Efek Samping Revolusi Informasi
Dalam dunia politik dikenal istilah “demagog“, yaitu mereka yang selalu memiliki posisi kuat dalam kancah perpolitikan. Mereka tidak memiliki dasar fakta dan ilmu pengetahuan yang kredibel, namun mereka mampu menarik massa dengan menawarkan rasa prasangka dan ketidakpedulian yang tak jarang dikemas dalam bentuk ancaman atau teori konspirasi. Celakanya, di era informasi seperti sekarang ini, mereka memiliki potensi kekuatan yang lebih besar lagi. Akibatnya, garis batas antara para ahli cendekiawan (expert) dan para perusuh (demagog) menjadi sulit dibedakan.
Era informasi memungkinkan kita memroduksi informasi jauh lebih besar. Apa yang kita hasilkan sejak tahun 2000an telah melampaui apa yang dihasilkan oleh sejarah peradaban manusia sejak zaman Nabi Adam hingga tahun 2000an. Padahal, otak kita tidak didesain untuk mengolah beragam informasi dan melakukan berbagai pekerjaan secara simultan (multitasking). Yang bisa kita lakukan hanyalah berpindah dari satu aktivitas ke aktivitas yang lain secara cepat. Perpindahan tersebut, sayangnya, mendorong naiknya produksi kortisol (hormon pemicu stres) dan adrenalin yang pada akhirnya memberi stimulus berlebih pada otak kita.
Mudahnya akses informasi juga mendorong kita untuk mencari solusi atas masalah yang kita hadapi sendiri (cyberchondria). Untuk hal-hal remeh seperti cara memasak daging atau cara memperbaiki sepeda, Google atau Wikipedia bisa menjadi rujukan utamanya. Akan tetapi, hanya karena Anda sudah mengetahui penyebabnya, bukan berarti Anda lantas bisa menjadi dokternya. Hanya karena kita sudah bisa memasak dengan baik, bukan lantas kita berhak merasa menjadi chef berkelas Michelin. Hanya karena kita sudah tahu, bukan berarti lantas kita tidak membutuhkan lagi para ahli yang sesungguhnya.
Masalahnya, kita adalah makhluk yang lebih suka benar daripada salah. Dalam mencari fakta dan informasi, sadar atau tidak, kita akan memilih hal-hal yang mendukung pendapat kita (confirmation bias). Ketika terjadi perdebatan atau perbedaan tentang sesuatu hal, kita cenderung memilih sisi yang kita sukai—bukan sisi yang menyatakan kebenaran. Hal ini terlihat jelas di forum dan situs web daring di mana argumen tentang sesuatu hal kemudian menjadi polarisasi yang makin tajam. Akibatnya, forum atau situs web yang pada awalnya menyajikan fakta dan informasi, malah membuat seseorang makin kuat memegang pendapatnya sendiri—kendati pendapat tersebut salah (backfire effect).
Keadaan ini diperparah dengan efek psikologis Dunning-Kruger, di mana mereka yang memiliki kemampuan intelegensia rendah cenderung tidak memahami kekurangan dirinya dan justru melipatgandakan perasaan superioritas yang dimilikinya. Sebaliknya, mereka yang memiliki kemampuan intelegensia tinggi akan cenderung menilai rendah (underestimate) kemampuan yang dimilikinya. Akibatnya, di era informasi seperti sekarang ini, mereka yang kurang cerdas akan makin nyaring suaranya. Sedangkan mereka yang cerdas akan menyimpan kearifan dan kepandaiannya hanya untuk dirinya sendiri atau untuk kalangan terbatas saja.
Pada akhirnya memang revolusi informasi menuntut kita untuk lebih hati-hati. Di satu sisi, kita memiliki keterbatasan sebagai manusia dengan segala kekurangannya. Di sisi lain, kita juga harus berhadapan dengan para demagog yang terlihat seperti para expert.