Struktur Bahasa dan Relasi Kuasa

Bahasa sebenarnya bukan sekadar alat berkomunikasi, tapi ia juga mencerminkan cara suatu bangsa membayangkan hubungan antara negara dan warganya.

Dalam tradisi post-strukturalis (Jacques Derrida, Michel Foucault, Judith Butler, dkk.), bahasa tidak sekadar mencerminkan realitas, tapi membentuk dan mempertahankannya. Lebih jauh, bahkan setiap kata bisa membawa jejak kuasa: siapa yang boleh berbicara, bagaimana harus bertindak, dan apa yang dianggap sah.

Kita ambil contoh sederhana. Dalam konteks Anglo-Saxon seperti di Inggris, mereka menggunakan istilah “taxpayer” untuk menyebut warganya dan istilah “public servant” untuk menyebut pejabatnya. Istilah ini sesungguhnya tak sekedar soal semantik, namun menggambarkan struktur relasi yang horizontal: negara ada karena warga dan untuk warga. Continue reading

Trias Politica: Premanisme, Proyekisme, dan Priyayisme

Sepanjang sejarah bangsa ini -– dari era kerajaan Hindu-Buddha, masa Islam, kolonialisme Belanda, hingga pasca-reformasi modern –- terdapat pola-pola perilaku dan mentalitas yang saya duga menjadi akar permasalahan bangsa. Di antaranya, tiga fenomena kunci yang sering disebut adalah premanisme, proyekisme, dan priyayisme.

Premanisme adalah kecenderungan aktor informal (preman) untuk menuntut jatah kekuasaan atau keuntungan ekonomi tanpa kontribusi produktif, sering melalui kekerasan atau ancaman. Contoh sehari-harinya adalah praktik pungli oleh tukang parkir liar atau kelompok yang memaksakan perlindungan dengan imbalan uang. Fenomena premanisme mencakup organisasi kriminal jalanan hingga kolusi antara aparat dan kriminal?.

Sementara itu, proyekisme budaya menjadikan setiap program atau solusi sebagai “proyek” demi mendapatkan anggaran, komisi, atau fee tertentu, alih-alih mencari solusi jangka panjang. Inisiatif yang diubah menjadi proyek sering kali berorientasi jangka pendek, demi laporan dan pencairan dana, bukan penyelesaian substansial. Akibat budaya proyek ini, marak tradisi kick back (imbalan dari rekanan), mark up anggaran, perjalanan dinas fiktif, dan ketergantungan pada dana pemerintah daripada swadaya masyarakat?.

Satu lagi, priyayisme adalah mentalitas feodal peninggalan struktur kerajaan dan kolonial, yakni keinginan menjadi pejabat yang dilayani bak bangsawan, bukan pelayan publik. Mentalitas priyayi membuat pejabat merasa superior dan menuntut privilese, loyalitas bawahan, serta enggan berbaur dengan rakyat. Nilai-nilai ini berakar dari budaya kelas priyayi (elit birokrat Jawa zaman kolonial) yang menekankan hierarki, harmoni, dan loyalitas absolut pada atasan?. Akibatnya, aparatur sipil negara (ASN) cenderung lebih fokus melayani pimpinan (penguasa) daripada masyarakat?. Continue reading

1984 dan Brave New World

Brave New World & 1984

1984 karya George Orwell (1949) dan Brave New World karya Aldous Huxley (1932) mungkin dua novel dystopia paling berpengaruh di abad ke-20. Keduanya menggambarkan masa depan yang suram. Masyarakat dikendalikan oleh kekuasaan yang opresif, namun dengan cara yang sangat berbeda.

1984 berlatar di Oceania, sebuah negara totaliter yang dipimpin oleh partai dan sosok pemimpin yang disebut Big Brother. Novel ini menceritakan kekuasaan absolut yang dipertahankan melalui pengawasan ketat (seperti telescreen dan polisi pikiran), propaganda, serta penghapusan kebebasan berpikir. Pemerintah memanipulasi kenyataan dengan konsep doublethink (memercayai dua hal yang bertentangan) dan Newspeak (bahasa yang dirancang untuk membatasi pemikiran kritis). Tokoh utama, Winston Smith, memberontak tetapi akhirnya dihancurkan melalui penyiksaan dan cuci otak. Pesan Orwell jelas: tirani bisa muncul melalui kekerasan, pengawasan, dan penindasan kebebasan.

