Mengapa Kita Mengonsumsi (Lebih)
Semenjak Perang Sipil berakhir tahun 1865, perekonomian Amerika mengalami pemulihan dengan berkembangnya lahan pertanian dan bermunculannya pabrik-pabrik. Produktivitas pertanian naik, sejalan dengan peternakan dan pertanian yang menunjukkan hasil memuaskan. Industri besi dan baja juga beroperasi seiring dengan bergeraknya industri tekstil dan workshop pembuatan mobil serta traktor. Jalan, jembatan, serta rel kereta api dibangun lintas benua. Bangunan pencakar langit berdiri megah di New York dan Chicago. Industri media, seperti koran dan majalah, juga bertumbuh.
Selama kurun waktu enam puluh tahun sejak berakhirnya perang, industri pertanian dan manufaktur bergerak lebih cepat daripada pertumbuhan jumlah penduduk yang hanya sekitar 114 juta penduduk saja. Pada tahun 1927, perekonomian mengalami stagnasi karena proses produksi mengalami saturasi. Kebutuhan tekstil satu tahun sudah bisa dipenuhi oleh produksi pabrik yang beroperasi selama setengah tahun saja. Suplai sepatu setahun juga sudah bisa dipenuhi hanya dari seperlima pabrik yang ada saat itu. Apalagi yang mau diproduksi?
Pada saat itu, pilihannya sederhana: Apakah mereka harus mengurangi produksi? Atau mereka harus meningkatkan konsumsi?
Kubu yang pertama, digawangi oleh ekonom Arthur Dahlberg dan konglomerat gandum W.K. Kellogg, merasa pilihan pertama lebih sederhana. Outcome dari produksi lebih mudah diprediksi. Orang-orang akan bekerja lebih sedikit. Mereka akan punya lebih banyak waktu yang oleh begawan ekonomi John Maynard Keynes diistilahkan ‘age of leisure‘. Mereka akan bertamasya, jalan-jalan di taman bersama keluarga, mengerjakan hobi yang mereka sukai, atau bergabung bersama dengan komunitas sosial dan agama di lingkungan mereka.
Kubu yang kedua, dan tak kalah kuatnya, didukung oleh politisi dan calon presiden Herbert Hoover dan industrialis serta CEO General Motors, Alfred Sloan. Mereka berpendapat bahwa letak masalah bukan pada overproduction, melainkan pada underconsumption. Kalau orang-orang mengonsumsi lebih banyak, maka lapangan pekerjaan akan lebih banyak dibuka dan standar gaji akan naik. Profitabilitas industri akan naik, diikuti pula oleh naiknya pendapatan pajak yang akan diterima oleh pemerintah.
Tahun 1891, Elmo Calkins memenangkan kompetisi advertising mengalahkan 1.433 kontestan lain. Sejak itu, industri mengenalnya sebagai seorang marketer berbakat dengan karya-karyanya yang kontemporer dan menjadi tren yang kemudian diikuti oleh industri. Selain penggunaan jenis huruf yang modern dan artistik, kata-kata yang dirajutnya begitu memikat sehingga membuat orang langsung membeli apapun yang ia iklankan.
Melihat pelambatan ekonomi Amerika di tahun 1920an, Elmo mencetuskan dua gagasan yang kontroversial. Pertama, industri harus berhenti membuat produk yang tahan lama. Mereka seharusnya membuat produk yang punya umur pakai dimana ketika umur pakai tersebut terlewati, produk tersebut harus dibuang. Sama seperti bagaimana kita menggunakan pasta gigi atau biskuit. Habis pakai, buang. Beli lagi. Habis pakai, buang lagi. Beli lagi. Begitu seterusnya.
Namun yang lebih menarik dan radikal adalah gagasan kedua Elmo. Selain memanufaktur barang, produsen juga harus bisa memanufaktur konsumen. Ia mengusulkan agar produsen membuat barang konsumsi menjadi barang tren. Selain fungsional, sebuah produk haruslah berwarna, bergaya, cantik, dan estetik. Dengan menanamkan pola pikir ini ke dalam benak konsumen, mereka akan membali barang bukan karena barang yang lama usang, melainkan karena barang yang lama tak lagi modern dan trendi.
