Ketersinggungan yang Termanufaktur
Setiap kali kita melalui tahun yang baru dan melongok kembali tahun-tahun sebelumnya, mudah bagi kita untuk menyimpulkan bahwa kehidupan cenderung selalu berulang dengan pola yang bisa terlihat kasat mata. Perekonomian naik, perekonomian turun. Ada yang berkoalisi, ada yang pecah kongsi. Tindak kriminal dan bencana alam terjadi—-hanya berlainan tempat dan peristiwanya. Ada yang naik pamornya, ada yang anjlok popularitasnya. Ada yang melahirkan, ada pula yang meninggal. Hal ini terjadi hampir setiap hari dan sejarah akan selalu terulang kembali.
Bedanya, tokoh, isu, maupun peristiwa yang terjadi tersebut dapat memicu kontroversi yang dengan mudah diamplifikasi oleh keberadaan media sosial. Selain persebarannya yang sangat masif, media sosial juga relatif tidak membutuhkan biaya. Tidak perlu banyak usaha untuk mengklik sebuah tombol, membagi (share) sebuah tautan, atau mengunggah ulang kicauan (re-tweet). Tanpa sadar, kita bisa menjadi bagian dari sebuah gerakan besar tanpa benar-benar melakukan tindakan apapun. Fenomena tindakan yang nyaris bebas hambatan (lower barrier to action) ini mustahil dijumpai di dunia nyata (offline).
Siklus ini biasanya dimulai dari kontroversi yang sesungguhnya bisa muncul kapan saja, oleh siapa saja, dan di mana saja. Tokoh politik, selebritas, penegak hukum, masyarakat awam, hari ini, minggu lalu, bahkan kejadian bertahun-tahun lalu, di Jakarta, di Indonesia, hingga ke manca negara. Majalah Slate (2014) pernah meneliti hal-hal yang mendorong lahirnya kemarahan besar di media sosial sepanjang tahun. Yang menarik, mereka menemukan bahwa sebagian pokok dari kemarahan besar tersebut sebenarnya tidak benar-benar nyata dan membutuhkan perhatian kita.
Siklus kemudian berlanjut dengan polarisasi dan fragmentasi, di mana masing-masing pendapat akan mengelompok dan terakumulasi. Oleh karena media sosial bekerja atas dasar eksternalitas jejaring (network externality), maka masing-masing penyedia jasa media sosial akan berusaha membuat penggunanya betah berlama-lama menggunakan platform tersebut. Mereka akan merekomendasikan foto, artikel, tautan, video, dan konten lain berdasar preferensi yang sama dengan tujuan agar penggunanya semakin lama menghabiskan waktu pada platform media sosial tersebut.
Akibatnya, media sosial mendorong terciptanya radikalisasi dengan lebih cepat. Kalau Anda penggemar mie goreng, Anda akan semakin mencintai mie goreng dan membenci penggemar mie rebus. Sebaliknya, penggemar mie rebus akan semakin menggemari mie rebus dan menganggap pencinta mie goreng sebagai musuh abadi. Apabila titik kritis di masing-masing kubu terlampaui, maka pecahlah kemarahan yang besar. Sejalan dengan Fan et al. (2014), media sosial memang membuat penggunanya lebih mudah menyebarkan kemarahan (anger) daripada kesedihan (sadness) maupun perasaan gembira (joy). Dengan demikian, terciptalah sudah ketersinggungan yang termanufaktur.
Sebagian besar ketersinggungan yang mengemuka memang bisa mereda dengan cepat. Ada kalanya salah satu kubu mengakui kesalahan, meminta maaf, dan menerima kekalahan dengan jantan. Ada kalanya juga masing-masing kubu menyadari bahwa ketersinggungan ini bukanlah sesuatu yang layak dilanjutkan sehingga konflik mereda dengan sendirinya. Namun, kita tidak boleh mengabaikan bahwa ketersinggungan sekecil dan secepat apapun berlalu akan selalu membawa konsekuensi.
Pertama, kualitas diskursus masyarakat kita akan semakin rendah. Kita akan terjebak pada diskusi yang dangkal dan tidak substantif—-semata-mata hanya untuk membenarkan pendapat kita sendiri dan menjatuhkan pendapat lain yang berseberangan. Kedua, kita akan terjebak pada diskursus mengenai subyek (messenger) bukan pada obyek (message) yang dibawanya. Akibatnya, tak jarang diskursus akan berujung pada penindasan (bullying). Ketiga, naik turunnya emosi akibat ketersinggungan ini membuat kita lelah secara psikologis (physically demanding). Sebuah kendaraan yang berjalan relatif konstan akan mengonsumsi bahan bakar jauh lebih sedikit daripada kendaraan yang berjalan dengan kecepatan tak beraturan. Selain membuat kita sulit berpikir jernih, ketersinggungan ini menjadikan kita lebih cepat stress dan lebih mudah tersulut amarahnya di dunia nyata (offline).
Kendati media sosial berperan besar dalam memanufaktur ketersinggungan, saya tidak menayarankan untuk serta merta meninggalkannya. Alih-alih, ini adalah ajakan untuk bersama-sama menciptakan media sosial sebagai lingkungan yang lebih sehat dan kondusif bagi semua pihak.
Penyedia jasa media sosial mungkin perlu memikirkan mekanisme baru untuk mengeliminasi pengaruh buruk ini, misalnya dengan memberikan waktu tunda bagi tulisan, foto, video, tautan, atau kicauan yang dinilai berpotensi mendorong munculnya ketersinggungan. Waktu jeda ini memberi peluang bagi pengguna untuk berpikir lebih jernih dan mengurangi potensi ketersinggungan.
Di sisi lain, pemerintah juga punya tanggung jawab agar media sosial tidak menjadi hutan rimba yang liar. Sekadar melakukan blokir dan sensor tentu tidak akan menyelesaikan masalah dengan tuntas tanpa menemukan akar penyebab lahirnya ketersinggungan itu. Lebih penting dari itu, pemerintah perlu membangun reputasi dan kredibilitas yang memperkuat posisi pemerintah agar masyarakat lebih percaya terhadap pemerintah daripada isu yang beredar di media sosial.
Terakhir, sebagai pengguna kita perlu berpikir ulang sebelum mengklik satu tombol apapun karena hal itu bisa membawa konsekuensi yang panjang. Selain itu, kita juga perlu melatih kepekaan kita dan penghargaan kita terhadap mereka yang memiliki pendapat dan prinsip yang berseberangan.