“Follow Your Passion” itu Berbahaya

Banyak pembicara/penulis/motivator yang mengusung jargon “follow your passion.” Anda ingin melanjutkan kuliah tapi bingung memilih jurusan? Follow your passion. Anda ingin berbisnis, tapi masih bingung menentukan bidang bisnis yang ingin digeluti? Follow your passion. Terlihat sederhana dan seolah bisa menyelesaikan masalah bukan? Tapi ada kalanya “follow your passion” itu justru bisa berbahaya. Mengapa begitu?

Pertama, tidak selalu passion kita marketable dan menghasilkan uang. Saya suka menulis, tapi silakan cek daftar orang terkaya di Indonesia. Silakan cek penulis buku-buku best-seller di Indonesia. Saya berani bertaruh bahwa main income mereka yang terbesar bukan dari royalti buku. Saya juga suka bermain golf, tapi populasi pemain golf di dunia hanya 1%. Di Indonesia, para pegolf muda berbakat saja kesulitan mendapatkan sponsorship, apalagi amatiran seperti saya.

Sebagian dari Anda mungkin sama seperti saya—punya passion yang kebetulan tidak seksi dan marketable. Pada awalnya mengikuti passion itu menyenangkan, tapi lama-lama terpaksa gugur juga karena tuntutan keadaan. Akibatnya, passion itu terpaksa harus dipinggirkan dan memilih jalan hidup yang konvensional. Hidup jadi membosankan dan tak punya banyak pilihan. Golf terpaksa ditinggalkan demi melamar jadi PNS. Obsesi menulis novel hanya sebatas mimpi karena terlalu lelah dengan pekerjaan. Continue reading

Ketercerabutan Media Sosial di Indonesia

Nampaknya memang ada yang salah dengan pengguna media sosial di Indonesia. Wajar, media sosial barangkali merupakan salah satu temuan terhebat manusia yang sekaligus juga salah satu yang sulit untuk dipahami. Tengok saja, teknologi yang sedemikian maju ternyata sering belum diimbangi dengan perilaku yang sejalan. Misalnya, mengantongi gadget terkini yang mahal, namun berdebat di dunia maya dengan bahasa seperti orang tak pernah kenal bangku sekolah. Contoh lain, seseorang yang dianggap menyalahi “pakem” dengan mudah akan mendapatkan cyber bully di media sosial. Atau, mereka yang “nyleneh” justru mendapatkan panggungnya di dunia maya dibandingkan mereka yang berprestasi.

Ketercerabutan (disembeddedness) ini disebabkan antara lain oleh, pertama, kegagalan dalam memilah antara identitas fisik dan identitas digital. Krisis identitas yang dihadapi manusia modern adalah bagaimana menyeimbangkan antara identitas digital dan identitas fisik/riil. Ketika setiap orang memiliki email dan tergabung dalam jejaring sosial, maka seorang pribadi dengan satu identitas fisik bisa memiliki beragam identitas digital (split personalities). Menariknya, identitas digital ini lahir sebelum kita lahir di dunia fisik dan masih akan tetap hidup di dunia maya kendati pemiliknya sudah meninggal di dunia nyata.

Peradaban manusia di dunia fisik cenderung memelihara perdamaian dan membatasi aspek-aspek negatif yang muncul satu sama lain. Peradaban manusia di dunia maya, sebaliknya, cenderung memungkinkan adanya pelarian dan pembangkangan atas kendali-kendali yang lazim dijumpai dalam dunia fisik. Masyarakat dunia maya sangat mudah terhubung satu sama lain dengan cara-cara yang baru dan terkadang acak (random closeness). Implikasinya, menjadi sangat mudah bagi seseorang untuk membangun weak ties melalui dunia maya, yang kemudian bisa ditingkatkan menjadi medium ties atau bahkan strong ties di dunia nyata. Continue reading

Masalah Besar Bangsa Indonesia

Setidaknya ada dua masalah besar yang didera bangsa ini. Pertama, kegagalan sistem meritokrasi. Dalam sistem berbasis merit, mereka yang berada di atas sejatinya adalah orang-orang yang terdidik, berprestasi, memiliki kapabilitas yang mumpuni, dengan segudang pengalaman yang memadai. Sistem ini memacu orang untuk berlomba-lomba mengasah diri, menghasilkan sesuatu, dan mengukir prestasi. Makin tinggi prestasinya makin tinggi pula reward yang ia peroleh. Begitu pula sebaliknya, makin rendah pencapaiannya, maka makin sedikit pula pilihan yang ia punya.

