Matematika Kota Jakarta

Mari kita bermain hitung-hitungan angka. Andai kita sekarang punya monorel dengan rute Lebak Bulus-Jakarta Kota. Bila ditarik garis lurus menyusuri Fatmawati, Blok-M, Sudirman, Thamrin, Harmoni, Hayam Wuruk, maka total jarak tempuhnya sekitar 20 km. Seandainya monorel kita berjalan dengan kecepatan rata-rata 40 km/jam, maka Lebak Bulus-Jakarta Kota bisa ditempuh dalam waktu 30 menit saja.

Memang benar. Realitanya tentu tidak seindah itu. Kalau kita pakai kendaraan sendiri, waktu tempuhnya bisa jadi 3 jam. Jarak tempuh juga lebih jauh karena kita mungkin harus lewat jalan tikus untuk menghindari macet atau kita harus memutari Sudirman-Thamrin untuk mengelak dari 3-in-1. Alhasil jarak yang ditempuh mungkin bisa membengkak jadi 30 km.

Jumlah penduduk Jakarta Selatan sekitar 1,8 juta (2010). Apabila ditambah dengan penduduk daerah Ciputat, Pondok Cabe, Pamulang, dan sekitarnya, anggap saja 2,5 juta. Misalkan 5% saja dari angka tersebut adalah orang kantoran atau anak sekolah/kuliah yang tempat kerja atau sekolah/kuliahnya di daerah utara. Maka, bisa diasumsikan ada 125 ribu orang yang setiap paginya memanfaatkan rute Lebak Bulus-Jakarta Kota. Continue reading

Balada Bangsa Pemalas

Kebanyakan mahasiswa saya pemalas. Mereka malas datang ke kelas tepat waktu. Mereka malas membaca buku dan materi yang diberikan. Mereka malas mengerjakan PR dan tugas. Mereka juga malas bertanya dan berpartisipasi di dalam kelas.

Bekerja keras itu berisiko tinggi. Kalau Anda sudah berusaha keras dan gagal, Anda tidak mendapatkan reward dan self-protection atas usaha yang sudah Anda keluarkan. Misalkan Anda tidak belajar dengan sungguh-sungguh dan memperoleh nilai C dalam ujian, maka itu bukanlah persoalan besar—Anda cuma kurang berusaha dengan keras. Tapi semisal Anda sudah belajar dengan serius tapi tetap memperoleh nilai C, maka Anda akan merasa bahwa mungkin Anda memang benar-benar bodoh.

Dengan kata lain, kalau Anda berusaha keras dan gagal, ada ketakutan yang muncul bahwa Anda mungkin memang tidak berbakat atau tidak ditakdirkan untuk sukses di bidang tersebut. Sebaliknya, kalau Anda tidak berusaha keras dan gagal, Anda bisa menghibur diri Anda sendiri dengan ilusi bahwa seandainya Anda berusaha 100%, pasti Anda akan berhasil. Kalau Anda belum berusaha dengan keras dan gagal, Anda bisa bilang, “I could have gotten an A if only I had tried. But I didn’t. I’m as good as that guy/girl.Continue reading

Mari Berhenti Berinovasi

Marilah kita berhenti sejenak mengagung-agungkan jargon “inovasi.” Leonardo Da Vinci, Henry Ford, Albert Einstein, atau Thomas Alva Edison adalah segelintir tokoh yang bisa dibilang inovator di bidangnya masing-masing. Namun, mereka sendiri sangat jarang menyebut kata tersebut. Kajian literatur yang dilakukan oleh Berkun (2008) dari memoar, biografi, maupun catatan hidup dari tokoh-tokoh tadi malah menunjukkan banyak kosakata seperti “problem,” “experiment,” “solve,” “exploration,” “change,” “risk,” dan “prototype.” Jadi buat apa kita menyebut kata “inovasi” secara berlebihan?

