Memahami Algoritma Digital

Ada dua orang wisatawan sedang jalan-jalan ke Jogja. Turis pertama mengambil foto Gedung Agung menggunakan kamera digitalnya. Turis kedua membawa alat lukis dan menggambar Gedung Agung di atas kanvas. Kedua wisatawan tersebut sama-sama membuat representasi dari sebuah realita, yaitu Gedung Agung. Tapi apa perbedaan di antara keduanya?

Turis yang menggambar di atas kanvas membuat representasi fisik dengan cara menjatuhkan senyawa kimia berwarna dalam sebuah media yang reseptif. Cara konvensional ini membutuhkan penanganan ekstra dan relatif sulit untuk diduplikasi atau dipindahkan. Seiring berjalannya waktu, cuaca dan temperatur juga akan mengakibatkan degradasi warna dan memburuknya kualitas media.

Turis yang mengambil gambar menggunakan kamera membuat representasi digital dengan cara membagi sebuah area dalam jutaan grid (pixel) dan merekam sederet angka (hex code) untuk mewakili intensitas warna dari masing-masing grid. Kamera juga merekam informasi (metadata) yang memuat data tentang waktu dan tempat, judul dan deskripsi foto, pengaturan kamera (aperture, shutter speed, focal length, ISO speed, dan sebagainya), hingga lokasi di mana foto tersebut diambil (geotagging). Continue reading

Akutansi vs. Akuntansi

Saya sering tergelitik ketika melihat, membaca, atau mendengar kata-kata berikut: akutansi dan akuntansi. Mungkin terlihat remeh, tapi mengapa bisa ada beragam variasi? Beberapa orang ada yang memperhatikan atau mempertanyakan kata-kata tersebut. Daripada harus menjelaskan berulang-ulang, mungkin ada baiknya bila dibuat tulisan tidak penting tersendiri.

Sebetulnya kita mengadaptasi kata-kata tersebut dari kata berbahasa Inggris “accounting.” Kata “accounting” sendiri berasal dari kata dasar “account” atau “to account” yang berarti rekening (kb) atau menghitung (kk). Oleh karenanya, ketika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, kata “accounting” seharusnya menjadi “akuntansi” (dengan n)–bukan “akutansi” (tanpa n).

Apabila kita taat dengan kaidah tersebut di atas, maka istilah “akutansi” (tanpa n) tentu tidaklah tepat untuk digunakan. Demikian juga dengan turunannya. Agar tetap konsisten, tentu kita harus menggunakan kata “akuntan” (dengan n) dan “akun” (bukan “aku”, tanpa n). Penjelasan lebih detil mengenai makna dan filosofi kata-kata tersebut mungkin bisa dilanjutkan kalau sempat lain waktu. Continue reading

Ekonomika Teror Bunuh Diri

Kita semua tentu sangat berduka atas aksi teror bunuh diri yang terjadi di banyak tempat beberapa waktu terakhir, mulai dari Manchester sampai Kampung Melayu. Hal tersebut nampaknya bukan merupakan sekedar usaha untuk menarik perhatian dan bantuan (seek attention and cry for help). Sebaliknya, teror bunuh diri yang tersebut memang dilandasi keinginan untuk menghancurkan diri sendiri dan orang lain (destroy one self and others).

Selain bisa dijelaskan dari sisi politik maupun pertahanan dan keamanan, teror bunuh diri sebenarnya dapat dijelaskan menggunakan perspektif ekonomi. Mengapa? Menurut kacamata ekonom mainstream, setiap individu pada dasarnya adalah pengambil keputusan yang rasional dengan kepentingan untuk memaksimumkan utilitasnya (utility-maximising self-interested actor)—-termasuk para pelaku teror bunuh diri.

Pertanyaannya adalah siapakah sesungguhnya identitas “self” ini? Continue reading

Kupu-kupu dan Kamu

Pada Oktober 1859, seorang berkebangsaan Inggris bernama Thomas Austin iseng melepaskan 24 ekor kelinci di dekat Melbourne. Hal ini sengaja ia lakukan agar kelinci-kelinci tersebut menjadi target untuk permainan menembak dan berburu yang ia selenggarakan.

Yang tidak diketahui oleh Thomas Austin, kelinci-kelinci tersebut ternyata tidak mempunyai musuh alami di Australia. Selain itu, mereka juga berkembang biak seperti layaknya kelinci (tahu kan mengapa kelinci menjadi logo majalah Playboy?). Apalagi, cuaca pada saat itu cukup hangat sehingga memungkinkan mereka berkembang biak sepanjang tahun.

Akibatnya, sejak 1859 populasi kelinci meledak. Dalam waktu kurang dari 70 tahun, 24 ekor tadi berubah menjadi 10 miliar ekor. Pemerintah Australia sampai kewalahan mengatasi pertumbuhan populasi ini. Mereka melakukan segala cara, mulai dari membangun pagar antikelinci hingga menawarkan imbalan bagi para pemburu kelinci. Continue reading

Mengkaji Kembali Peran Kartini

“Seseorang itu tidak dilahirkan sebagai perempuan, namun menjadi perempuan.”
—-Simone de Beauvoir

Jujur saja, tanpa bermaksud mendiskreditkan peran Kartini, saya sering mempertanyakan kiprah Kartini baik di masanya maupun dalam konteksnya di jaman modern ini. Kartini sebenarnya cukup beruntung terlahir sebagai kaum borjuis Jawa, mengenyam pendidikan barat, dan punya privilige yang tak dimiliki kaum perempuan di masanya yang hanya dianggap sebagai “konco wingking“. Saya yakin bahwa yang punya ide untuk memajukan perempuan di masa itu tak cuma Kartini.

Memang benar bahwa Kartini sering mengeluhkan apa yang ia pikirkan lewat korespondensinya dengan Stella Zeehandelaar—-terutama tentang praktik pingit pada gadis Pribumi. Tapi yang kemudian mengumpulkan dan menerbitkannya menjadi buku adalah orang Belanda. Kartini memang mendirikan sekolah wanita, tapi karena pengaruh suaminya, tidak ada masalah dalam pendirian sekolah tersebut. Faktanya, ia tetap menjadi korban sistem karena dinikahi bupati berumur di usianya yang masih belasan. Continue reading