Ekonomika Pernikahan dan Ketidaksetaraan
Zaman dahulu lazim kita jumpai seorang bangsawan menikahi rakyat jelatanya, seorang wiraswasta menikahi karyawannya, seorang mandor pabrik menikahi buruhnya, seorang manajer menikahi sekretarisnya, atau seorang guru/dosen menikahi murid/mahasiswanya. Dalam konteks ini, masyarakat secara umum diuntungkan karena pihak yang dinikahi akan naik status dan kelas sosialnya ke jenjang yang lebih tinggi. Mobilitas sosial dan ekonomi yang terjadi akibat pernikahan antar kelas tersebut akan membawa pengaruh positif dalam masyarakat.
Gary Becker, ekonom dan sosiolog dari Universitas Chicago peraih Nobel Ekonomi tahun 1992, berpendapat bahwa keputusan seseorang untuk menikah umumnya bersifat sukarela (voluntary), sehingga teori preferensi dapat diterapkan di sini. Menurut teori preferensi, seseorang menikah dengan harapan tingkat utilitasnya akan naik daripada ketika ia masih gadis atau bujangan. Oleh karenanya, setiap orang akan bersaing untuk mendapatkan pasangan yang dirasa kelak akan memberikannya pertambahan utilitas tertinggi.
Pasar perjodohan ini, menurut Becker, adalah pasar yang efisien karena setiap pelaku pasar sama-sama berusaha ingin meningkatkan kesejahteraannya (optimal sorting). Akibatnya, pasar tidak hanya berusaha untuk mendorong peningkatan utilitas antara sebelum menikah versus setelah menikah, melainkan peningkatan utilitas di seluruh pernikahan yang terjadi (gains from marriage) agar menguntungkan semua pelaku pasar (masyarakat).
Terdapat dua jenis transaksi dalam pasar perjodohan ini, yakni perjodohan negatif dan perjodohan positif.
Perjodohan negatif (negative assortative mating) adalah pernikahan yang terjadi antara dua orang yang berbeda atributnya (opposites attract). Institusi pernikahan hasil perjodohan negatif ini mendapatkan peningkatan utilitas dari pertukaran dan spesialisasi (exchange and specialisation). Seorang Pangeran akan bisa fokus berperang dan mengurus negaranya karena sedari kecil ia memang dilatih untuk itu. Sementara itu, Bawang Putih bisa mengurus anak dan istana karena sejak kecil ia sudah terbiasa mengurus rumah tangga .
Perjodohan positif (positive assortative mating) adalah pernikahan yang terjadi antara dua orang yang cenderung sama atributnya (similarities attract). Berbeda dengan perjodohan negatif, institusi pernikahan positif mendapatkan peningkatan utilitas dari saling melengkapi (complementary). Dalam konteks ini, suami dan istri sama-sama berbagi peran dan saling melengkapi satu sama lain. Suami tidak hanya menjadi pencari nafkah, tetapi juga ikut mengurus anak. Sebaliknya, istri tidak hanya melayani suami, tetapi juga ikut bekerja mencari uang.
Isu kesetaraan gender, peningkatan kualitas pendidikan, dan partisipasi perempuan di lingkungan pekerjaan yang mengemuka belakangan dituding membuat perjodohan positif lebih mendominasi daripada perjodohan negatif. Belakangan ini, seseorang cenderung mencari pasangan yang memiliki atribut relatif setara, sehingga bisa diajak berdiskusi (nyambung), bekerja bersama, membantu mengurus rumah, dan menghabiskan waktu luang berdua. Pendek kata, seseorang mencari pasangan yang kurang lebih mirip dengannya.
Dalam konteks ini, kita dapat berasumsi bahwa masyarakat secara umum mungkin akan diuntungkan. Pertama, kesamaan atribut cenderung meminimalkan perbedaan maupun potensi konflik dan mendorong pernikahan bertahan lebih langgeng. Kedua, perpaduan ini menjamin stabilitas ekonomi yang lebih tinggi sehingga kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan anak hasil pernikahan ini akan lebih baik pula.
Namun, perjodohan jenis ini juga dapat menimbulkan masalah. Pertama ia bisa meningkatkan ketidaksetaraan pendapatan (income inequality). Mereka yang kaya dan berpendidikan akan cenderung menikahi mereka yang berada dalam satu kelas pergaulan. Akibatnya, penghasilan pasangan ini juga akan makin tinggi dan mendorong terciptanya kesenjangan yang lebih lebar. Penelitian menyimulasikan bahwa apabila setiap orang memilih pasangannya secara acak akan menurunkan koefisien gini menjadi 0,34 daripada ketika ia memilih pasangan berbasis pada kesamaan atribut.
Masalah kedua, mereka yang berada di level bawah tidak mungkin lagi menikahi seseorang yang berada di atas tingkatnya. Mereka yang kurang berpendidikan dan berpenghasilan rendah akan terpaksa menikahi sesamanya yang juga minim pendidikan dan penghasilan. Selain pernikahan tersebut akan lebih rentan (fragile relationship), pernikahan ini juga berpotensi melahirkan generasi yang nantinya juga memiliki pendidikan dan penghasilan terbatas. Akibatnya, risiko terjadinya kemiskinan lintas generasi (intergenerational poverty) makin tinggi. Mereka yang terjebak pada situasi ini sulit mengangkat dirinya ke kelas yang lebih tinggi tanpa dibantu negara.
Banyak yang berpendapat surutnya perjodohan negatif disebabkan karena nilai yang mereka anut (inter-class value differences) sangat berbeda. Tetapi argumen yang lebih dapat diterima adalah alasan ekonomik. Meningkatnya teknologi membuat permintaan terhadap kemampuan dan pendidikan seseorang di pasar tenaga kerja semakin tinggi. Dengan demikian, seorang sarjana berpendidikan mau tidak mau akan mencari pasangan yang sama-sama berpendidikan agar mampu menjamin fondasi keuangan yang lebih baik. Sebaliknya, mereka yang kurang berpendidikan akan kesulitan mencari pekerjaan yang layak untuk mendukung pernikahan mereka. Penelitian menunjukkan bahwa perbedaan kelas ini berpengaruh pada terbentuknya ketidaksetaraan ekonomi.
Satu hal yang ditakutkan adalah apabila kesenjangan dalam pernikahan (marriage gap) dan ketidaksetaraan penghasilan (income inequality) ini saling mendorong satu sama lain (self-reinforcing) sehingga berujung pada lingkaran setan yang sulit diurai. Ketidaksetaraan ekonomi memicu terjadinya perjodohan positif. Sementara itu, perjodohan positif mendorong ketidaksetaraan yang lebih lebar lagi. Akibatnya, masyarakat tidak lagi beroleh manfaat dan diuntungkan dari adanya institusi pernikahan (gains from marriage).
Pada akhirnya, pernikahan adalah domain pribadi yang tidak perlu campur tangan negara. Pemerintah memang tidak bisa memaksa Sang Pangeran untuk menikahi Bawang Putih, tetapi setidaknya pemerintah bisa memberikan pendidikan yang lebih baik bagi Bawang Putih-Bawang Putih lainnya agar mereka bisa tak hanya melengkapi kemampuannya tetapi juga berinteraksi dengan orang-orang seperti Sang Pangeran yang kelak akan menikahinya dan mengangkat kelas serta statusnya—-yang pada akhirnya diharapkan mampu mengurangi pengaruh ketidaksetaraan tadi.