Membatasi Pilihan Sendiri

Ada sebuah buku menarik berjudul The Paradox of Choice karya Barry Schwartz. Buku itu menjelaskan bahwa kita merasa diri kita akan lebih happy ketika kita punya banyak pilihan dalam hidup kita. Tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Kita mungkin bisa mengambil keputusan terbaik karena punya banyak opsi dalam hidup kita, namun sebaliknya, yang terjadi justru hal itu malah membuat kita merasa kurang baik dan tertekan.

Hal ini berlawanan dengan anggapan umum yang kita terima selama ini. Dulu kita berasumsi bahwa pilihan yang terbatas membuat hidup kita susah dan pilihan yang lebih banyak akan membuat kita senang. Tapi nyatanya yang terjadi justru berkebalikan. Makin banyak pilihan yang kita miliki, kita akan cenderung merasa tidak bahagia karena kita merasa bahwa “mungkin” ada pilihan lain yang lebih baik atau lebih menyenangkan hati kita. Inilah yang membuat perasaan kita tidak tenang.

Di dua chapter terakhir, Barry Schwartz menawarkan solusi atas persoalan ini. Yang perlu kita lakukan adalah kita harus secara sengaja membatasi pilihan-pilihan dalam hidup kita. We have to intentionally restrict our selves and live within a certain set of limitations. Sometimes you feel like you’re missing this option and that option and that option over there. But actually, it’s better not to have too many options. Continue reading

Menunda Kesenangan Sesaat

Di semester awal kuliah saya dulu, salah seorang dosen saya pernah berujar, “Mereka yang sukses adalah mereka yang bisa menunda kesenangan sesaat.” Sebagai bocah yang baru lulus SMA dan mencoba memahami dunia perkuliahan, kata-kata itu agak sulit untuk saya pahami waktu itu. Yang bisa saya lakukan cuma mencatat dan membacanya sambil berusaha menemukan maksud kata-kata tersebut.

Namun, seiring berjalannya waktu, barulah saya sadar bahwa sesungguhnya good things come to those who wait. Ini sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran. Makin sedikit yang tersedia, makin besar pula usaha kita untuk mendapatkannya, dan ketika kita mendapatkannya, kepuasan yang kita peroleh juga akan makin tinggi pula. The rarer something is, and the more we hold off on getting what we want, the greater the pleasure and pay-off when we finally do.

Ambil contoh sebuah bisnis. Mereka yang mendapatkan bagian paling duluan adalah pegawai borongan yang harus dibayar secara harian. Setelah pegawai borongan, yang mendapat bagian adalah karyawan tetap dalam bentuk gaji akhir bulan. Selain pegawai atau karyawan, supplier adalah mereka yang dibayar duluan karena barang-barang yang dibeli harus segera dilunasi. Nah, kalau masih ada uang tersisa, barulah uang itu jadi bagian si pemilik bisnis. Continue reading

Berjudi ala Jack Dorsey

Twitter's First Sketch

Jack Dorsey pada awalnya terobsesi pada bagaimana manusia bergerak, berinteraksi, dan berkomunikasi satu sama lain. Untuk itu, ia belajar pemrograman komputer, membuat peta dengan titik-titik (dot) di dalamnya, dan memanfaatkan sistem logistik milik kota Manhattan guna melacak pergerakan sepeda, taksi, polisi, pemadam kebakaran, dan kurir pengantar barang. Itu terjadi di awal tahun 1990an.

Dorsey kemudian masuk ke New York University dan akhirnya mendapatkan pekerjaan sebagai seorang programmer di sebuah perusahaan pengiriman barang. Ia belajar banyak dari pengalaman bekerjanya itu. Ia juga sadar bahwa seharusnya ia berfokus pada pengiriman pesan format pendek saja. Inilah yang menjadi landasan awal mula lahirnya Twitter.

Tahun 2000, Dorsey pindah ke San Francisco. Masih mengusung ide yang sama, ia mendirikan perusahaan pengiriman taksi dan jasa emergency berbasis web. Sayangnya, ia tidak tahu banyak soal start-up (dan venture capital). Ia juga berada pada waktu (timming) yang salah, yakni ketika kejatuhan era dotcom dimulai. Akibatnya, bisa dibilang usahanya itu gagal total.

Tapi hal itu tidak membuat dirinya patah semangat. Continue reading

Sales dan Tukang Tipu

Di masyarakat kita, sales adalah profesi yang citranya kurang baik. Mereka dianggap tukang membual, cenderung annoying, tak jarang suka tipu-tipu agar barangnya laku dan dapat komisi. Untuk menjadi sales juga biasanya tidak memerlukan pendidikan/pelatihan khusus sehingga dianggap profesi rendahan. Sales berbeda dengan profesi seperti dokter, lawyer, akuntan, atau profesi lain yang membutuhkan pendidikan tertentu.

Tapi, Robert Louis Stevenson pernah mengatakan bahwa, Everyone lives by selling something. Seorang pebisnis hidup dengan menjual produk/jasa yang dihasilkannya. Seorang atlet olahraga hidup dengan menjual bakat fisik yang dimilikinya. Seorang musisi hidup dengan jualan bakat seni yang dia miliki. Seorang pemimpin hidup dengan menjual ide, perubahan, contoh, dan pengaruh yang dimiliknya.

Begitu juga dengan kita, saya, dan Anda. Ketika melamar pekerjaan, Anda juga menjual diri Anda kepada instansi yang Anda tuju. Ketika mendekati lawan jenis Anda, Anda juga mengemas dan me-marketing-kan diri Anda kepada si dia. Continue reading

Warren Buffett ala Indonesia?

Banyak orang berasumsi bahwa mayoritas pemain di bursa saham Indonesia adalah trader dan spekulan (short-term). Pertanyaannya, adakah pemain di bursa saham kita yang benar-benar investor fundamental (long-term)?

Sebenarnya beberapa pemain kelas kakap di negeri ini. Yang cukup besar dan menggurita mungkin bisa disebut Hary Tanoesoedibjo (MNC group) dan James Riady (Lippo group). Ada juga Danny Tanoto yang membandari Central Korporindo Internasional (CNKO) atau Benny Tjokro yang menjaga Mitra Adiperkasa (MAPI). Keduanya masih terafiliasi. Benny sendiri dulunya adalah putera mahkota dari Pemilik Batik Keris di Solo. Benny Tjokro juga ada kepemilikan di Rukun Rajarja (RAJA).

Berikutnya, ada Eddy Kusnadi Sariaatmadja yang merupakan eksekutif di PP London Sumatera Indonesia (LSIP), yang juga pemilik Elang Mahkota Teknologi (EMTK) dan Surya Citra Media (SCMA). Nama lain yang juga sering muncul adalah Edy Suwarno, yang berada di belakang Delta Dunia Makmur (DOID) dan Pan Brothers (PBRX). Ada juga nama Benny Wirawansa yang membidani pergantian pemilik BUMA dari PT. Texta Indonesia ke Northstar. Benny Wirawansa juga ada di belakang DOID dan Bumi Teknokultura Unggul (BTEK). Nama lain yang juga cukup dikenal adalah Prem Harjani dari Renaissance Capital. Sayangnya, nama-nama tersebut di atas belum bisa disebut sebagai investor jangka panjang. Continue reading