Kontemplasi dan Refleksi Diri
Ada seorang pria bermain biola di stasiun kereta api bawah tanah di Washington. Ia memainkan 6 karya gubahan Sebastian Bach selama satu jam. Selama itu pula, ada sekitar 2.000 orang mondar-mandir melewatinya. Sebagian besar adalah mereka yang berangkat ke kantor masing-masing.
Di 3 menit pertama, ada seorang paruh baya memperhatikan permainannya. Ia memperlambat jalannya dan berhenti sesaat untuk melihatnya bermain. Tapi kemudian ia bergegas untuk melanjutkan perjalanannya.
Empat menit kemudian, seorang wanita melemparkan uang $1 kepadanya tanpa berhenti dan tetap meneruskan langkahnya.
Enam menit kemudian, seorang anak muda merapat untuk mendengarkan permainannya. Tapi tak berapa lama, anak muda tadi memperhatikan arlojinya, lalu beranjak pergi.
Sepuluh menit kemudian, seorang anak kecil berusia 3 tahun berhenti memperhatikannya bermain. Namun ibunya menarik anak itu untuk bergegas melanjutkan perjalanan. Anak kecil itu masih menoleh dan memperhatikannya bermain, namun ibunya menariknya kembali dan memaksanya untuk berjalan. Kejadian ini terjadi berulang kali pada setiap anak kecil yang melintasinya.
Empat puluh lima menit kemudian, pria tadi masih tetap bermain biola. Total hanya 6 orang yang berhenti sejenak dan mendengarkannya bermain. Sekitar 20 orang memberinya koin tapi langsung lewat begitu saja.
Pria tadi akhirnya berhenti bermain setelah satu jam. Tidak ada tepuk tangan. Tidak ada orang yang memperhatikannya. Ia hanya mengumpulkan tak lebih dari $32 saja.
Tak ada orang yang tahu bahwa pria yang bermain biola tadi adalah Joshua Bell, salah seorang musisi terhebat di dunia. Ia memainkan salah satu karya tersulit yang pernah ditulis oleh komposer dunia dengan biola yang berharga lebih dari $3,5 juta.
Itu terjadi di bulan Januari 2007. Dua hari sebelum Joshua bermain, tiketnya ludes terjual di Boston.
Ini adalah eksperimen sosial yang dilakukan oleh The Washington Post untuk menilai persepsi, selera, dan prioritas dalam hidup manusia.
Ada pelajaran menarik yang bisa kita ambil di sini. Seringkali kita merasa sudah bekerja keras, melakukan banyak hal, mengambil lembur dan overtime, tapi tetap saja we are getting nowhere. Seperti berlari di atas treadmill, kita sering merasa sudah lelah menggerakkan kaki, tapi begitu kita lihat sekeliling kita, ternyata kita masih berdiri di tempat yang sama.
Kadang kita merasa sudah membanting tulang sampai remuk redam, tapi begitu dicek, saldo tabungan kita tetap segitu-segitu saja.
Kita tergesa-gesa. Kita terlambat menghadiri janji. Kita ada meeting. Kita merasa lelah dan stress. Jadwal kita penuh dan padat tak bersisa. Tapi apakah benar kita mengerjakan apa yang seharusnya kita kerjakan?
Kalau kita sudah merasa mengejar apa yang memang seharusnya kita kerjakan, pernahkah kita mencoba untuk menikmati, menghargai, dan mensyukuri apa yang sudah kita peroleh selama ini?
Sekedar renungan untuk membangkitkan kembali nyawa blog ini. :)