Sepanjang sejarah bangsa ini -– dari era kerajaan Hindu-Buddha, masa Islam, kolonialisme Belanda, hingga pasca-reformasi modern –- terdapat pola-pola perilaku dan mentalitas yang saya duga menjadi akar permasalahan bangsa. Di antaranya, tiga fenomena kunci yang sering disebut adalah premanisme, proyekisme, dan priyayisme.
Premanisme adalah kecenderungan aktor informal (preman) untuk menuntut jatah kekuasaan atau keuntungan ekonomi tanpa kontribusi produktif, sering melalui kekerasan atau ancaman. Contoh sehari-harinya adalah praktik pungli oleh tukang parkir liar atau kelompok yang memaksakan perlindungan dengan imbalan uang. Fenomena premanisme mencakup organisasi kriminal jalanan hingga kolusi antara aparat dan kriminal?.
Sementara itu, proyekisme budaya menjadikan setiap program atau solusi sebagai “proyek” demi mendapatkan anggaran, komisi, atau fee tertentu, alih-alih mencari solusi jangka panjang. Inisiatif yang diubah menjadi proyek sering kali berorientasi jangka pendek, demi laporan dan pencairan dana, bukan penyelesaian substansial. Akibat budaya proyek ini, marak tradisi kick back (imbalan dari rekanan), mark up anggaran, perjalanan dinas fiktif, dan ketergantungan pada dana pemerintah daripada swadaya masyarakat?.
Satu lagi, priyayisme adalah mentalitas feodal peninggalan struktur kerajaan dan kolonial, yakni keinginan menjadi pejabat yang dilayani bak bangsawan, bukan pelayan publik. Mentalitas priyayi membuat pejabat merasa superior dan menuntut privilese, loyalitas bawahan, serta enggan berbaur dengan rakyat. Nilai-nilai ini berakar dari budaya kelas priyayi (elit birokrat Jawa zaman kolonial) yang menekankan hierarki, harmoni, dan loyalitas absolut pada atasan?. Akibatnya, aparatur sipil negara (ASN) cenderung lebih fokus melayani pimpinan (penguasa) daripada masyarakat?. Continue reading →