Akibat dari kegagalan sistem meritokrasi, orang cenderung mencari jalan potong (shortcut) dengan mengabaikan proses yang seharusnya dijalani terlebih dahulu. Buat apa repot melewati 1, 2, 3, dan seterusnya secara berurutan kalau ternyata bisa melompat langsung ke 100? Contoh sederhana absennya meritokrasi sering kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari yang paling sederhana seperti melanggar lampu lalu lintas, mencontek saat ujian, sampai menyogok demi mendapatkan posisi jabatan tertentu. Semua dilakukan demi mendapatkan apa yang diinginkan tetapi tanpa melalui proses panjang yang semestinya dilalui. Continue reading

Cara Cepat Kaya, Adakah?

Di abad pertengahan, Venezia memegang peranan penting dalam perdagangan dari timur menuju daratan Eropa. Karena memegang monopoli Jalan Sutera, Venezia hidup berkelimpahan dan menikmati kebebasan yang tak dimiliki bangsa lainnya. Tapi semua itu musnah ketika pelaut-pelaut Spanyol dan Portugis membuka jalur pelayaran menuju apa yang mereka sebut “dunia baru”. Langkah Spanyol dan Portugis kemudian disusul juga oleh Belanda dan Inggris, meninggalkan Venezia dalam kemunduran.

Venezia berubah menjadi kota yang suram. Kebangkrutan dimana-mana, depresi menyelimuti seluruh rakyat, dan puncaknya, Venezia kehilangan Pulau Siprus yang diambilnya dari bangsa Turki di tahun 1570. Warga Venezia hanya bisa membayangkan romantika masa lalu ketika mereka masih jaya. Mereka hanya bisa berharap keberuntungan akan kembali memihak Venezia sebelum mereka benar-benar menjadi gila.

Di tahun 1589 beredar rumor di Venezia akan kehadiran seorang ahli kimia bernama Il Bragadino. Konon, Bragadino mampu menghasilkan emas dan melipatgandakannya menggunakan unsur dan reaksi kimia rahasia. Rumor ini muncul setelah sebelumnya seorang pujangga Venezia mengunjungi Polandia dan mendengar ramalan bahwa Venezia akan kembali berjaya ketika ia bisa menemukan orang yang mampu mengolah dan menghasilkan emas. Continue reading

Format Ulang Kenyamanan

Pernahkah Anda merasakan komputer yang baru saja di-format ulang atau smartphone yang baru saja di-restart? Terasa nyaman dan lebih ringan, bukan? Nah, pernahkah Anda mencoba untuk mem-format atau me-restart ulang diri Anda sendiri?

Ada kisah menarik dari salah satu tokoh sentral di Perang Dunia II, Jenderal Douglas MacArthur. Ketika pertama kali ia ditugaskan ke Pasifik, salah seorang asistennya menyerahkan sebuah buku tebal yang berisi ringkasan strategi, metode, dan catatan perang lainnya dari komando sebelumnya. MacArthur kemudian bertanya kepada asistennya itu, “Ada berapa banyak buku seperti ini?” Asistennya menjawab bahwa ada enam buku serupa dengan yang ia bawa kepada MacArthur.

MacArthur kemudian menugaskan kepada asistennya itu, “Well, you get all those six copies together and burn them—every one of them.” Katanya, “I’ll not be bound by precedents. Any time a problem comes up, I’ll make the decision at once—immediately.” Seketika itu juga enam buku tebal tadi langsung musnah. MacArthur selalu berusaha melatih dirinya untuk bereaksi dan beradaptasi pada lingkungan dan kondisi baru. Strategi ini terbukti manjur. Continue reading