Enam Tahun Penantian
Dibandingkan Steven Spielberg, mungkin Ang Lee belum ada apa-apanya. Di malam penganugerahan Academy Award beberapa waktu lalu, Life of Pi “hanya” memperoleh 11 nominasi Oscar. Jumlah ini masih di bawah Lincoln karya Steven Spielberg yang memperoleh 12 nominasi. Tapi ada cerita menarik dibalik perjuangan dan kesuksesan Ang Lee.
Ang Lee mendaftar jurusan perfilman di University of Illinois pada tahun 1978. Ayahnya keberatan dengan pilihan anaknya karena di Broadway hanya tersedia 200 peran untuk 50.000 pekerja seni. Ayahnya makin skeptis karena di masa itu sangat jarang seorang berkebangsaan China bisa menembus industri film Hollywood. Walau begitu, Lee nekat terbang ke Amerika mengejar mimpinya. Keputusan ini harus dibayar mahal dengan memburuknya hubungan Lee dengan ayahnya selama dua puluh tahun berikutnya.
Pada akhirnya, Lee berhasil lulus dan mulai mengejar mimpinya. Di tahun 1984, ia mulai bekerja serabutan seperti membantu kru film, bekerja sebagai asisten editor, dan sejumlah pekerjaan tak penting lainnya di belakang layar. Pada saat yang bersamaan, ia juga mengirimkan skenario karyanya kepada sejumlah rumah produksi yang berbeda. Semua berujung pada penolakan. Tapi Lee masih percaya bahwa inilah jalan hidupnya.
Saat itu Ang Lee berusia 30 tahun. Bagi seorang Chinese, usia 30 adalah titik dimana seseorang seharusnya sudah mapan dan bisa menghidupi dirinya sendiri. Sementara Lee saat itu hanya bisa mengirimkan skenario, menunggu jawaban dari rumah produksi, sembari terus bermimpi suatu saat bisa menjadi movie director profesional.
Untungnya Lee memiliki seorang istri yang sangat mendukung mimpinya itu. Istrinya, Jane, adalah seorang microbiologist teman semasa kuliah Lee. Jane bekerja di sebuah lab riset farmasi kecil dengan penghasilan yang pas-pasan. Saat itu mereka sudah dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Haan.
Lee menjalani hari-harinya dengan mengurus segala pekerjaan rumah tangga dan mengasuh Haan. Ia juga masih terus membaca, mereview film, menulis skrip, dan mengirimkannya dengan harapan suatu saat ada yang tertarik membiayai filmnya itu. Setiap malam, Lee membacakan cerita kepada Haan sampai ia tertidur. Bagi seorang laki-laki, menjalani hidup seperti ini tentu merupakan sesuatu hal yang memalukan.
Sampai suatu hari, Lee memutuskan bahwa mimpinya itu hanyalah ilusi belaka. Ia harus menghadapi realita hidup yang ada di depan matanya. Akhirnya Lee kemudian diam-diam mengambil kursus komputer di community college dekat tempat tinggalnya di White Plains, New York. Ia berpikir bahwa pengetahuan dan pengalaman menggunakan komputer akan membuat dirinya lebih mudah mendapatkan pekerjaan. Menyadari perubahan perilaku suaminya, Jane curiga dan menemukan jadwal materi kuliah di tas milik Lee. Tapi Jane hanya diam saja sepanjang malam.
Keesokan paginya sebelum berangkat kerja, Jane hanya berkata, “Ang, don’t forget your dream.” Pernah suatu hari, saudara-saudara Jane memberinya uang yang cukup besar agar Lee membuka restoran China. Tapi uang itu ditolak Jane. Ia percaya dan mendukung mimpi Lee sepenuhnya. Ia juga mengingatkan kepada suaminya, “I’ve always believed that you only need one gift. Your gift is making films. There are so many people studying computers already. They don’t need Ang Lee to do that. If you want that golden statue, you have to commit to the dream.”
Lee kemudian mengambil berkas-berkas kursus komputernya, lalu merobek-robeknya, dan membuangnya ke tempat sampah. Selama enam tahun berturut-turut ia bekerja keras tanpa mendapatkan feedback apapun dari industri film yang dicintainya itu. Barulah pada tahun 1990, di usianya yang ke-36, Lee memenangkan kontes penulisan skrip yang disponsori oleh Pemerintah Taiwan. Tahun berikutnya, Ia mulai menyutradai karya pertamanya yang berjudul Pushing Hands.
Setelah Pushing Hand, Lee kemudian menyutradarai The Wedding Banquet. Film inilah yang membukakan jalan baginya menembus pasar Amerika. Walaupun telah memenangkan nominasi Best Foreign Picture, tapi ia masih belum “dianggap” oleh industri perfilman Hollywood. Dua tahun berikutnya, Sense and Sensibility mulai mengangkat nama Lee. Akhirnya semua kerja keras dan pengorbanan Lee terbayar ketika Crouching Tiger, Hidden Dragon sukses di pasaran. Menyusul kemudian Brokeback Mountain dan terakhir Life of Pi.
Persistensi luar biasa dari seorang Lee dan pengorbanan yang begitu besar dari Jane selama enam tahun tanpa hasil akhirnya terbayar sudah.
Kini, semua orang tentu ingin memperoleh kesuksesan seperti apa yang dirasakan Ang Lee saat ini. Tapi apa iya semua orang mau berkorban seperti apa yang sudah Lee (dan Jane) lakukan? Orang sering bilang, “follow your passion!” atau “if you do what you love, success will follows.” Tapi seberapa kuatkah Anda menunggu? Atau lebih baik segera keluar dan mencari pilihan lain yang lebih menarik? Kebanyakan orang memilih keluar.
Bayangkan saat ini Anda ada di situasi seorang Ang Lee di tahun 1990. Enam tahun ke depan Anda harus menjalani hidup yang begitu miserable sampai tahun 2019. Itu artinya habis masa kepemimpinan presiden calon pengganti SBY kelak. Setiap lebaran dan pertemuan keluarga, Anda harus menghadapi pertanyaan orang-orang, “Gimana kabar film kamu?” Sementara orang lain yang sepantaran Anda sudah memperoleh kesuksesan, Anda masih saja jalan di tempat.
Seorang atlit tentu ingin mendapatkan medali perlombaan. Seorang penulis novel pasti ingin karyanya jadi top best-seller. Seorang musisi pasti ingin albumnya memperoleh platinum. Seorang entrepreneur pasti ingin usahanya bisa mendunia. Seorang investor tentu ingin harga saham yang dimilikinya naik berlipat ganda. Tapi seberapa besar pengorbanan yang diperlukan untuk meraih semua itu?
Memang benar, bakat dan jenius berkontribusi besar pada kesuksesan seseorang. Tapi, menurut saya, yang jauh lebih penting adalah your ability to out-last everyone through the tough and crappy times. Dan itu bisa dilakukan dengan determinasi yang tinggi, dukungan kuat dari orang-orang di sekitar Anda, atau karena memang tak ada lagi pilihan lain.
Ketika manuskrip Anda ditolak, masihkah Anda antusias menghasilkan karya-karya baru? Ketika pembajakan ada dimana-mana, masihkah Anda mau menggubah lagu dan membuat demo rekaman? Ketika pasar sedang bearish, masihkah Anda confident dengan saham Anda? Ketika sedang didera cidera, bisakah Anda tetap berlari dan memenangkan lomba?
Life of Pi memang film (dan novel) yang sangat menarik. Tapi Ang Lee juga memberikan inspirasi: your achievements of tomorrow may be very well be planted with the seeds of today’s disappointments.