Media Sosial Pembawa Sengsara?

Tak bisa dipungkiri, media sosial adalah teknologi yang mampu mengakumulasi beragam informasi yang pernah ada sepanjang sejarah umat manusia dalam format yang begitu ringkas dan sederhana. Media sosial membuat kita bisa mengakses informasi tentang kehidupan dan masalah orang lain hingga membuat kita seolah ikut merasakan langsung pengalaman itu. Siapapun orang itu—kerabat, teman kerja, selebritis, politisi, hingga presiden—they’re just one click away.

Akibatnya, konsep “life streaming” dianggap sebagai sesuatu yang lumrah. Kegiatan memonitor aktivitas orang lain menjadi hal yang wajar. Kita mengikuti aktivitas orang itu lewat Facebook, Twitter, Path, Instagram, dan sebagainya. Monitoring of oneself and others thus becomes an expected normative part of this social interaction. Sampai-sampai, ketika seseorang yang kita “follow” di media sosial keluar dari pola aktivitas normalnya, kita bisa protes.

Kebiasaan “voyeurism” semacam ini sebenarnya bukan barang baru. Majalah dan tabloid gosip sudah beredar sejak puluhan tahun lalu. Acara-acara “reality show” di televisi juga sudah banyak menghiasi layar kaca. Begitu pula dengan tayangan infotainment yang makin banyak ragamnya. Ratingnya juga selalu tinggi. Kalau acara yang satu sudah mulai terlihat saturated, acara yang lain sudah siap menggantikan. Barangkali mengintip itu memang perbuatan yang menyenangkan. Continue reading

Bangsa Indon dan Bangsa Indonesia

Contoh Kelakuan Bangsa Indon

Ada dua jenis manusia yang menghuni bumi Indonesia ini, yaitu Bangsa Indonesia dan Bangsa Indon. Bangsa Indonesia adalah apa yang diceritakan di buku-buku sekolah: sebuah bangsa yang berbudi pekerti luhur, saling menghormati satu sama lain, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Bangsa Indonesia adalah manusia-manusia yang tumbuh dengan sikap mental yang positif dan akal pikiran yang cemerlang. Di dunia internasional, mereka adalah potret Bangsa Indonesia yang selalu disegani kawan dan ditakuti oleh setiap lawan.

Bangsa Indonesia juga memegang teguh akar budaya mereka. Mereka tidak pernah melupakan sejarah bangsa dan menghargai pengorbanan yang sudah dilakukan oleh para founding fathers yang mendahului mereka. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berketuhanan, tetapi tidak menjalankan agama secara radikal. Mereka menganggap perbedaan sebagai kekayaan, bukan sebagai persoalan. Pikiran mereka melangit, tetapi kerendahan hati membuat mereka senantiasa membumi. Continue reading

“Follow Your Passion” itu Berbahaya

Banyak pembicara/penulis/motivator yang mengusung jargon “follow your passion.” Anda ingin melanjutkan kuliah tapi bingung memilih jurusan? Follow your passion. Anda ingin berbisnis, tapi masih bingung menentukan bidang bisnis yang ingin digeluti? Follow your passion. Terlihat sederhana dan seolah bisa menyelesaikan masalah bukan? Tapi ada kalanya “follow your passion” itu justru bisa berbahaya. Mengapa begitu?

Pertama, tidak selalu passion kita marketable dan menghasilkan uang. Saya suka menulis, tapi silakan cek daftar orang terkaya di Indonesia. Silakan cek penulis buku-buku best-seller di Indonesia. Saya berani bertaruh bahwa main income mereka yang terbesar bukan dari royalti buku. Saya juga suka bermain golf, tapi populasi pemain golf di dunia hanya 1%. Di Indonesia, para pegolf muda berbakat saja kesulitan mendapatkan sponsorship, apalagi amatiran seperti saya.