Sementara itu, Brave New World menggambarkan dunia dengan manusia yang dikendalikan bukan dengan kekerasan, melainkan melalui kenikmatan dan kepuasan artifisial. Masyarakat diatur secara ketat dengan rekayasa genetika, pengkondisian sejak lahir, dan obat penenang bernama soma yang membuat orang selalu bahagia. Konsep seperti keluarga, cinta, dan seni dihapuskan demi stabilitas sosial. Tokoh utamanya, seperti Bernard Marx dan John “Si Liar” mencoba melawan sistem, tetapi pada akhirnya, masyarakat lebih memilih kepatuhan demi kenyamanan. Huxley memperingatkan bahwa bahaya terbesar bukanlah penindasan melalui kekerasan, melainkan ketidakpedulian manusia yang terbuai oleh hiburan dan kesenangan semu. Continue reading

Cengkeraman Spektakel dalam Transisi Kekuasaan

Indonesia kini tengah memasuki fase penting dalam sejarah politiknya. Dengan berakhirnya masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) 2014-2024 dan dilantiknya Prabowo Subianto sebagai presiden berikutnya 20 Oktober ini, banyak pihak berharap akan terjadi perubahan signifikan dalam kebijakan dan arah negara. Namun, di balik permukaan, ada kekhawatiran bahwa perubahan ini hanyalah sebuah spektakel—ilusi dari transformasi politik yang dalam kenyataannya tidak menyentuh akar persoalan, yaitu kekuatan oligarki yang terus mengendalikan jalannya negara.

Dalam karya filsuf Perancis Guy Debord, The Society of the Spectacle (1967), ia menguraikan bagaimana masyarakat modern, khususnya di bawah kapitalisme global, diatur bukan oleh kekuasaan politik yang terlihat, melainkan oleh gambar dan penampilan yang menutupi realitas. Di Indonesia, fenomena ini semakin jelas terlihat ketika perubahan politik yang terlihat di permukaan ternyata hanya menyembunyikan kontrol yang terus dipegang oleh para elit ekonomi dan oligarki. Continue reading

Regulating the (yet) Unregulable?

While we are perhaps only at the beginning of what AI can accomplish, the horse has already left the barn. Other than widely praised OpenAI’s ChatGPT and Microsoft’s Bing Chat, there are massive developments as well such as Google Bard, Adobe Firefly, Canva AI, Microsoft Loop, Bing image creator, Instruct-NeRF2NeRF, Ubisoft’s AI tool, Runway’s text-to-video, among others. Such development represents how AI is starting to transform every aspect of our lives, from education to transportation, from media entertainment to education.

While AI has the potential to bring enormous benefits to humanity, it also poses significant risks and challenges. For instance, AI can reflect and amplify human biases that are present in the data or algorithms used to train and deploy it. AI can also raise serious privacy concerns, as it enables the collection, analysis, and sharing of massive amounts of personal and sensitive data. AI could potentially disrupt the labour market that were previously performed by humans and alter the distribution of income and wealth that eventually widen the gap between those who own and benefit from AI technologies and those who are left behind or harmed by them. Furthermore, AI can create new forms of monopoly power, as a few dominant firms capture most of the data, talent, and profits in the AI sector.

It is no wonder that more than 1,000 tech leaders and scholars –– including business magnate and investor Elon Musk, Apple co-founder Steve Wozniak, Skype co-founder Jaan Tallinn, author Yuval Noah Harari –– have signed an open letter calling to pause development of large-scale AI systems, citing fears over the profound risks to society and humanity. Thus, how can we ensure that AI is developed and used in a way that respects human dignity, rights, and values? Continue reading