Memahami Perilaku Pemerintah
Dari banyak literatur, fungsi pemerintah bisa dikategorikan dalam dua bidang besar: akumulasi dan legitimasi. Akumulasi berarti pemerintah membuat dan menjaga terciptanya kondisi yang memungkinkan penciptaan laba (creation of profits) bagi negara. Legitimasi adalah bagaimana pemerintah menunjukkan komitmen bagi negara untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera (equitable society).
Kalau dijabarkan, dua fungsi besar ini tadi akan menjadi sangat beragam. Mulai dari membuat legal framework bagi terciptanya masyarakat yang beradab, memastikan perdamaian dan keteraturan (polisi, militer, pengadilan, dsb.), melindungi industri dalam negeri (bea cukai dan tarif), menjamin public goods (kesehatan, pendidikan, pensiun, dsb.), memberikan mekanisme transaksi keuangan dan perbankan, memastikan pertumbuhan dan stabilitas ekonomi, hingga mengatasi kemiskinan dan ketidaksetaraan.
Namun, diskusi baru akan jadi lebih menarik ketika kita bandingkan antara institutional design (in theory) versus behaviour (de facto) karena inilah sumber masalah utamanya.
Problem pertama yang lazim dijumpai di negara berkembang seperti Indonesia adalah revolving door. Kalau Anda pernah masuk hotel, pusat perbelanjaan, atau kampus besar di luar negeri (terutama di negara yang memiliki empat musim), revolving door atau pintu berputar pasti sangat gampang ditemui. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan fenomena “itu-itu aja” atau “lo lagi, lo lagi.”
Di Indonesia, sangat mungkin dijumpai berbagai aktor politik dan pemerintahan yang berasal dari satu sekolah (roots) yang sama. Mulai dari tim ahli, kepala dinas, manager, CEO, komisaris, bupati, gubernur, pejabat eselon, menteri, bankir, jurnalis/media, ketua umum partai, umumnya bisa ditarik satu keterkaitan latar belakang yang sama. Mereka biasanya berasal dari sekolah negeri prestisius yang jumlahnya tak banyak namun mendominasi dan memegang posisi yang strategis.
Hal ini muncul karena 30-50 tahun lalu, institusi pendidikan yang berkualitas di negara-negara berkembang jumlahnya sangat terbatas. Umumnya mereka dimiliki oleh pemerintah dan sangat selektif dalam proses seleksinya. Sebut saja UI, UGM, ITB, dan sebagainya. Maka tak heran, ketika mereka lulus akan mendominasi instansi dan menciptakan ekosistem yang terdiri dari orang-orang “lo lagi, lo lagi” tersebut dan membentuk klan/geng masing-masing.
Problem kedua adalah perbedaan komitmen waktu. Pemerintah berorientasi jangka pendek (masa bakti lima tahun), sedang pemilik modal berorientasi imbalan (return) jangka panjang. Kebijakan besar seperti pembangunan infrastruktur atau keberlanjutan lingkungan (sustainability) bukan satu hal yang bisa diselesaikan dalam waktu lima tahun. Untuk itu, pemerintah perlu membuat komitmen (credible commitment) untuk menjaga ikatan janji tersebut — apalagi antara penguasa dan pemilik modal.
Salah satu instrumen untuk menjamin credible commitment adalah dengan membentuk Badan Regulasi Independen (Independent Regulatory Agency-IRA). Badan semacam ini sering juga disebut sebagai Badan Regulasi Mandiri (Independent Regulatory Body-IRB). Mereka beroleh mandat melalui UU atau Keppres, terpisah dari pemerintahan, dan punya kepemimpinan terbatas. Di Indonesia ada banyak, misalnya Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS), dan masih banyak lagi.
Kalau ditarik ke belakang dengan agak su’udzon, pembentukan IRA atau IRB biasanya tak akan jauh-jauh dari credible commitment. Misalnya, BPPN dibentuk jelang privatisasi sektor perbankan pasca Krisis Moneter 1997. BRTI juga dibentuk sejalan dengan privatisasi dan liberalisasi sektor telekomunikasi. Senada pula dengan BPMIGAS yang didirikan seiring dengan liberalisasi sektor hilir migas. Harapannya, dengan adanya credible commitment ini, kebijakan tersebut akan terus berjalan sesuai kesepakatan awal — meski pejabat pemerintahannya sudah berganti.
Nah, selain untuk menjamin credible commitment, IRA atau IRB juga bisa menjadi alat untuk blame shifting. Pemerintah bisa menggunakan keberadaan IRA atau IRB sebagai alat untuk melempar kesalahan atau mempromosikan kebijakan yang tidak populer. Misal, apabila korupsi merajalela, maka hal itu merupakan kesalahan KPK. Kalau harga minyak atau pulsa mahal, itu adalah salah BPMIGAS dan BRTI. Padahal, sejatinya urusan-urusan tersebut adalah tanggung jawab pemerintah. Praktis, mereka menjadi “bumper” yang melindungi citra pemerintah. Dan seperti dituturkan oleh Hannah Arendt, “Half of politics is image-making, the other half is the art of making people believe the image.”
Maka tak heran bila orang-orang di jalanan sering menyebut bahwa hanya ada dua jenis politik di negeri ini: politik balas budi atau politik balas dendam. Tak ada lagi jenis lainnya.