Pereh, La Masia, dan Paradoks Kompetensi
Pereh adalah nama panggilan yang diberikan untuk kendaraan militer misterius milik Israel yang dikembangkan di awal 1980-an. Secara fisik, bentuknya tak beda jauh dengan tank pada umumnya, namun di bagian atasnya dilengkapi dengan peluncur rudal anti-tank jarak jauh. Pereh dikonversi dari tank tempur Magach 5 yang didesain mampu membawa total 12 rudal anti-tank Tamuz dengan jangkauan hingga 25 kilometer. Dengan menggunakan pemandu fiber-optic link, Tamuz memiliki akurasi yang sangat baik, bahkan pada jarak yang cukup jauh.
Pereh dikembangkan dari pengalaman Israel selama Perang Yom Kippur pada tahun 1973 akan pentingnya rudal taktis darat-ke-darat dengan pemandu presisi tinggi. Konon, versi awal Pereh menjadi salah satu kunci sukses kemenangan Israel dalam perang tersebut. Bayangkan, foto satelit udara memotret “tank” milik Israel yang di masa itu umumnya hanya memiliki jarak tembak hingga 4 kilometer saja. Tentara Mesir dan Suriah pun menyusun strategi militer berdasar informasi tersebut. Tak disangka, ternyata “tank” yang mereka antisipasi tadi ternyata memiliki jarak tembak hingga 6 kali lipatnya. Padahal kekuatan tank Suriah saja sebenarnya 7 kali lebih besar dari milik Israel.
Selama beberapa dekade, Pereh menjadi salah satu misteri terbesar di dunia militer. Apalagi, Pereh adalah kendaraan yang dibuat sendiri oleh produsen lokal bernama Rafael Advanced Defense Systems, bukan produk teknologi militer yang dibeli dari negara lain. Saking rahasianya, informasi tentang Pereh baru diungkapkan kepada publik pada tahun 2011. Foto-foto Pereh sendiri baru bocor di tahun 2013. Pada tahun 2017 Pereh ditarik dari tugas operasionalnya di lapangan dan tetap belum ditemukan informasi pasti tentang berapa banyak Pereh yang dibuat di masa itu.
Kedigdayaan Israel di dunia militer tak bisa dipisahkan dari peran pemerintah di masa itu. Sejak 1980-an, pemodal ventura (venture capital) sudah bermunculan di Israel, seperti Athena Venture Partners dan Veritas Venture Capital Management. Selanjutnya, pemerintah Israel meluncurkan kebijakan “Yozma” (yang dalam Bahasa Ibrani berarti inisiatif) yang memberikan insentif pajak bagi pemodal ventura asing untuk berinvestasi di sana dan dijanjikan pengembalian investasi dua kali lipat oleh pemerintah. Tak heran, puluhan produsen alutsista bermunculan dan, menurut laporan OECD, Israel menjadi pembelanja dana R&D terbesar di dunia berdasar persentase PDB.
Sementara itu, sekitar 3,600 km di sisi barat Israel terletak kota Barcelona yang kita tahu begitu masyhur dengan klub sepakbolanya. Pemain-pemain terbaik dunia, taktik yang inspiratif, dan filosofi permainan yang apik menjadi daya tarik yang tak terbantahkan. Selain menjadi klub kelas dunia dengan prestasi segudang, FC Barcelona juga menyumbang pemain-pemainnya untuk tim nasional Spanyol yang mendominasi sepakbola papan atas setidaknya selama sepuluh tahun terakhir ini. Sayangnya, FC Barcelona mulai mengalami penurunan — dikalahkan Liverpool FC di Liga Champions Eropa tahun lalu dan disalip Real Madrid CF di kompetisi domestik tahun ini adalah dua di antaranya.
FC Barcelona mempunyai La Masia yang menjadi “gold standard” dalam akademi sepakbola dunia. Berdiri pada 20 Oktober 1979, pada awalnya La Masia merupakan asrama bagi para pemain muda yang tinggal jauh dari kota Barcelona. Kapasitas awalanya hanya 12 pemain saja, namun kini mampu menampung lebih dari 80 pemain. Xavi Hernández, Sergio Busquets, Carles Puyol, Andrés Iniesta, Pedro, hingga Cesc Fàbregas adalah alumninya. Mereka berkontribusi pada kemenangan Spanyol di Piala Eropa 2008, Piala Dunia 2010, dan Piala Eropa 2012. Di era Pep Guardiola (2008-2012), yang juga jebolan La Masia dan FC Barcelona, FC Barcelona dikenal sebagai tim dengan karakter sepakbola menyerang yang atraktif dan penguasaan bola yang tinggi (tiki-taka).
Tapi setelah itu, alumni La Masia tak lagi mendapat tempat yang baik di tim utama. Mereka seperti kehilangan identitas, gaya permainan, sikap mental, dan keriangan dalam bermain yang sebenarnya sudah terbukti sukses sebelumnya. FC Barcelona saat ini justru didominasi oleh para pemain dan manajer yang tak lagi memahami “Barcelona Way”. Lihat saja, hanya ada dua pemain muda jebolan La Masia yang cukup sering dimainkan: Riqui Puig (20 tahun) dan Ansu Fatti (17 tahun). Selebihnya, FC Barcelona masih keukeuh mengandalkan pemain-pemain senior yang sudah berusia di atas 30 tahun: Lionel Messi, Luis Suárez, Gerard Piqué, Arturo Vidal, Ivan Rakiti?, Jordi Alba, hingga Sergio Busquets.
