How Come You Call Yourself a Moslem?
Barangkali kita perlu membedakan antara “Islam” dan “Islami”. Menjadi seorang “Islam” itu mudah: cukup lafalkan dua kalimat syahadat maka Anda sudah menjadi seorang Islam. Kalimat syahadat cukup pendek dan tak butuh waktu lebih dari 3 menit untuk mengucapkannya. Sebaliknya, menjadi seorang “Islami” itu sulit karena Anda harus menjalankan apa-apa yang termaktub dalam Al-Qur’an dan Hadist di dalam semua aspek keseharian Anda. Bisa jadi sampai seseorang meninggal pun, ia belum bisa menjadi “Islami” yang utuh karena jumlah ayat dan hadist yang harus diamalkan mencapai ribuan.
Empat tahun lalu, Scheherazade Rehman dan Hossein Askari dari George Washington University mempublikasikan penelitiannya yang berjudul “How Islamic are Islamic Countries?” Artikel yang dimuat pada Global Economy Journal (Volume 10, Issue 2, 2010) tersebut menjabarkan urutan indeks “Islami” dari 208 negara di dunia. Mereka menggunakan beragam indikator seperti sistem ekonomi, kesejahteraan masyarakat, pengelolaan sumberdaya alam, korupsi, sistem keuangan, hingga efektivitas pemerintahan di negara tersebut.
Hasilnya tidak mengejutkan (bagi saya). Peringkat 10 teratas negara dengan indeks “Islami” tertinggi dihuni oleh negara-negara yang sering dicap “kafir”, sebut saja: Selandia Baru, Luxembourg, Irlandia, Islandia, Finlandia, Denmark, Kanada, Inggris, Australia, dan Belanda. Negara “Islam” yang punya indeks “Islami” cukup tinggi hanya Malaysia (38), Kuwait (48), Bahrain (64), Brunei (65), dan Uni Emirat Arab (66). Indonesia harus puas di peringkat 140, berada dekat dengan Arab Saudi yang juga cukup hancur peringkatnya (131).
Di Indonesia, jumlah orang Islam sangatlah dominan. Menurut data Sensus 2010, dari 237 juta penduduk, 86,1 persen di antaranya mengaku beragama “Islam.” Tapi dari jutaan orang “Islam” di Indonesia, tidak banyak yang tindak-tanduknya “Islami”. Ada seorang petinggi partai Islam yang kelakuannya sungguh memalukan. Ada seorang ustadz yang memukul dan menendang santrinya. Ada juga petinggi organisasi Islam yang melakukan perbuatan (maaf) threesome dan merekamnya dalam bentuk video. Kalau Rasulullah SAW masih hidup saat ini, barangkali beliau akan menangisi kelakuan ndableg umatnya ini.
Di Indonesia, orang juga sudah kehilangan rasa hormat dan menghargai sesamanya. Melanggar janji dan menerobos antrian adalah salah satu bentuk kecil (tapi mudah dijumpai dan sangat sering terlihat) dari melanggar hak orang lain. Kalau kebiasaan ini terus dilakukan, maka bentuk pelanggaran terhadap hak orang lain yang lebih besar (misal: mencuri, merampok, korupsi, dll) hanya tinggal menunggu waktu saja. Lalu, bagaimana kita bisa menghormati Tuhan kalau kita sendiri tidak bisa menghormati ciptaan-Nya?
Di Inggris, jumlah orang Islam hanyalah minoritas. Menurut data Sensus 2011, populasinya hanya 2,7 juta penduduk saja atau sekitar 4,8 persen dari total populasi. Tapi dari sekian banyak penduduknya yang tidak beragama Islam, sikap dan perbuatan mereka dalam keseharian boleh dibilang cukup “Islami.” Selama tinggal di Inggris, saya belum pernah menjumpai orang yang menerobos antrian. Yang terjadi justru sebaliknya, orang-orang sukarela memberikan kesempatan untuk ibu-ibu atau manula untuk duluan atau membukakan pintu bagi orang lain di belakangnya.
Di Inggris, orang tak peduli apa agama Anda. Kata-kata “sorry” dan “thank you” sangat sering terdengar—bahkan untuk hal-hal yang sebenarnya mereka tak perlu mengucapkan itu. Walaupun sering dibilang bahwa orang bule itu dingin, orang-orang Inggris justru jauh lebih ramah daripada orang-orang kita sendiri. Berbeda dengan di Indonesia, orang-orang Inggris umumnya sangat menghargai waktu orang lain dan komitmen terhadap janjinya. Orang-orang Inggris juga tidak suka membicarakan keburukan orang lain, apalagi di belakang.
Saya tidak bermaksud membanding-bandingkan atau menjelek-jelekkan umat Islam di Indonesia. Tapi faktanya, negara-negara yang sering dicap “kafir” tadi justru mempraktekkan nilai-nilai “Islami” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mereka. Mengapa Indonesia yang punya jumlah penduduk beragama Islam terbesar di dunia justru tidak menjalankan nilai-nilai “Islami”?
Barangkali selama ini kita masih menjalani agama sebatas ritual akidah saja (hablum minallah) dan menggampangkan urusan muamalah (hablum minannas). Seolah-olah ketika kita sudah sholat atau berpuasa, maka kita sudah hebat. Seolah-olah kalau kita sudah banyak beribadah, maka berbuat dosa sedikit-sedikit juga tidak apa-apa. Seakan-akan, kita boleh korupsi asal zakat dan sedekah jalan terus atau kita boleh berzina asal nanti kita nikahi (eh!).
Kalau sudah begini, how come you call yourself a Moslem?