Sebagian dari Anda mungkin sama seperti saya—punya passion yang kebetulan tidak seksi dan marketable. Pada awalnya mengikuti passion itu menyenangkan, tapi lama-lama terpaksa gugur juga karena tuntutan keadaan. Akibatnya, passion itu terpaksa harus dipinggirkan dan memilih jalan hidup yang konvensional. Hidup jadi membosankan dan tak punya banyak pilihan. Golf terpaksa ditinggalkan demi melamar jadi PNS. Obsesi menulis novel hanya sebatas mimpi karena terlalu lelah dengan pekerjaan. Continue reading

Ketercerabutan Media Sosial di Indonesia

Nampaknya memang ada yang salah dengan pengguna media sosial di Indonesia. Wajar, media sosial barangkali merupakan salah satu temuan terhebat manusia yang sekaligus juga salah satu yang sulit untuk dipahami. Tengok saja, teknologi yang sedemikian maju ternyata sering belum diimbangi dengan perilaku yang sejalan. Misalnya, mengantongi gadget terkini yang mahal, namun berdebat di dunia maya dengan bahasa seperti orang tak pernah kenal bangku sekolah. Contoh lain, seseorang yang dianggap menyalahi “pakem” dengan mudah akan mendapatkan cyber bully di media sosial. Atau, mereka yang “nyleneh” justru mendapatkan panggungnya di dunia maya dibandingkan mereka yang berprestasi.

Ketercerabutan (disembeddedness) ini disebabkan antara lain oleh, pertama, kegagalan dalam memilah antara identitas fisik dan identitas digital. Krisis identitas yang dihadapi manusia modern adalah bagaimana menyeimbangkan antara identitas digital dan identitas fisik/riil. Ketika setiap orang memiliki email dan tergabung dalam jejaring sosial, maka seorang pribadi dengan satu identitas fisik bisa memiliki beragam identitas digital (split personalities). Menariknya, identitas digital ini lahir sebelum kita lahir di dunia fisik dan masih akan tetap hidup di dunia maya kendati pemiliknya sudah meninggal di dunia nyata.

Peradaban manusia di dunia fisik cenderung memelihara perdamaian dan membatasi aspek-aspek negatif yang muncul satu sama lain. Peradaban manusia di dunia maya, sebaliknya, cenderung memungkinkan adanya pelarian dan pembangkangan atas kendali-kendali yang lazim dijumpai dalam dunia fisik. Masyarakat dunia maya sangat mudah terhubung satu sama lain dengan cara-cara yang baru dan terkadang acak (random closeness). Implikasinya, menjadi sangat mudah bagi seseorang untuk membangun weak ties melalui dunia maya, yang kemudian bisa ditingkatkan menjadi medium ties atau bahkan strong ties di dunia nyata. Continue reading

Masalah Besar Bangsa Indonesia

Setidaknya ada dua masalah besar yang didera bangsa ini. Pertama, kegagalan sistem meritokrasi. Dalam sistem berbasis merit, mereka yang berada di atas sejatinya adalah orang-orang yang terdidik, berprestasi, memiliki kapabilitas yang mumpuni, dengan segudang pengalaman yang memadai. Sistem ini memacu orang untuk berlomba-lomba mengasah diri, menghasilkan sesuatu, dan mengukir prestasi. Makin tinggi prestasinya makin tinggi pula reward yang ia peroleh. Begitu pula sebaliknya, makin rendah pencapaiannya, maka makin sedikit pula pilihan yang ia punya.

Akibat dari kegagalan sistem meritokrasi, orang cenderung mencari jalan potong (shortcut) dengan mengabaikan proses yang seharusnya dijalani terlebih dahulu. Buat apa repot melewati 1, 2, 3, dan seterusnya secara berurutan kalau ternyata bisa melompat langsung ke 100? Contoh sederhana absennya meritokrasi sering kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari yang paling sederhana seperti melanggar lampu lalu lintas, mencontek saat ujian, sampai menyogok demi mendapatkan posisi jabatan tertentu. Semua dilakukan demi mendapatkan apa yang diinginkan tetapi tanpa melalui proses panjang yang semestinya dilalui. Continue reading