Menjadi Seorang Superstar

Bagaimana cara menjadi seorang superstar? Malcolm Gladwell punya jawabannya: berlatih 10.000 jam. Seseorang tidak mungkin menguasai suatu hal kecuali ia telah berlatih selama 10.000 jam—atau setara dengan 20 jam per minggu selama 10 tahun berturut-turut. Konsep ini sebenarnya pernah diperkenalkan di jurnal ilmiah di awal tahun 1970an, dan dipopulerkan kembali oleh Gladwell di bukunya, Outliers, yang dipublikasikan di tahun 2008.

Senada dengan Gladwell, Anders Ericsson, professor psikologi dari Florida State University juga mengatakan bahwa seorang master sekelas Bobby Fisher sekalipun membutuhkan persiapan dan latihan selama sembilan tahun. Akan tetapi 10.000 jam saja tidak cukup. Untuk menjadi seorang superstar, Anda harus menghabiskan 10.000 jam dan mendedikasikannya untuk melakukan latihan yang tepat (deliberate practice).

Kita ambil contoh konkritnya. Tiger Woods sudah bermain golf sejak ia berusia 2 tahun. Mariah Carey sudah menyanyi sejak umur 3 tahun. Michael Jordan bermain basket sejak ia masih kanak-kanak. Warren Buffett sudah berinvestasi sejak ia berusia 13 tahun. Walt Disney sudah menjual sketsa animasinya ketika ia berusia 7 tahun. Kalau Anda lihat orang-orang besar, Anda akan memahami bahwa mereka setidaknya butuh 10 tahun untuk menjadi expert di bidang mereka masing-masing. Continue reading

Ketergantungan Akut

Ada sebuah usaha kecil yang memproduksi makanan dalam kemasan dengan harga yang terjangkau namun kualitasnya sangat baik. Usaha tersebut hanya dijalankan oleh seorang pengusaha dibantu beberapa orang karyawan di bawahnya. Usahanya terbilang sukses, berjalan dengan baik, dan tentu saja menguntungkan.

Suatu saat, sebuah jaringan hypermarket besar menawarkan kerjasama dengan pengusaha tersebut. Ia diminta untuk memproduksi makanan dalam kemasan yang serupa, namun dengan label eksklusif milik jaringan hypermarket tersebut. Untuk memenuhi pesanan tersebut, tentu saja ia harus memperluas pabrik kecil miliknya. Ia juga menambah beberapa karyawan baru untuk memenuhi target pesanan.

Sayangnya, pengusaha tersebut telanjur terlena. Selain memperbesar pabriknya, ia juga ikut memperbesar rumahnya. Ia mengganti sepeda motornya dengan mengambil kredit mobil baru. Ia juga mengisi rumahnya dengan barang-barang mewah. Sedikit demi sedikit, gaya hidupnya ikut-ikutan berubah. Barangkali ia merasa “pantas” karena toh ia sudah berhasil mendapatkan klien besar dengan pesanan yang massal. Continue reading

Membatasi Pilihan Sendiri

Ada sebuah buku menarik berjudul The Paradox of Choice karya Barry Schwartz. Buku itu menjelaskan bahwa kita merasa diri kita akan lebih happy ketika kita punya banyak pilihan dalam hidup kita. Tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Kita mungkin bisa mengambil keputusan terbaik karena punya banyak opsi dalam hidup kita, namun sebaliknya, yang terjadi justru hal itu malah membuat kita merasa kurang baik dan tertekan.

Hal ini berlawanan dengan anggapan umum yang kita terima selama ini. Dulu kita berasumsi bahwa pilihan yang terbatas membuat hidup kita susah dan pilihan yang lebih banyak akan membuat kita senang. Tapi nyatanya yang terjadi justru berkebalikan. Makin banyak pilihan yang kita miliki, kita akan cenderung merasa tidak bahagia karena kita merasa bahwa “mungkin” ada pilihan lain yang lebih baik atau lebih menyenangkan hati kita. Inilah yang membuat perasaan kita tidak tenang.

Di dua chapter terakhir, Barry Schwartz menawarkan solusi atas persoalan ini. Yang perlu kita lakukan adalah kita harus secara sengaja membatasi pilihan-pilihan dalam hidup kita. We have to intentionally restrict our selves and live within a certain set of limitations. Sometimes you feel like you’re missing this option and that option and that option over there. But actually, it’s better not to have too many options. Continue reading

Menunda Kesenangan Sesaat

Di semester awal kuliah saya dulu, salah seorang dosen saya pernah berujar, “Mereka yang sukses adalah mereka yang bisa menunda kesenangan sesaat.” Sebagai bocah yang baru lulus SMA dan mencoba memahami dunia perkuliahan, kata-kata itu agak sulit untuk saya pahami waktu itu. Yang bisa saya lakukan cuma mencatat dan membacanya sambil berusaha menemukan maksud kata-kata tersebut.

Namun, seiring berjalannya waktu, barulah saya sadar bahwa sesungguhnya good things come to those who wait. Ini sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran. Makin sedikit yang tersedia, makin besar pula usaha kita untuk mendapatkannya, dan ketika kita mendapatkannya, kepuasan yang kita peroleh juga akan makin tinggi pula. The rarer something is, and the more we hold off on getting what we want, the greater the pleasure and pay-off when we finally do.

Ambil contoh sebuah bisnis. Mereka yang mendapatkan bagian paling duluan adalah pegawai borongan yang harus dibayar secara harian. Setelah pegawai borongan, yang mendapat bagian adalah karyawan tetap dalam bentuk gaji akhir bulan. Selain pegawai atau karyawan, supplier adalah mereka yang dibayar duluan karena barang-barang yang dibeli harus segera dilunasi. Nah, kalau masih ada uang tersisa, barulah uang itu jadi bagian si pemilik bisnis. Continue reading

Berjudi ala Jack Dorsey

Twitter's First Sketch

Jack Dorsey pada awalnya terobsesi pada bagaimana manusia bergerak, berinteraksi, dan berkomunikasi satu sama lain. Untuk itu, ia belajar pemrograman komputer, membuat peta dengan titik-titik (dot) di dalamnya, dan memanfaatkan sistem logistik milik kota Manhattan guna melacak pergerakan sepeda, taksi, polisi, pemadam kebakaran, dan kurir pengantar barang. Itu terjadi di awal tahun 1990an.

Dorsey kemudian masuk ke New York University dan akhirnya mendapatkan pekerjaan sebagai seorang programmer di sebuah perusahaan pengiriman barang. Ia belajar banyak dari pengalaman bekerjanya itu. Ia juga sadar bahwa seharusnya ia berfokus pada pengiriman pesan format pendek saja. Inilah yang menjadi landasan awal mula lahirnya Twitter.

Tahun 2000, Dorsey pindah ke San Francisco. Masih mengusung ide yang sama, ia mendirikan perusahaan pengiriman taksi dan jasa emergency berbasis web. Sayangnya, ia tidak tahu banyak soal start-up (dan venture capital). Ia juga berada pada waktu (timming) yang salah, yakni ketika kejatuhan era dotcom dimulai. Akibatnya, bisa dibilang usahanya itu gagal total.

Tapi hal itu tidak membuat dirinya patah semangat. Continue reading