Paradoks Kebahagiaan

Dulu saya berpikiran bahwa ketika kelak saya mempunyai uang, maka hidup saya akan lebih bahagia. Sewaktu belum punya kendaraan, saya beranggapan bahwa setelah nanti punya motor/mobil sendiri, saya akan lebih happy. Saya juga dulu sering berangan-angan bisa travelling ke luar negeri karena hal itu mungkin akan membuat saya senang dan bangga.

Tapi setelah membaca buku Passion and Purpose: Stories from the Best and Brightest Young Business Leaders, saya seperti disadarkan bahwa rahasia bahagia itu tidak terletak pada diri saya sendiri, melainkan pada kebahagiaan kita bersama.

Happiness comes from the intersection of what you love, what you’re good at, and what the world needs. We’ve been told time and again to keep finding the first. Our schools helped developed the second. It’s time we put more thought on the third. Putting problems at the center of our decision-making changes everything. It’s not about the self anymore. It’s about what you can do and how you can be a valuable contributor.

Bahagia itu didapat ketika kita memindahkan pusat dari “to the end of yourself” menuju “to the greater good.” Continue reading

Average vs. Extraordinary

No one will ever need more than 640KB of RAM.
–Bill Gates

Cobalah Anda kunjungi Taman Kanak-kanak (TK) terdekat di sekitar Anda. Masuklah ke salah satu kelas dan tanyai mereka, “Anak-anak, siapa di antara kalian yang bisa bernyanyi?” Niscaya semua anak mengangkat tangannya dengan penuh semangat. Sepuluh tahun kemudian, setelah mereka masuk ke SMU, cobalah ajukan pertanyaan yang sama. Berani jamin, tak lebih dari hitungan jari yang mengacungkan tangannya. Apa yang berbeda? Anak-anak di TK percaya mereka bisa bernyanyi because no one had told them otherwise.

Lord Kelvin, ilmuwan Inggris yang juga presiden British Royal Society, pernah berujar, “Heavier-than-air flying machines are impossible.” Astronom dan ahli matematika Simon Newcomb juga berkata serupa, “Flight by machines heavier than air is unpractical and insignificant, if not utterly impossible.” Dan bahkan Thomas Alva Edison juga berkomentar, “It is apparent to me that the possibilities of the aeroplane, which two or three years ago were thought to hold the solution to the [flying machine] problem, have been exhausted, and that we must turn elsewhere.

Orang-orang pintar tersebut mengatakan bahwa tidak mungkin ada benda (pesawat) yang bisa melayang dan diterbangkan manusia. Tapi, kendati seluruh dunia memandang Orville Wright dan Wibur Wright tidak waras karena dianggap menentang hukum fisika (gravitasi), pada akhirnya mereka berdua berhasil membuktikan keyakinan mereka. Walaupun cibiran itu datang dari orang “besar” seperti Edison, Newcomb, dan Kelvin, bukan berarti Wright bersaudara menjadi gentar. Justru sebaliknya, cibiran itu membuat Wright bersaudara makin bersemangat untuk membuktikan keyakinan mereka. Continue reading

Matematika Kota Jakarta

Mari kita bermain hitung-hitungan angka. Andai kita sekarang punya monorel dengan rute Lebak Bulus-Jakarta Kota. Bila ditarik garis lurus menyusuri Fatmawati, Blok-M, Sudirman, Thamrin, Harmoni, Hayam Wuruk, maka total jarak tempuhnya sekitar 20 km. Seandainya monorel kita berjalan dengan kecepatan rata-rata 40 km/jam, maka Lebak Bulus-Jakarta Kota bisa ditempuh dalam waktu 30 menit saja.

Memang benar. Realitanya tentu tidak seindah itu. Kalau kita pakai kendaraan sendiri, waktu tempuhnya bisa jadi 3 jam. Jarak tempuh juga lebih jauh karena kita mungkin harus lewat jalan tikus untuk menghindari macet atau kita harus memutari Sudirman-Thamrin untuk mengelak dari 3-in-1. Alhasil jarak yang ditempuh mungkin bisa membengkak jadi 30 km.