Gagasan Elmo ternyata berhasil. Seluruh industri di Amerika mulai memproduksi barang yang punya umur pakai. Tahun 1922 misalnya, Henry Ford mengatakan, “We want the man who buys one of our cars never to have to buy another.” Namun di tahun 1933, Ford mengubah prinsipnya. Sejak itu, model mobil buatan Ford berubah setiap tahun. Gagasan ini merevolusi pola produksi dan konsumsi tak hanya di Amerika, tetapi juga menyebar ke seluruh dunia.
Sementara itu, dari dunia timur, pola konsumsi serupa juga muncul terutama dari kaum aristokrat di India dan Timur Tengah. Jaman dulu, bangsawan dicirikan sebagai seseorang yang mempunyai banyak pembantu, budak, maupun selir pribadi. Namun setelah berlalunya masa kolonialisasi, perbudakan dihapuskan. Para bangsawan tidak bisa lagi secara legal memelihara manusia sebagai barang koleksinya. Akibatnya, mereka mencirikan diri mereka dengan atribut seperti pakaian, perhiasan, dan perabot yang lebih mewah nan eksotis. Festival-festival makin sering digelar sebagai ajang pamer kepada kaum proletar. Tak sedikit golongan rakyat biasa yang ikut-ikutan ingin menjadi seperti raja dan ratunya.
Kini, gaya hidup konsumsi mendapat pro dan kontranya masing-masing. Penganut paham konsumerisme menganggap konsumsi mendorong produksi. Hal itu tercermin dari meningkatnya GDP global sejak Perang Dunia dan runtuhnya Tembok Berlin. Pun, indeks kemiskinan ekstrim juga menurun tajam. Mereka yang berada di bawah garis kemiskinan jumlahnya berkurang. Sebaliknya, tak sedikit yang menggugat paham ini. Ongkos yang dibayar dari konsumerisme seringkali tak langsung namun berakibat fatal, seperti kerusakan lingkungan, menipisnya cadangan sumber daya alam, gangguan kesehatan, penyakit kejiwaan, hingga perceraian.
Saat ini, kita tak ubahnya sebuah truk dengan tonase tinggi yang ngebut di jalan yang sempit nan licin. Kalau kita makin meningkatkan konsumsi, bisa-bisa menabrak pohon di depan. Tapi kalau kita mengerem mendadak, bisa-bisa truk selip dan justru keluar dari jalurnya.
Solusi pertama, kita bisa mengurangi kecepatan secara perlahan dan menjalani hidup yang sederhana (simple living). Di Jogja, ada seorang ibu penjual gudeg yang hanya memulai jualan setelah pukul 9 malam. Ia berhenti berjualan ketika dagangannya habis. Ketika ditanya mengapa tidak menambah tenaga kerja atau membuka cabang lain, jawabnya sederhana: dengan begini saja sudah cukup. Ibu itu benar. Ia tidak ingin warung gudegnya menjadi sebesar RM Ayam Suharti. Ia tidak ingin menjadi pengusaha sebesar Martha Tilaar. Toh dengan warung begini, ia bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi. Kalau ia memperbesar kapasitasnya, ia kuatir tak bisa lagi mengikuti pengajian rutin di kampungnya. Kalau ia menambah jam buka, bisa jadi waktunya bersama keluarga berkurang. Simple living.
Solusi kedua, kita bisa berbagi sumberdaya dengan truk lain sehingga muatan kita tak terlalu berat (sharing economy). Adapun contoh klasik dari sharing economy adalah AirBnB. AirBnB membuat kapasitas kamar dan ruangan yang tersisa menjadi terpakai (efisiensi). Namun yang lebih utama, AirBnB mendorong pertumbuhan kota-kota lama yang mungkin sebelumnya tak terjamah. Dulu, dengan tarif hotel yang mahal, kita hanya bisa menghabiskan satu malam di Jogja. Kini, dengan uang tersisa, kita bisa menambah satu malam lagi di Magelang atau Ambarawa, satu malam lagi di Ungaran, sebelum besoknya kembali ke Jakarta. Sharing economy membantu memberikan efek pemerataan (spill over) ke kota-kota sekitarnya. Sharing economy membantu mendistribusikan sumberdaya sehingga terjadi efisiensi yang lebih baik lagi.
*) Tulisan ini dimuat di Harian Kontan, Rabu, 10 Februari 2016, halaman 23 (pdf).