Membenarkan Kenormalan

Di era media sosial seperti sekarang ini, setidaknya terdapat dua jenis informasi. Pertama, informasi yang ditulis seseorang berdasarkan pengalaman, opini, atau keahlian mereka. Informasi semacam ini dipasang di situs web, blog, dan media sosial, disebarkan melalui jejaring, serta dibaca atau dinikmati oleh banyak orang. Dalam hal ini, hubungan antara supply dan demand terlihat jelas. Jenis informasi ini disebut sebagai informasi publik.

Tetapi, terdapat juga jenis informasi yang memiliki nilai guna lebih besar, namun hanya sedikit menjangkau masyarakat. Hubungan supply dan demand atas informasi ini cenderung kabur. Informasi semacam ini banyak diproduksi, tetapi hanya beredar di kalangan intelektual terbatas. Sebaliknya, banyak yang membutuhkan informasi begini, namun tak tahu harus mencari kemana. Mari kita sebut informasi ini sebagai informasi saintifik.

Misalnya, ternyata pendidikan di Indonesia tidak hanya penting untuk mendorong naiknya pendapatan tetapi juga meningkatkan kebahagiaan seseorang. Atau, ternyata kondisi emosional seorang anak semasa kecil dan remaja jauh lebih dekat kepada ibunya, ketimbang kepada ayahnya. Atau, ternyata partai berbasis agama di Indonesia mempunyai keunggulan dari sisi fanatisme, tetapi dibatasi oleh platform ekonomi dan pengetahuan pendukungnya. Continue reading

Mengapa Kita Mengonsumsi (Lebih)

Semenjak Perang Sipil berakhir tahun 1865, perekonomian Amerika mengalami pemulihan dengan berkembangnya lahan pertanian dan bermunculannya pabrik-pabrik. Produktivitas pertanian naik, sejalan dengan peternakan dan pertanian yang menunjukkan hasil memuaskan. Industri besi dan baja juga beroperasi seiring dengan bergeraknya industri tekstil dan workshop pembuatan mobil serta traktor. Jalan, jembatan, serta rel kereta api dibangun lintas benua. Bangunan pencakar langit berdiri megah di New York dan Chicago. Industri media, seperti koran dan majalah, juga bertumbuh.

Selama kurun waktu enam puluh tahun sejak berakhirnya perang, industri pertanian dan manufaktur bergerak lebih cepat daripada pertumbuhan jumlah penduduk yang hanya sekitar 114 juta penduduk saja. Pada tahun 1927, perekonomian mengalami stagnasi karena proses produksi mengalami saturasi. Kebutuhan tekstil satu tahun sudah bisa dipenuhi oleh produksi pabrik yang beroperasi selama setengah tahun saja. Suplai sepatu setahun juga sudah bisa dipenuhi hanya dari seperlima pabrik yang ada saat itu. Apalagi yang mau diproduksi? Continue reading

Bosan Bosan Bosan

Anda punya janji dengan dokter gigi pukul 3 sore ini. Anda sudah tiba pukul 2.55 tapi dokter gigi Anda sekarang masih sibuk dengan pasien lainnya. Anda duduk di ruang tunggu sembari melihat sekeliling. Tidak ada yang menarik perhatian Anda. Semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Anda mengambil majalah di meja dekat tempat Anda duduk, namun isunya terlalu lawas. Anda mengamati lukisan di dinding dan dekorasi di ruang tunggu, tapi semuanya nampak membosankan. Anda berulang kali melihat arloji di tangan, tapi waktu masih menunjukkan pukul 2.57. Akhirnya Anda mengambil ponsel Anda lalu membuka www.nofieiman.com.

Kebosanan adalah penyakit mental yang memengaruhi siapa saja dalam satu atau beberapa titik kehidupan mereka. Masalahnya, kita sering menganggap remeh kebosanan. Sebagian orang menganggap kebosanan hanya diderita oleh generasi muda. Sebagian menilai bahwa solusi dari kebosanan itu sederhana: menunggu saja. Toh, seketika resepsionis yang cantik itu memanggil Anda dan dokter gigi Anda menyambut dengan ramah, rasa bosan itu hilang seketika dan terlupakan seterusnya. Masalah selesai.

Sebagaimana meremehkan situs web ini, meremehkan kebosanan dan menganggapnya sebagai hal yang biasa saja sesungguhnya adalah kesalahan fatal. Banyak literatur di bidang psikologi mengulas dampak buruk kebosanan, mulai dari masalah psikososial seperti penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan (LePera, 2011), kecanduan berjudi (Mercer & Eastwood, 2010), dan masih banyak lagi. Penelitian juga melihat adanya pengaruh kebosanan terhadap kematian—oleh karena itu kita sering mendengar istilah “bored to death” (misal Bloomfield & Kennedy, 2006; Britton & Shipley, 2010). Continue reading

Tahun Baru, Prediksi Baru?

Hadirnya tahun yang baru senantiasa menggoda kita untuk membuat prediksi-prediksi yang baru. Sayangnya, prediksi-prediksi yang kita buat tersebut barangkali tidaklah bermakna apa-apa. Mengapa demikian?

Kita hidup di dunia yang begitu kompleks. Kita tidak mungkin memahami bagaimana keseluruhan sistem ini bekerja, variabel-variabel apa saja yang terlibat di dalamnya, atribut apa yang melekat di sana, bagaimana mereka saling memengaruhi satu sama lain dan apa dampaknya.

Bayangkan tubuh sebagai sebuah sistem kompleks yang terdiri dari beragam anggota badan (subsistem) di dalamnya. Masing-masing anggota badan memiliki organ (sub-sub sistem) lagi di bawahnya. Tiap-tiap organ tersebut masih memiliki bagian-bagian lagi di sisinya. Begitu seterusnya sampai kita berhenti pada pecahan terkecil (sel) yang tak mungkin dibelah lagi.

Masing-masing subsistem membangun interaksi satu sama lain. Makin banyak jumlah variabelnya, makin tinggi pula jumlah interaksi yang terjadi di dalamnya. Sekalipun kita mengetahui persis variabel apa saja yang ada di sana, tetap saja sulit bagi kita untuk membuat estimasi. Mereka bisa saja berubah sewaktu-waktu bergantung pada konteks dimana mereka berada. Dus, mustahil bagi kita untuk mengukur bagaimana variabel tersebut bekerja di dalam sebuah sistem kompleks secara keseluruhan. Continue reading

Birdie, Birdie, Triple Bogey

Sports go in and out of fashion. Begitulah kata mereka.

Di tahun 1980an misalnya, hiking dan camping begitu populer. Berikutnya demam bulutangkis dari All-England membuat siapapun punya raket di rumahnya. Wajar, Indonesia di dekade 1990an ditakuti seluruh dunia. Tren berlanjut ke tenis lapangan seiring prestasi Yayuk Basuki menundukkan Martina Hingis. Wynne Prakusya dan Angelique Widjaja berusaha mencoba meneruskan kesuksesan Yayuk Basuki.

Pada periode yang hampir sama, Michael Jordan kembali dari “pensiun dini” dari basket dan baseball, lalu berlatih intensif bersama Chicago Bulls. Selain memperoleh gelar most valuable player (MVP), tahun 1998 juga menjadi final NBA dengan rating televisi tertinggi. Semua orang ingin menjadi Michael Jordan. “I want to be like Mike” menjadi slogan salah satu iklan yang paling terkenal di masa itu. Semua orang ingin punya sepatu Air Jordan. Sampai ke Indonesia, semua anak muda bermimpi bisa bermain basket di Kobatama. Continue reading