Fenomena ini didorong oleh setidaknya dua faktor utama. Pertama, perubahan orientasi sepakbola yang lebih menuntut hasil daripada proses. Guardiola dan Tito Vilanova mengenalkan konsep “foundation players,” yaitu mengambil beberapa pemain jadi untuk dipasangkan sementara dengan pemain muda. Setelah dua tahun, “foundation players” dilepas dan digantikan oleh pemain didikan sendiri. Sayangnya, di masa Luis Enrique dan Ernesto Valverde, “foundation players” diberi peran lebih. Orientasi berbasis hasil lebih ditonjolkan dan mengecilkan peran pemain dari La Masia. Ideologi yang ditanamkan Johan Cruyff untuk selalu menekankan “we must develop players” digeser menjadi “we must win.”
Faktor kedua adalah komersialisasi pemain yang kian gencar. Pemain muda yang jarang diberi kesempatan tak hanya akan kehilangan pengalaman dan jam terbang. Mereka juga akan kehilangan rasa memiliki dan loyalitas terhadap proyek agung La Masia. Akibatnya, pemain akan memilih hengkang demi uang daripada bertahan namun tak pernah dimainkan. Situasi ini menarik bagi para agen karena semakin banyak dan semakin mahal kontrak, komisi yang mereka peroleh juga akan semakin tinggi. Pada saat bersamaan, klub besar juga cenderung dengan senang hati membelanjakan uang banyak untuk membeli pemain muda. Lihat saja bagaimana Real Madrid CF menghabiskan €45 juta untuk mengambil Vinicius Júnior (18 tahun) dari Flamengo.
Dalam ilmu manajemen, konsep kompetensi inti (core competence) diperkenalkan oleh Coimbatore Krishnarao Prahalad dan Gary Hamel pada tahun 1990 untuk menggambarkan kemampuan organisasi dalam mengkombinasikan berbagai sumber daya dan kapabilitas yang membuatnya berbeda dari organisasi yang lain. Kompetensi inti memberikan akses organisasi ke pasar potensial, memberikan kontribusi pada keunggulan produk dan jasa yang dihasilkan, dan sulit untuk ditiru oleh organisasi lainnya. Sudah menjadi kewajiban bagi organisasi untuk mengidentifikasi, mengembangkan, dan mengeksploitasi kompetensi inti yang memungkinkannya terus bertumbuh.
Secara sederhana, Pereh dan La Masia adalah contoh konkrit dari kompetensi inti yang dimiliki Israel dan Barcelona. Pereh lahir ketika Israel terhimpit tekanan. Di satu sisi, mereka diancam pasukan Mesir, Suriah, Yordania, dan Libya, namun di sisi lain, hubungan Israel dengan Perancis dan Inggris juga sedang menurun. Amerika Serikat memperingatkan Israel agar tidak mengambil tindakan, namun tidak melawan berarti kepunahan bagi Israel. Sementara itu, FC Barcelona juga menghadapi dilema besar: mengikuti arus komersialisasi sepakbola yang kian cepat dan meninggalkan filosofinya atau mempertahankan keunikan khas milik mereka dan menanggung risiko minim prestasi di lapangan.
Akan tetapi, bagaimana mereka memperlakukan kompetensi inti yang dimilikinya membawa hasil yang sangat berbeda. Menghadapi tekanan besar, FC Barcelona nampaknya memilih mempertahankan prestasi jangka pendek dan mengorbankan pembinaan jangka panjang lewat La Masia. Selain diganggu oleh sejumlah skandal dan konflik internal, mereka juga terbelenggu dengan kesuksesan FC Barcelona di masa lalu. Keberhasilan mereka dalam menghasilkan talenta luar biasa seperti Lionel Messi, membuat mereka dituntut untuk menghasilkan talenta yang tak kalah hebat dalam waktu yang sama.
Sebaliknya, Israel menyikapi dilema yang mereka hadapi dengan pengambilan keputusan yang cepat dan terdesentralisasi. Dalam dunia militer, struktur dan hirarki adalah bagian penting dari organisasi, namun tidak bagi Israel. Pasukan Israel datang dari latar belakang yang relatif seragam dan melalui jalur meritokrasi tanpa priviliese yang diberikan pada orang-orang tertentu. Selain memudahkan koordinasi, situasi ini juga membuat power distance di antara mereka menjadi sangat rendah. Hal ini berkebalikan dengan lawan Israel di masa itu yang didominasi oleh monarki dan aristokrat dengan power distance yang tinggi. Dalam kondisi terjepit, Israel malah bisa memanfaatkan kompetensi inti yang dimilikinya untuk membalikkan keadaan.
Suka tidak suka, saat ini kita semua sedang menghadapi perang dagang di tengah pandemi global. Walau bukan negara kita yang menyulut apinya, namun asapnya sudah mengenai kita semua. Berkaca dari kisah tentang Pereh di atas, penting bagi kita untuk mengidentifikasi, mengembangkan, dan mengeksploitasi kompetensi inti yang memungkinkan bangsa kita agar terus bertumbuh di tengah kondisi yang tidak terlalu menguntungkan ini. Krisis Covid-19 harusnya menjadi momentum untuk, meminjam istilah Tom Peters (1982), “in search of excellence” dan membawa bangsa ini dari, meminjam istilah Jim Collins (2001), “good to great.”
Maka, pertanyaan besarnya kemudian adalah, apa sebenarnya kompetensi inti bangsa ini? Bagaimana kita akan mengembangkan dan mengeksploitasi kompetensi inti tersebut untuk kemakmuran kita bersama? Lebih penting lagi, bagaimana memanfaatkannya untuk membalikkan keadaan di tengah pandemi dan perang dagang ini? Pernahkah kita semua benar-benar memikirkan tentang hal ini?