A Man’s Advice to His 20-Year Old Self

[Disclaimer: Tulisan ini agak berbeda daripada tulisan biasanya berdasar request dari salah satu pembaca.]

Usia 20an memang periode yang cukup krusial dalam hidup. Kamu akan mengalami transisi yang begitu beragam, mulai dari kuliah, lulus kuliah, terjun ke dunia nyata, menghadapi banyak masalah—where your life is a brand new place.

I’m writing this because I found it to be much harder than I expected. Everyone I’ve talked to about the transition agrees. Yet, nobody talks about this transition much, so I thought I’d write a little something about it. This is the advice that I wish someone had given me when I was 20. Continue reading

Enam Tahun Penantian

Ang Lee

Dibandingkan Steven Spielberg, mungkin Ang Lee belum ada apa-apanya. Di malam penganugerahan Academy Award beberapa waktu lalu, Life of Pi “hanya” memperoleh 11 nominasi Oscar. Jumlah ini masih di bawah Lincoln karya Steven Spielberg yang memperoleh 12 nominasi. Tapi ada cerita menarik dibalik perjuangan dan kesuksesan Ang Lee.

Ang Lee mendaftar jurusan perfilman di University of Illinois pada tahun 1978. Ayahnya keberatan dengan pilihan anaknya karena di Broadway hanya tersedia 200 peran untuk 50.000 pekerja seni. Ayahnya makin skeptis karena di masa itu sangat jarang seorang berkebangsaan China bisa menembus industri film Hollywood. Walau begitu, Lee nekat terbang ke Amerika mengejar mimpinya. Keputusan ini harus dibayar mahal dengan memburuknya hubungan Lee dengan ayahnya selama dua puluh tahun berikutnya. Continue reading

Evolusi Filosofi

Atas permintaan beberapa penggemar (duh!) di Twitter, saya ingin bercerita sedikit soal filosofi investasi saya. Saya sudah memulai investasi reksadana sejak masih kuliah, dengan modal dana dan pengetahuan ala kadarnya. Dulu saya adalah pendukung investasi reksadana karena relatif mudah bagi pemula. Reksadana juga bagus sebagai batu loncatan sebelum mencoba instrumen investasi lain yang lebih canggih. Di tahun 2008 saya bahkan menulis buku tentang investasi di instrumen ini.

Tapi dalam perjalanannya saya menemukan kelemahan dari reksadana, yaitu “hidden” fee. Fee yang dimaksud bukanlah fee beli/jual (subscription/redemption), melainkan management fee reksadana tersebut. Saya menemui sejumlah reksadana tidak terlalu transparan dalam memaparkan fee pengelolaan reksadana mereka. Mereka juga tidak menyebutkan secara jelas komposisi fee pengelolaan (oleh manajer investasi) dan fee marketing (yang di-share ke agen penjual/bank). Biarpun persentasenya tak seberapa, fee ini cukup mempengaruhi net return yang diperoleh investor.

Sebetulnya ada alternatif lain, yaitu reksadana indeks. Mereka dikelola secara pasif, dengan mengacu pada benchmark (biasanya IHSG atau LQ45), sehingga risiko kesalahan (tracking error) lebih kecil dan biaya pengelolaannya lebih murah daripada reksadana saham. Masalahnya, pada saat itu reksadana indeks belum ada. Seingat saya, cuma ada satu reksadana indeks yang mengacu pada Jakarta Islamic Index—tapi tidak saya pilih karena mereka tidak berinvestasi pada sektor yang cukup bagus: bank dan rokok. Continue reading

Ikut-ikutan Bodoh

Beberapa kasus yang terjadi belakangan di Indonesia memang sering menimbulkan banyak tanya. Kenapa sih orang-orang “baik” yang terjun ke politik kemudian malah jadi terjerumus dan ikut-ikutan jadi preman? Yang semula aktivis penggiat reformasi, malah berbalik jadi aktor terdepan melakukan korupsi. Yang semula menyerukan nilai-nilai agama, malah melakukan politik praktis yang tidak beretika. Fenomena itu mungkin bisa dijelaskan dengan dua penjelasan berikut: ringelmann effect dan tragedy of the commons. Apakah itu?

Logikanya, ketika kita bekerja bersama-sama dengan orang lain, kita cenderung akan bekerja lebih serius dan target akan lebih mudah dicapai. Banyak tangan lebih baik daripada hanya dua tangan kita sendiri. Alhasil, pekerjaan yang dilakukan secara bergotong royong akan lebih mudah daripada bila dilakukan sendirian. Tapi apakah benar begitu?

Kenyataannya, ketika Anda berada dalam suatu grup atau kelompok, Anda justru bekerja tidak lebih baik daripada ketika Anda bekerja sendirian. Tipuan psikologis ini disebabkan karena Anda merasa bahwa hasil pekerjaan Anda akan digabung dan diakumulasikan dengan pekerjaan orang lain. Otomatis, Anda merasa tidak perlu lagi bersusah payah. Toh hasilnya nanti akan jadi hasil kolektif grup atau kelompok. Continue reading

Hidup dalam Fantasi

Beberapa waktu belakangan, kita dibombardir dengan sejumlah produk baru seperti Nokia Lumia, Microsoft Surface, hingga iPhone 5. Berlomba-lomba mereka mengisi papan-papan iklan di seluruh penjuru kota demi menarik perhatian kita. Entah bagaimana para produsen itu mengemasnya, tapi sungguh, apa yang mereka iklankan membuat kita benar-benar terbius dalam fantasi yang begitu indah.

Ambil contoh iPhone 5 terbaru. Produk ini membuat kita berfantasi seakan-akan ia bisa membuat hidup kita lebih baik, membuat kita terlihat lebih keren, dan anti-mainstream. Bentuknya begitu tipis dan seksi. Warnanya, hitam atau putih, keduanya sama-sama terlihat sangat elegan. Layar touchscreen lebih lebar, kameranya juga lebih baik, ditambah lagi dengan personal assistant yang cerdas. Siapa yang tak tergoda?

Tapi mari kita coba mundur sejenak beberapa tahun ke belakang. Hidup sebelum ada iPhone 5 (atau bahkan sebelum ada ponsel) sebenarnya tidaklah terlalu buruk. Kita masih bisa survive tanpa harus setiap detik melihat update status Facebook dan timeline Twitter. Kita tak pernah mengecek email sampai nanti tiba di kantor. Kita mungkin tak bisa mencari restoran mana yang terdekat dengan posisi kita, tapi toh kita masih bisa makan. Life was good.

Apakah benar produk-produk itu akan membuat fantasi kita menjadi nyata? Lima tahun lalu iPhone belum ada. Dan hidup kita baik-baik saja. Sepuluh tahun lalu ponsel masih jadi barang langka. Dan hidup kita juga baik-baik saja. Mengapa sekarang situasinya (seolah-olah) terlihat berbeda? Continue reading