Ketergantungan Akut
Ada sebuah usaha kecil yang memproduksi makanan dalam kemasan dengan harga yang terjangkau namun kualitasnya sangat baik. Usaha tersebut hanya dijalankan oleh seorang pengusaha dibantu beberapa orang karyawan di bawahnya. Usahanya terbilang sukses, berjalan dengan baik, dan tentu saja menguntungkan.
Suatu saat, sebuah jaringan hypermarket besar menawarkan kerjasama dengan pengusaha tersebut. Ia diminta untuk memproduksi makanan dalam kemasan yang serupa, namun dengan label eksklusif milik jaringan hypermarket tersebut. Untuk memenuhi pesanan tersebut, tentu saja ia harus memperluas pabrik kecil miliknya. Ia juga menambah beberapa karyawan baru untuk memenuhi target pesanan.
Sayangnya, pengusaha tersebut telanjur terlena. Selain memperbesar pabriknya, ia juga ikut memperbesar rumahnya. Ia mengganti sepeda motornya dengan mengambil kredit mobil baru. Ia juga mengisi rumahnya dengan barang-barang mewah. Sedikit demi sedikit, gaya hidupnya ikut-ikutan berubah. Barangkali ia merasa “pantas” karena toh ia sudah berhasil mendapatkan klien besar dengan pesanan yang massal.
Beberapa bulan kemudian, jaringan hypermarket tersebut mengubah kontrak yang mereka tawarkan kepada pengusaha tadi. Mereka mengusulkan beberapa pasal, termasuk potongan harga untuk barang-barang yang mereka pesan. Pengusaha tersebut akhirnya kelimpungan. Potongan harga membuat dia tidak lagi bisa menikmati keuntungan yang berlimpah. Lebih parah lagi, gaya hidupnya sudah telanjur berubah dan ia meninggalkan utang dimana-mana.
Pelajaran yang bisa dipetik dari sini adalah bahwa menggantungkan kelangsungan hidup bisnis kita hanya pada satu-dua customer (atau supplier) saja sama dengan bunuh diri. Avoid customers or suppliers who represent a large percentage of your business.
Kalau di dunia investasi, mungkin Anda sering mendengar ungkapan sejenis: Don’t put all your eggs in one basket.
Namun sesungguhnya, kesalahan umum ini tidak hanya terjadi di bidang bisnis atau investasi saja. Sebagian besar dari kita juga melakukan kesalahan ini.
Sebagian besar dari kita adalah karyawan atau orang kantoran yang menggantungkan hidup hanya dari satu sumber saja, yaitu tempat dimana kita bekerja. Ini sama halnya dengan cerita pengusaha di atas yang menggantungkan hidupnya hanya kepada sebuah jaringan hypermarket besar.
Apa pengaruhnya?
Kalau hubungan transaksional antara kita dengan tempat kita bekerja baik-baik saja, maka tidak ada masalah. Kita bekerja dengan baik, menjalankan kewajiban kita, dan menerima apa yang menjadi hak kita. Namun yang terjadi tidaklah selalu demikian.
Kita mungkin sudah melakukan kewajiban kita, namun hak yang kita dapatkan mungkin tidak sebanding. Akibatnya, kita menjadi budak (wage slaves) karena membutuhkan gaji untuk menunjang hidup kita. Tak jarang kita harus mengorbankan idealisme kita demi idealisme versi atasan, atau idealisme versi perusahaan. Lebih parah lagi, kita harus bermulut manis untuk menyenangkan atasan kita.
Saya sering mengamati timeline Twitter dan newsfeed Facebook saya. Setiap hari Senin, selalu ada ungkapan “I hate Monday” dan setiap hari Jum’at selalu ada ungkapan “Thank God its Friday.” Memangnya, apa sih dosa si hari Senin?
Jadi, mari kita mulai menata ulang hidup kita. Jangan hanya menggantungkan hidup dari satu sumber saja. Explore every possibility. Seize every opportunity.
Dan kedua, mari kita nikmati tujuh hari yang ada dengan sama enjoynya. That’s the only way to live.