Optimalisasi dan Kesenjangan Ekonomi
Ada seorang ekonom muda dari Perancis yang tak terlalu terdengar namanya sebelumnya. Ia menulis buku tentang kesenjangan ekonomi setebal 700 halaman–lengkap dengan sejarah, referensi literatur, dan data yang sangat padat. Menariknya, buku yang sangat serius tersebut malah menjadi bestseller di mana-mana, bersaing dengan Fifty Shades of Grey.
Ekonom tersebut bukanlah Joseph Stiglitz, Paul Krugman, ataupun Robert Solow. Ekonom tersebut “hanyalah” seorang Thomas Piketty. Buku yang ditulisnya berjudul Capital in the Twenty-First Century. Argumen utama dari buku itu juga sangat sederhana: modal yang diinvestasikan dalam pasar saham dan real estate akan bertumbuh lebih cepat daripada pendapatan.
Walau demikian, argumen yang terlihat sederhana tersebut implikasinya panjang. Kemakmuran akan bertumbuh lebih cepat daripada ekspansi yang terjadi dalam sistem perekonomian. Mereka yang “kapitalis” akan cepat melipatgandakan kekayaan mereka, sedangkan mereka yang berpenghasilan rendah dan “tidak kapitalis” menjadi kelompok yang paling dirugikan. Tak pelak, kesenjangan ekonomi (inequality) menjadi makin lebar.
Menggunakan bahasa yang lebih gamblang, setidaknya ada dua hal yang bisa ditarik lebih dalam lagi. Pertama: Anda tidak akan pernah kaya kalau hanya mengandalkan uang hasil pendapatan atau pekerjaan semata. Kedua: Untuk mempunyai modal yang bisa diinvestasikan, Anda harus punya uang terlebih dahulu. Kedua hal tersebut adalah “hukum alam” yang mutlak berlaku dalam dunia kapitalis kita sekarang ini.
Dalam konteks suatu negara, kesenjangan ini dapat diatasi dengan mekanisme redistribusi. Misalnya, pajak tinggi dikenakan kepada orang-orang kaya, sementara subsidi dan insentif diberikan kepada orang-orang yang kurang mampu. Solusi lainnya dapat juga dilakukan dengan meningkatkan pendidikan dan pelatihan agar orang-orang yang kurang mampu bisa menjadi lebih produktif hingga terangkat derajatnya. Ya kira-kira kurang lebih seperti itulah.
Tapi dalam konteks individu atau rumah tangga, terlihat jelas bahwa sebenarnya yang perlu dilakukan untuk bisa hidup sejahtera adalah spending much less than you earn, then invest it. Kuncinya adalah fokus pada happiness, bukan pada image dan convenience. Mengendarai mobil memang keren dan nyaman, tapi sesekali naik angkutan umum juga tidak berdosa. Makan di restoran mewah lalu diunggah di media sosial mungkin terlihat cool, tapi memasak di rumah juga menyenangkan.
Maka celakalah kalau kita tidak punya modal (investasi) sementara penghasilan (income) dari pekerjaan pas-pasan. Dan makin celaka lagi kalau dalam kondisi begitu, kita masih saja mementingkan image dan convenience, bukannya hidup frugal dan bekerja keras. Dan makin tambah celaka lagi kalau yang kita lakukan cuma sibuk hura-hura dan update status di media sosial.
Pada akhirnya, semakin sedikit biaya yang diperlukan untuk me-maintain standar hidup kita, maka semakin lama pula kita bisa bertahan hidup tanpa membutuhkan income tambahan. Ini bukanlah anjuran untuk hidup miskin. Sebaliknya, ini adalah tentang optimalisasi. Once you find what works, you can remove everything else.
Appreciate the little things around us. Learn to mock convenience. Practice optimalism.