Maka tak heran bila inovasi akhirnya hanya menjadi sesuatu yang dilebih-lebihkan (overrated). Akademisi, praktisi industri, bahkan pemerintah tak jarang memaknai inovasi secara salah kaprah. Inovasi yang memiliki makna sakral akhirnya hanya menjadi jargon (buzz word) yang lemah kesaktiannya. Memang benar, kita mungkin telah merasa mengadopsi slogan dan sikap mental (attitude) inovasi namun tidak benar-benar memaknai kedalamannya. Memang benar, kita fasih menguasai literatur terkini tentang inovasi, tapi kita tidak pernah menyelami infrastruktur di balik paradigma tersebut.

Sikap yang boleh dibilang arogan ini bisa membuat kita semua terjebak (stuck) pada jejak langkah (trajectory) yang salah. Celakanya, sekali kita memilih langkah yang salah, kita akan terus tersesat dalam labirin yang kian menjauhkan kita dari pintu keluar. Continue reading

Menjadi Seorang Superstar

Bagaimana cara menjadi seorang superstar? Malcolm Gladwell punya jawabannya: berlatih 10.000 jam. Seseorang tidak mungkin menguasai suatu hal kecuali ia telah berlatih selama 10.000 jam—atau setara dengan 20 jam per minggu selama 10 tahun berturut-turut. Konsep ini sebenarnya pernah diperkenalkan di jurnal ilmiah di awal tahun 1970an, dan dipopulerkan kembali oleh Gladwell di bukunya, Outliers, yang dipublikasikan di tahun 2008.

Senada dengan Gladwell, Anders Ericsson, professor psikologi dari Florida State University juga mengatakan bahwa seorang master sekelas Bobby Fisher sekalipun membutuhkan persiapan dan latihan selama sembilan tahun. Akan tetapi 10.000 jam saja tidak cukup. Untuk menjadi seorang superstar, Anda harus menghabiskan 10.000 jam dan mendedikasikannya untuk melakukan latihan yang tepat (deliberate practice).

Kita ambil contoh konkritnya. Tiger Woods sudah bermain golf sejak ia berusia 2 tahun. Mariah Carey sudah menyanyi sejak umur 3 tahun. Michael Jordan bermain basket sejak ia masih kanak-kanak. Warren Buffett sudah berinvestasi sejak ia berusia 13 tahun. Walt Disney sudah menjual sketsa animasinya ketika ia berusia 7 tahun. Kalau Anda lihat orang-orang besar, Anda akan memahami bahwa mereka setidaknya butuh 10 tahun untuk menjadi expert di bidang mereka masing-masing. Continue reading

Ketergantungan Akut

Ada sebuah usaha kecil yang memproduksi makanan dalam kemasan dengan harga yang terjangkau namun kualitasnya sangat baik. Usaha tersebut hanya dijalankan oleh seorang pengusaha dibantu beberapa orang karyawan di bawahnya. Usahanya terbilang sukses, berjalan dengan baik, dan tentu saja menguntungkan.

Suatu saat, sebuah jaringan hypermarket besar menawarkan kerjasama dengan pengusaha tersebut. Ia diminta untuk memproduksi makanan dalam kemasan yang serupa, namun dengan label eksklusif milik jaringan hypermarket tersebut. Untuk memenuhi pesanan tersebut, tentu saja ia harus memperluas pabrik kecil miliknya. Ia juga menambah beberapa karyawan baru untuk memenuhi target pesanan.

Sayangnya, pengusaha tersebut telanjur terlena. Selain memperbesar pabriknya, ia juga ikut memperbesar rumahnya. Ia mengganti sepeda motornya dengan mengambil kredit mobil baru. Ia juga mengisi rumahnya dengan barang-barang mewah. Sedikit demi sedikit, gaya hidupnya ikut-ikutan berubah. Barangkali ia merasa “pantas” karena toh ia sudah berhasil mendapatkan klien besar dengan pesanan yang massal. Continue reading