saja. Anjloknya prestasi Tiger Woods menjadi biang keladi betapa banyaknya stik golf seken yang dijual di eBay atau Craigslist.
Secercah harapan masih tersimpan di pundak pegolf muda seperti Rory McIlroy yang sudah mengantongi 4 gelar major atau Jordan Spieth dengan 2 gelar major yang diperolehnya tahun 2015 ini. Komposisi pegolf muda di jajaran peringkat atas dunia juga masih diisi oleh pemain muda berbakat seperti Rickie Fowler atau Patrick Reed. Tapi tetap saja, mereka belum mempunyai kharisma dan selling power sekuat Tiger.
Barangkali Anda tak terlalu suka golf—atau bahkan membencinya. Tapi setidaknya ada pelajaran menarik yang bisa diperoleh dari kisah Tiger Woods dan dunia golf di atas: bahwa olahraga apapun membutuhkan seorang leading salesman. Sebagaimana golf butuh seorang Tiger Woods, bulutangkis juga butuh Susi Susanti, tennis butuh Yayuk Basuki, basket butuh Ali Budimansyah, sepakbola butuh Bepe.
Tanpa adanya seorang leading salesman, olahraga apapun hanya akan menjadi tren fashion yang datang dan pergi sesuka hati. Dan salesman tersebut harus terus dipelihara kontinuitasnya. Sebelum A pensiun, B sudah bersiap-siap menggantikan posisinya. Ketika B mulai naik, C sudah harus disiapkan. Begitu seterusnya.
Kalau ingin sungguh-sungguh mengolahragakan masyarakat dan memasyarakatkan olahraga, maka pembinaan usia dini saja tidaklah cukup. Kita perlu mengorbitkan juga atlit-atlit berbakat menjadi leading salesman yang menjual olahraga tersebut kepada masyarakat. Tapi orbitkanlah mereka dengan prestasinya, keahliannya, dan pengalamannya. Bukan malah dengan menjadikan mereka bintang iklan atau pemain sinetron.
Tapi ketika kita lebih memilih untuk mengorbitkan Saipul Jamil atau Ruben Onsu, barangkali memang kiamat sudah dekat.