Struktur Bahasa dan Relasi Kuasa

Bahasa sebenarnya bukan sekadar alat berkomunikasi, tapi ia juga mencerminkan cara suatu bangsa membayangkan hubungan antara negara dan warganya.

Dalam tradisi post-strukturalis (Jacques Derrida, Michel Foucault, Judith Butler, dkk.), bahasa tidak sekadar mencerminkan realitas, tapi membentuk dan mempertahankannya. Lebih jauh, bahkan setiap kata bisa membawa jejak kuasa: siapa yang boleh berbicara, bagaimana harus bertindak, dan apa yang dianggap sah.

Kita ambil contoh sederhana. Dalam konteks Anglo-Saxon seperti di Inggris, mereka menggunakan istilah “taxpayer” untuk menyebut warganya dan istilah “public servant” untuk menyebut pejabatnya. Istilah ini sesungguhnya tak sekedar soal semantik, namun menggambarkan struktur relasi yang horizontal: negara ada karena warga dan untuk warga.

Sadar atau tidak, istilah “taxpayer” akan memberikan penekanan pada kontribusi ekonomi langsung warga terhadap negara. Hal ini akan memberikan implikasi moral yang kuat. Sebagai taxpayer, saya membayar pajak, maka saya berhak mengawasi Anda.

Sebaliknya, istilah “public servant” menekankan fungsi pelayan dari aparat negara kepada masyarakat. Hal ini juga akan memberikan implikasi moral yang kuat. Sebagai public servant, saya bekerja untuk publik, bukan sebaliknya.

Tak heran bila di Inggris rakyat menuntut karena mereka merasa telah membayar pajak.

Sementara itu, di Indonesia, kita menggunakan istilah “rakyat.” Konon ia berhubungan dengan akar kata “raja“, yang diperintah atau yang dinaungi. Ia juga konon berkaitan dengan kata “roiyah” yang berarti kepemimpinan. Apa pun itu, ia berbicara soal struktur dan cenderung vertikal.

Demikian pula dengan kata “pejabat.” Jelas, ia bermakna “yang memiliki jabatan.” Implikasinya tentu soal status dan hierarki.

Juga dengan istilah “pegawai negeri.” Ia menyiratkan fokus pada hubungan kerja dengan negara, bukan dengan publik.

Pilihan bahasa ini merefleksikan struktur relasi vertikal dan feodalistik. Bahwa negara dan pejabat berada di atas, rakyat di bawah. Bahwa rakyat memohon, pejabat memberi. Bahwa rakyat tunduk, pejabat menentukan.

***

Inggris memang punya akar sejarah yang panjang. Terima kasih pada Magna Carta (1215) yang telah memunculkan narasi pembatasan kekuasaan raja oleh rakyat. Dalam perjalanannya, revolusi industri, reformasi parlementer, hingga kapitalisme modern menciptakan masyarakat sipil yang kuat. Pemerintah dianggap sebagai kontraktor publik yang bekerja dengan mandat rakyat.

Hal ini sangat berbeda dengan tradisi Hindia-Belanda dan feodalisme Nusantara. Di sini, kekuasaan diwariskan dari struktur kolonial yang bersifat top-down dan eksploitatif. Konsep pegawai negeri berasal dari struktur birokrasi kolonial dan model keraton: abdi dalem. Walau telah digelar reformasi birokrasi, warisan struktur kuasa ini tetap terbawa.

Erich Fromm punya pendapat soal “being” versus “having” dalam konteks negara modern.

Dalam modus “having” (memiliki), orientasi diarahkan pada kepemilikan, kontrol, dominasi. Ia akan menganggap pengetahuan, kekuasaan, bahkan orang lain sebagai objek untuk dimiliki. Ia mengarah pada alienasi dan kekakuan batin: individu hanya bernilai sejauh apa yang ia punya (gelar, jabatan, status, data, harta).

Negara yang hidup dalam modus having adalah negara yang mengakumulasi kekuasaan, otoritas, dan legitimasi bukan untuk melayani, tapi untuk memiliki ketaatan rakyat.

Sementara itu, modus “being” (menjadi), orientasi ditujukan untuk pengalaman hidup yang otentik: mencintai, berpikir, mencipta, mendengarkan. Ia tidak mendefinisikan diri berdasarkan kepemilikan, tapi pada proses keterlibatan dan transformasi. Ia terbuka terhadap perubahan, pembelajaran, dan kritik—karena identitasnya tidak melekat pada apa yang dimiliki, tapi pada bagaimana ia hidup.

Negara yang hidup dalam modus being adalah negara yang terbuka, reflektif, dan mendengarkan—yang melihat dirinya sebagai proses historis yang terus berkembang bersama rakyat.

***

Dalam kerangka being vs. having Fromm tadi, maka negara Anglo-Saxon jelas mencoba bergerak ke arah modus being, dengan bahasa yang lebih memanusiakan relasi (melayani, membayar, bertanggung jawab).

Sebaliknya, negara yang masih memakai bahasa vertikal (pejabat, rakyat) seperti kita, akan cenderung hidup dalam modus having: jabatan sebagai milik, kekuasaan sebagai status.

Pada akhirnya, bahasa memang membentuk kesadaran. Kalau seorang pejabat berpikir dirinya “lebih tinggi dari rakyat”, maka ruang kritik dan pertanggungjawaban akan sulit tumbuh. Sebaliknya, kalau ia sadar sebagai pelayan publik, kritik dianggap bagian dari pekerjaannya.

Selagi kita terus — secara sadar maupun tidak — menyebut pejabat sebagai “yang harus dihormati”, bukan “yang harus bertanggung jawab”, maka demokrasi tidak akan pernah tumbuh.

Jika kita ingin negeri ini hidup dalam modus being, maka mungkin kita harus mulai membongkar warisan semantik yang memperkuat relasi kekuasaan hierarkis.

Mungkin sudah saatnya mengganti istilah “pejabat” dengan “penanggung jawab publik”, atau “pegawai negeri” dengan “pelayan masyarakat.”

Ini bukan sekadar kosmetik. Ini adalah perubahan ontologi politik.