Jumlah penduduk Jakarta Selatan sekitar 1,8 juta (2010). Apabila ditambah dengan penduduk daerah Ciputat, Pondok Cabe, Pamulang, dan sekitarnya, anggap saja 2,5 juta. Misalkan 5% saja dari angka tersebut adalah orang kantoran atau anak sekolah/kuliah yang tempat kerja atau sekolah/kuliahnya di daerah utara. Maka, bisa diasumsikan ada 125 ribu orang yang setiap paginya memanfaatkan rute Lebak Bulus-Jakarta Kota. Continue reading

Balada Bangsa Pemalas

Kebanyakan mahasiswa saya pemalas. Mereka malas datang ke kelas tepat waktu. Mereka malas membaca buku dan materi yang diberikan. Mereka malas mengerjakan PR dan tugas. Mereka juga malas bertanya dan berpartisipasi di dalam kelas.

Bekerja keras itu berisiko tinggi. Kalau Anda sudah berusaha keras dan gagal, Anda tidak mendapatkan reward dan self-protection atas usaha yang sudah Anda keluarkan. Misalkan Anda tidak belajar dengan sungguh-sungguh dan memperoleh nilai C dalam ujian, maka itu bukanlah persoalan besar—Anda cuma kurang berusaha dengan keras. Tapi semisal Anda sudah belajar dengan serius tapi tetap memperoleh nilai C, maka Anda akan merasa bahwa mungkin Anda memang benar-benar bodoh.

Dengan kata lain, kalau Anda berusaha keras dan gagal, ada ketakutan yang muncul bahwa Anda mungkin memang tidak berbakat atau tidak ditakdirkan untuk sukses di bidang tersebut. Sebaliknya, kalau Anda tidak berusaha keras dan gagal, Anda bisa menghibur diri Anda sendiri dengan ilusi bahwa seandainya Anda berusaha 100%, pasti Anda akan berhasil. Kalau Anda belum berusaha dengan keras dan gagal, Anda bisa bilang, “I could have gotten an A if only I had tried. But I didn’t. I’m as good as that guy/girl.Continue reading

Mari Berhenti Berinovasi

Marilah kita berhenti sejenak mengagung-agungkan jargon “inovasi.” Leonardo Da Vinci, Henry Ford, Albert Einstein, atau Thomas Alva Edison adalah segelintir tokoh yang bisa dibilang inovator di bidangnya masing-masing. Namun, mereka sendiri sangat jarang menyebut kata tersebut. Kajian literatur yang dilakukan oleh Berkun (2008) dari memoar, biografi, maupun catatan hidup dari tokoh-tokoh tadi malah menunjukkan banyak kosakata seperti “problem,” “experiment,” “solve,” “exploration,” “change,” “risk,” dan “prototype.” Jadi buat apa kita menyebut kata “inovasi” secara berlebihan?

Maka tak heran bila inovasi akhirnya hanya menjadi sesuatu yang dilebih-lebihkan (overrated). Akademisi, praktisi industri, bahkan pemerintah tak jarang memaknai inovasi secara salah kaprah. Inovasi yang memiliki makna sakral akhirnya hanya menjadi jargon (buzz word) yang lemah kesaktiannya. Memang benar, kita mungkin telah merasa mengadopsi slogan dan sikap mental (attitude) inovasi namun tidak benar-benar memaknai kedalamannya. Memang benar, kita fasih menguasai literatur terkini tentang inovasi, tapi kita tidak pernah menyelami infrastruktur di balik paradigma tersebut.

Sikap yang boleh dibilang arogan ini bisa membuat kita semua terjebak (stuck) pada jejak langkah (trajectory) yang salah. Celakanya, sekali kita memilih langkah yang salah, kita akan terus tersesat dalam labirin yang kian menjauhkan kita dari pintu keluar. Continue reading