Salah Kaprah London
Siapapun yang datang ke ibukota Inggris mungkin bingung mendengar bahwa Kota London dan London bukan hal yang sama. Pada dasarnya, ada dua London: London Raya (Greater London) dan Kota London (City of London), dikenal sebagai City atau Square Mile.
London yang kebanyakan orang tahu adalah London Raya (Greater London). Selain menjadi ibukota, London adalah sebuah daerah seluas 607 mil persegi dan 32 wilayah (borough), termasuk Kota London (City of London). London dan sekitar 8,5 juta penduduknya ada di bawah kekuasaan Greater London Authority dan dipimpin oleh walikota (Mayor of London) yang saat ini adalah Sadiq Khan. Mereka berkantor di City Hall.
Sementara itu, City of London berasal dari permukiman berbenteng milik Romawi yang bernama Londinium. Ia berdiri sekitar 2.000 tahun lalu di tepi utara sungai Thames dan mencakup sekitar satu mil persegi di dalam bentengnya. Atas alasan inilah warga London menyebutnya sebagai “Square Mile.” City of London membentang dari Temple di tepi sungai Thames ke utara hingga Chancery Lane di sisi barat, dan Tower of London di sisi timur ke utara hingga Liverpool Street.
City of London memiliki 10.000 penduduk dan 400.000 komuter yang setiap hari bekerja di gedung ikonik seperti Gherkin, Cheesegrater, dan Walkie-Talkie. Setiap tahun, sekitar 10 juta turis mengunjungi Mile Square. Yang menarik, City of London memiliki status khusus: ia memiliki pemerintahan, walikota, dan kepolisian independennya sendiri — mereka berkantor di Guildhall. Kalaupun Ratu Inggris ingin masuk Square Mile, ia harus meminta izin terlebih dahulu.
Salah satu fungsi utama City of London adalah mewakili kepentingan jasa keuangan Inggris. Ia adalah rumah bagi Bank of England dan secara tradisional dianggap sebagai jantung keuangan Inggris. Walau sektor keuangan terbesar di Eropa sudah bergeser ke Canary Wharf (London Timur) dalam beberapa tahun terakhir, mahkota keuangan Eropa masih bersandar di City of London.
Di era 1970an, kalau Anda ingin “didengar” di lingkungan City of London, maka Anda harus menemui Richard Lambert dan Barry Riley. Keduanya adalah penulis kolom Lex di harian Financial Times (FT) yang tersohor itu. Mereka berdualah yang bisa mengorbitkan nama Anda dan membuat Anda “didengar” karena kolom Lex seperti posting Lambe Turah yang senantiasa ditunggu-tunggu.
Namun, seiring berkembangnya teknologi dan peningkatan pasar kredit, dinamika ini berubah banyak. Kalau dulu, komunitas di City sangat dekat dan solid karena reputasi memegang peranan penting. Your word is your bond. Belakangan, transaksi berubah menjadi arbitrase (trading) yang relatif tidak membutuhkan reputasi. Selain itu, sebagian besar transaksi relatif bisa diotomatisasikan.
Mungkin tak banyak yang tahu bahwa profesi bankir beberapa abad lalu sebetulnya dianggap sebagai profesi kaum pariah. Kristen ortodoks menganggapnya sebagai perbuatan amoral. Bunga dan riba (usury) juga diharamkan di agama Islam dan Yahudi.
Akan tetapi, otomatisasi dan teknologi yang terjadi kemudian mendorong ekspansi pasar utang (lending/credit market). Sejak itu, profesi bankir naik kasta. Mereka dianggap sebagai pendorong (highly skilled enablers) dari perdagangan dan perekonomian modern.
Walhasil, reputasi bankir, City, maupun Inggris secara keseluruhan meroket tajam. Mereka dianggap sebagai pionir dalam sektor keuangan dan jasa profesional lainnya dan membuat Inggris tetap berjaya kendati dirundung banyak masalah (seperti austerity, Brexit, dan sebagainya) selama beberapa dekade belakangan.